SYUBHAT KEENAM
Diantara syubhat yang dijadikan dalih oleh para
pendukung bid'ah hasanah adalah pernyataan mereka bahwa sebagian sahabat telah melakukan
perbuatan-perbuatan ibadah yang bid'ah yang tidak ada dalil khusus yang
menunjukkan akan hal tersebut, akan tetapi ternyata Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak mengingkarinya. Contoh akan hal ini diantaranya :
Pertama : Kisah Khubaib radhiallahu 'anhu yang
sholat dua raka'at sebelum terbunuh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam
Al-Bukhari dalam shahihnya. Abu Hurairoh radhiallahu 'anhu berkata :
فَلَمَّا خَرَجُوا مِنَ الْحَرَمِ لِيَقْتُلُوْهُ فِي الْحِلِّ قَالَ لَهُمْ خُبَيْبٌ : ذَرُوْنِي أَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ، فَتَرَكُوْهُ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ لَوْلاَ أَنْ تَظُنُّوْا أَنَّ مَا بِي جَزَعٌ لَطَوَّلْتُهَا ... فَقَتَلَهُ ابْنُ الْحَارِثِ فَكَانَ خُبَيْبٌ هُوَ سَنَّ الرَّكْعَتَيْنِ لِكُلِّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ قُتِلَ صَبْرًا
"Tatakala mereka keluar dari daerah tanah
haram untuk membunuh Khubaib di tanah halal maka Khubaib berkata kepada mereka,
"Biarkanlah aku sholat dua raka'at". Maka merekapun membiarkan
beliau, lalau beliau sholat dua raka'at, setelah itu beliau berkata, "Kalau
bukan karena kawatir kalian menyangka aku ketakutan maka tentu aku akan
memanjangkan sholatku….
Maka Khubaibpun dibunuh oleh Ibnu Al-Haarits,
maka Khubaib adalah orang yang mempelopori sholat dua raka'at bagi setiap
muslim yang akan terbunuh dengan penuh kesabaran" (HR Al-Bukhari no 3045)
Kedua : Kisah Bilal radhiallahu 'anhu yang selalu
sholat dua raka'at setelah berwudhu, padahal tidak ada dalil khusus yang
menunjukkan akan sunnahnya sholat dua raka'at setelah wudhu.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
berkata kepada Bilal :
يَا بِلاََلُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الإِسْلاَمِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دُفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُوْرًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطَّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّي
"Wahai Bilal, kabarkanlah kepadaku tentang
amalan yang paling memberikan pengharapan padamu yang telah kau kerjakan,
karena aku mendengar gerakan kedua sendalmu di hadapanku di surga". Bilal
berkata, "Tidaklah aku mengerjakan suatu amalan yang paling memberikan
pengharapan padaku daripada jika aku bersuci kapan saja di malam hari atau
siang hari kecuali aku sholat dengan bersuciku tersebut sesuai dengan yang dikehendaki
oleh Allah" (HR Al-Bukhari no 1149 dan Muslim no 2458)
Ketiga : Dari Rifaa'ah bin Roofi', ia berkata :
كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ الرسول ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ ، قَالَ : سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ، قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ : رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ ، فَلَمَّا انْصَرَفَ ، قَالَ : مَنِ الْمُتَكَلِّمُ ؟ قَالَ : أَنَا ، قَالَ : رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا ، أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ
"Suatu hari kami sholat dibelakang
Rasulullah, maka tatkala beliau mengangkat kepala, beliau berkata,
"Sami'allahu liman hamdahu". Lalu ada seseorang di belakang beliau
berkata, رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ. Tatkala beliau selesai sholat maka beliau
berkata, "Siapa tadi yang berbicara?". Orang itu berkata,
"Saya". Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Aku melihat
tiga puluh sekian malaikat berlomba-lomba siapa yang pertama diantara mereka
yang mencatatnya" (HR Al-Bukhari no 799)
SANGGAHAN
Pertama : Perbuatan sahabat tergantung pada
persetujuan/taqrir dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, jika Nabi
menyetujui dan mentaqrirnya maka jadilah perbuatan tersebut dikenal dengan
sunnah taqririyah. Selain itu tiga contoh di atas merupakan perbuatan para
sahabat sebelum turunnya ayat tentang sempurnanya agama.
Adapun perbuatan bid'ah hasanah setelah wafatnya
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka bagaimana cara mengetahui taqrir atau
persetujuan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam??
Ternyata tidak semua ijtihad sahabat disetujui
oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Contohnya :
Pertama : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
tidak menyetujui Al-Baroo' bin 'Aazib radhiallahu 'ahu atas kesalahannya dalam
mengucapkan lafal doa yang diajarkan Nabi kepadanya. Yaitu Al-Baroo' telah
merubah lafal Nabi dengan lafal Rasul.
Al-Baroo' bin 'Aazib berkata :
قَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شَقِّكَ الأَيْمَنِ وَقُلْ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
berkata kepadaku : Jika engkau mendatangi tempat tidurmu maka berwudhulah
sebagaimana berwudhu untuk sholat, lalu berbaringlah di atas bagian tubuhmu
yang kanan, lalu katakanlah :
اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَهْبَةً وَرَغْبَةً إِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إْلاَّ إِلَيْكَ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتُ
"Yaa Allah aku menyerahkan jiwaku kepadaMu,
dan aku pasrahkan urusanku kepadaMu, dan aku sandarkan punggungku kepadaMu,
dengan kekhawatiran dan harapan kepadaMu. Tidak ada tempat bersandar dan
keselamatan dariMu kecuali kepadaMu. Aku beriman kepada kitabMu yang Engkau
turunkan dan beriman kepada Nabimu yang Engkau utus"
Nabi berkata :
فَإِنْ مِتَّ مِتَّ عَلَى الْفِطْرَةِ فَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَقُوْلُ
"Jika engkau meninggal maka engkau meninggal
di atas fitroh, dan jadikanlah doa ini adalah kalimat terakhir yang engkau
ucapkan (sebelum tidur)"
Al-Baroo' bin 'Aazib berkata :
فَقُلْتُ أَسْتَذْكِرُهُنَّ وَبِرَسُوْلِكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ قَالَ لاَ، وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ
"Lalu aku mencoba untuk mengingatnya dan aku
berkata "Dan aku beriman kepada RasulMu yang Engkau utus"
Nabi berkata, "Tidak, (akan tetapi) : Dan
aku beriman kepada NabiMu yang Engkau utus" (HR Al-Bukhari no 6311)
Kedua : Sebagaimana telah lalu dimana Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingkari tiga orang sahabat yang
berijtihad dalam beribadah sehingga ada yang ingin sholat malam terus, dan ada
yang ingin puasa terus, dan ada yang ingin tidak menikah demi beribadah.
Ketiga : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga
telah mengingkari Utsman bin Madz'uun yang ingin beribadah dan tidak menikah.
Maka Nabi shallallahu 'alaihi sallam pun berkata kepadanya :
يَا عُثْمَانُ إِنَّ الرَّهْبَانِيَّةَ لَمْ تُكْتَبْ عَلَيْنَا, أَفَمَا لَكَ فِيَ أُسْوَةٌ ؟ فَوَاللهِ إِنِّى أَخْشَاكُمْ للهِ , وَأَحْفَظُكُمْ لِحُدُوْدِهِ
"Wahai 'Utsman, sesungguhnya Rohbaniyah
tidaklah disyariatkan kepada kita. Tidakkah aku menjadi teladan bagimu?, Demi
Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah diantara
kalian, dan akulah yang paling menjaga batasan-batasanNya" (HR Ibnu
Hibban, Ahmad, dan At-Thobrooni dalam Al-Mu'jam Al-Kabiir, dan dishahikan oleh
Al-Albani, lihat takhrij beliau terhadap hadits ini di Al-Irwaa' 7/79).
Jika ternyata tidak semua ijtihad para sahabat
dalam ibadah disetujui oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas darimana
para pelaku dan pencipta bid'ah hasanah mengetahui bahwasanya Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam pasti menyetujui bid'ah-bid'ah mereka??!!. Padahal Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, "Semua bid'ah sesat"??!!
Kedua : Sholat sunnah wudhu dan juga sholat
sunnah sebelum dibunuh oleh musuh bukanlah suatu ibadah yang baru yang tidak
pernah disyari'atkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidaklah
disebutkan bahwasanya sholat sunnah wudhu adalah kreasi Bilal. Akan tetapi Nabi
hanya bertanya kepada Bilal tentang ibadah yang paling memberi pengharapan
kepadanya. Tidak termaktub dalam riwayat-riwayat hadits ini bahwasanya Bilal
telah menciptakan sholat sunnah wudhu. Maka bisa jadi sudah ada anjuran dari
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebelumnya.
Demikian halnya juga dengan sholat sunnah dua
raka'at yang dikerjakan oleh Khubaib, pada dasarnya bukanlah cara peribadatan
yang baru. Merupakan perkara yang sangat wajar jika seseorang tahu ia akan
meninggal maka ia ingin beribadah kepada Allah dengan ibadah yang agung.
Diantara ibadah yang sangat agung adalah sholat.
Dan sholat dalam kondisi ini termasuk dalam
keumuman hadits:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى
"Rasulullah jika mendapati perkara yang
menyulitkan beliau maka belipun sholat" (HR Ahmad no 23299, Abu Dawud no
1319, dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 3/172 dan Al-Albani)
Allah juga telah berfirman :
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ
"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu" (QS Al-Baqoroh : 45)
Ketiga : Kalaupun sholat dua raka'at sebelum
terbunuh musuh merupakan kreasi Khubaib radhiallahu 'anhu maka perbuatan beliau
tersebut menjadi sunnah karena beliau lakukan semasa kehidupan Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam.
Al-Qostholaani rahimahullah berkata :
وَإِنَّمَا صَارَ فِعْلُ خُبَيْبٍ سُنَّةً لِأَنَّهُ فُعِلَ فِي حَيَاةِ الشَّارِعِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وَاسْتَحْسَنَهُ
"Dan hanyalah perbuatan Khubaib itu menjadi
sunnah karena dikerjakan di masa kehidupan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dan dianggap baik oleh Nabi" (Irsyaad As-Saari 5/165)
Ia juga berkata :
وَإِنَّمَا صَارَ ذَلِكَ سُنَّةً لِأَنَّهُ فُعِلَ فِي حَيَاتِهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فَاسْتَحْسَنَهُ وَأَقَرَّهٌ
"Hanyalah hal itu menjadi sunnah karena
dikerjakan di masa kehidupan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu dianggap
baik oleh beliau dan ditaqrir/diakui/disetujui oleh beliau shallallahu 'alaihi
wa sallam"(Irsyaad As-Saari 5/261)
Adapun setelah meninggalnya Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam, maka bagaimana kita bias mengetahui suatu bid'ah hasanah
disukai dan disetujui oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam atau sebaliknya
justru Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membencinya??
Keempat : Adapun
perkataan Ibnu Hajar tentang hadits Rifaa'ah bin Roofi radhiallahu 'anhu
وَاسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى جَوَازِ إْحَدَاثِ ذِكْرٍ فِي الصَّلاَةِ غَيْرِ مَأْثُوْرٍ إِذَا كَانَ غَيْرَ مُخَالِفٍ لِلْمَأْثُوْرِ ... وَعَلَى أَنَّ الْعَاطِسَ فِي الصَّلاَةِ يَحْمَدُ اللهَ بِغَيْرِ كَرَاهَةٍ وَأَنَّ الْمُتَلَبِّسَ بِالصَّلاَةِ لاَ يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ تَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ
"Hadits ini dijadikan dalil akan boleh
mengada-ngadakan dalam sholat suatu dzikir yang tidak ada ma'tsur (tidak ada
contohnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam-pen) jika tidak menyelisihi
dzikir yang ma'tsuur…serta bolehnya orang yang bersin memuji Allah, dan tidak
makruh, dan orang yang sedang sholat tidak mesti menjawab orang yang
bersin" (Fathul Baari 2/287)
Dalam pernyataan di atas bukan berarti Al-Hafiz
memandang bolehnya berbuat bid'ah hasanah secara bebas. Akan tetapi beliau
menyebutkan permasalahannya secara khusus, yaitu bolehnya berkreasi dzikir
dalam sholat jika tidak bertentangan dengan dzikir yang datang dari Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam. Tentunya Ibnu Hajar tidak membolehkan kreasi
dzikir dalam seluruh kondisi sholat, tentunya beliau (Ibnu Hajar) –bahkan tidak
seorang ulamapun- yang membolehkan bebas berkreasi dalam menciptakan
dzikir-dzikir tatkala doa iftitah, ruku', tatkala sujud, tatkala duduk diantara
dua sujud, dan tatkala tasyahhud.
Akan tetapi sebagian ulama membolehkan kreasi
dzikir atau doa dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti tatkala berdoa dalam
sujud, atau tatkala doa setelah tasyahhud dan sebelum salam (silahkan lihat
penjelasan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmuu' 3/469, lihat juga
Asnaa Al-Mathoolib 1/166).
Demikian juga dzikir tatkala i'tidal (bangkit
dari ruku'), sebagian ulama menyatakan bahwa tatkala i'tidal merupakan maqom
(kondisi) untuk mengagungkan Allah, karenanya tidak mengapa memuji Allah dengan
dzikir kreasi sendiri selama tidak menjadi kebiasaan. Terlebih lagi ternyata
Ibnu Hajar membawakan kisah Rif'ah tersebut pada kisah bersinnya (lihat Fathul
Baari 2/286), sebagaimana sangat jelas dalam riwayat yang lain (HR Abu Dawud no
773 dan At-Thirmidzi no 404), sehingga dzikir yang disebutkan oleh Rifa'ah
adalah dzikir bersin yang kebetulan ia ucapkan tatkala i'tidal. Al-Imam An-Nawawi membolehkan dzikir bersin
dengan beberapa bentuk pujian kepada Allah. Beliau berkata,
اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلْعَاطِسِ أَنْ يَقُوْلَ عَقِبَ عِطَاسِهِ : الْحَمْدُ للهِ ، فَلَوْ قَالَ : الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ كَانَ أَحْسَنَ ، وَلَوْ قَالَ : الْحَمْدُ للهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ كَانَ أَفْضَلَ
"Para ulama telah sepakat bahwasanya
disunnahkan bagi orang yang bersin setelah bersin mengucapkan
"Alhamdulillah". Jika dia mengucapkan "Alhamdulillahi robbil
'aalamiin" maka lebih baik. Dan jika ia mengucapkan "Alhamdulillah
'alaa kulli haal" maka lebih afdol" (Al-Adzkaar 270)
Akan tetapi Ibnu Hajar berkata :
وَالَّذِي يَتَحَرَّرُ مِنَ الأَدِلَّةِ أَنَّ كُلَّ ذَلِكَ مُجْزِئٌ لَكِنَ مَا كَانَ أَكْثَرَ ثَنَاءً أَفْضَلُ بِشَرْطِ أَنْ يَكُوْنَ مَأْثُوْرًا
"Dan yang tersimpulkan dari dalil-dalil
bahwasanya segala bentuk dzikir (setelah bersin) tersebut cukup, akan tetapi
yang lebih banyak pujiannya lebih afdol, dengan syarat dzikir tersebut ma'tsuur
(ada contohnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam –pen)" (Fathul
Baari 10/601)
Dalam nukilan ini, jelas Ibnu Hajar menyatakan
bahwa segala bentuk dzikir setelah bersin boleh dengan syarat harus ma'tsuur.
Maksud dari pemaparan ini, sama saja apakah
dzikir yang tersebutkan dalam hadits Rif'ah adalah adala dzikir i'tidal atau
dzikir bersin maka kalaupun bukan merupakan dzikir yang ma'tsur dan boleh
berkreasi dalam dzikir ini maka hal ini hanya dalam cakupan yang terbatas. Maka
sungguh aneh jika lalu dijadikan dalil untuk membolehkan bid'ah hasanah…,
membolehkan bekreasi membuat dzikir-dzikir baru dalam doa istiftah, dzikir
ruku', sujud, dll??, bahkan membolehkan untuk berkreasi membuat model ibadah baru??. Tentunya pemahaman
seperti ini tidak dipahami oleh para ulama yang mu'tabar. Wallahu A'lam bis
showaab.
Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-,
02-01-1434 H / 16 November 2012 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Disalin pada 22 Juni 2013
Untuk lebih lengkapnya (teks arabnya), bisa klik
sumbernya langsung, ada komentar dan diskusi juga di sana.