Sebagian ulama Syafi'iyah yang memandang adanya
bid'ah hasanah, ternyata dikenal membantah bid'ah-bid'ah yang dianggap hasanah.
Yang hal ini semakin menunjukan bahwa yang dimaksud oleh mereka dengan bid'ah
hasanah adalah maslahah mursalah (silahkan baca kembali artikel Syubhat-Syubhat
Para Pendukung Bid'ah Hasanah)
Semakin memperkuat bahwa yang dimaksud oleh para ulama syafi'iyah dengan
bid'ah hasanah adalah maslahah mursalah, ternyata kita mendapati mereka keras
mengingkari perkara-perkara yang dianggap oleh masyarakat sebagai bid'ah
hasanah
A.
Pengingkaran Al-Izz bin Abdis Salam terhadap perkara-perkara yang
dianggap bid'ah hasanah
Beliau dikenal dengan orang yang keras membantah
bid'ah-bid'ah yang disebut-sebut sebagai bid'ah hasanah. Diantara
perkara-perkara yang diingkari tersebut adalah bersalam-salaman setelah sholat,
sholat roghoib, sholat nishfu sya'ban, mengusap wajah selesai doa, mengirim
pahala bacaan qur'an bagi mayat, dan mentalqin mayat setelah dikubur.
Berkata Abu Syamah (salah seorang murid Al-'Iz
bin Abdissalam),
"Beliau (Al-'Iz bin Abdissalam) adalah orang
yang paling berhak untuk berkhutbah dan menjadi imam, beliau menghilangkan
banyak bid'ah yang dilakukan oleh para khatib seperti menancapkan pedang di
atas mimbar dan yang lainnya. Beliau juga membantah sholat rogoib dan sholat
nishfu sya'ban dan melarang kedua sholat tersebut" (Tobaqoot Asy-Syafi'iah
al-Kubro karya As-Subki 8/210, pada biografi Al-'Iz bin Abdissalam)
Beliau ditanya : Berjabat tangan setelah sholat
subuh dan ashar hukumnya mustahab atau tidak? Doa setelah salam dari seluruh
sholat mustahab bagi imam atau tidak? Jika engkau berkata hukumnya mustahab
maka (tatkala berdoa) sang imam balik mengahadap para makmum dan membelakangi
kiblat atau tetap menghadap kiblat?...
Jawab : Berjabat tangan setelah sholat subuh dan
ashar termasuk bid'ah kecuali bagi orang yang baru datang dan bertemu dengan
orang yang dia berjabat tangan dengannya sebelum sholat, karena berjabat tangan
disyari'atkan tatkala datang.
Setelah sholat Nabi berdzikir dengan
dzikir-dzikir yang disyari'atkan dan beristighfar tiga kali kemudian beliau
berpaling (pergi)… dan kebaikan seluruhnya pada mengikuti Nabi. Imam As-Syafi'i
suka agar imam berpaling setelah salam. Dan tidak disunnahkan mengangkat tangan
tatkala qunut sebagaimana tidak disyari'atkan mengangkat tangan tatkala berdoa
di saat membaca surat al-Fatihah dan juga tatkala doa diantara dua sujud…
Dan tidaklah mengusap wajah setelah doa kecuai
orang jahil. Dan tidaklah sah bersholawat kepada Nabi tatkala qunut, dan tidak
semestinya ditambah sedikitpun atau dikurangi atas apa yang dikerjakan
Rasulullah tatkala qunut" (Kittab Al-Fataawaa karya Imam Al-'Izz bin Abdis
Salaam hal 46-47, kitabnya bisa didownload di
http://majles.alukah.net/showthread.php?t=39664)
Beliau juga menyatakan bahwa mengirim bacaan qur'an
kepada mayat tidaklah sampai (lihat kitab fataawaa beliau hal 96). Beliau juga
menyatakan bahwasanya mentalqin mayat setelah dikubur merupakan bid'ah (lihat
kitab fataawaa beliau hal 96)
B.
Pengingkaran Imam As-Syafi'i terhadap perkara-perkara yang dianggap
bid'ah hasanah
Para imam madzhab syafiiyah telah menukil
perkataan yang masyhuur dari Imam As-Syafii, yaitu perkataan beliau;
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ
"Barangsiapa yang menganggap baik (suatu
perkara) maka dia telah membuat syari'at"
(Perkataan Imam As-Syafi'i ini dinukil oleh para
Imam madzhab As-Syafi'i, diantaranya
Al-Gozaali dalam kitabnya Al-Mustashfa, demikian juga As-Subki dalam
Al-Asybaah wa An-Nadzooir, Al-Aaamidi dalam Al-Ihkaam, dan juga dinukil oleh
Ibnu Hazm dalam Al-Ihkaam fi Ushuul Al-Qur'aan, dan Ibnu Qudaamah dalam
Roudhotun Naadzir)
Oleh karenanya barangsiapa yang menganggap baik
suatu ibadah yang tidak dicontohkan oleh Nabi maka pada hakikatnya ia telah
menjadikan ibadah tersebut syari'at yang baru.
Diantara amalan-amalan yang dianggap bid'ah
hasanah yang tersebar di masyarakat namun diingkari Imam As-Syafi'i
rahimahullah adalah :
a.
Acara mengirim pahala untuk mayat yang disajikan dalam bentuk acara
tahlilan.
Bahkan masyhuur dari madzhab Imam Asy-Syafii
bahwasanya beliau memandang tidak sampainya pengiriman pahala baca qur'an bagi
mayat. Imam An-Nawawi berkata:
"Dan adapun sholat dan puasa maka madzhab
As-Syafi'i dan mayoritas ulama adalah tidak sampainya pahalanya kepada si
mayat…adapun qiroah (membaca) Al-Qur'aan maka yang masyhuur dari madzhab
As-Syafi'i adalah tidak sampai pahalanya kepada si mayat…" (Al-Minhaaj
syarh shahih Muslim 1/90)
b.
Meninggikan kuburan dan dijadikan sebagai masjid atau tempat ibadah
Imam As-Syafi'i rahimahullah berkata :
وأكره أن يعظم مخلوق حتى يُجعل قبره مسجداً مخافة الفتنة عليه وعلى من بعده من الناس
"Dan aku benci diagungkannya seorang makhluq
hingga kuburannya dijadikan masjid, khawatir fitnah atasnya dan atas
orang-orang setelahnya" (Al-Muhadzdzab 1/140, Al-Majmuu' syarhul
Muhadzdzab 5/280)
Bahkan Imam As-Syafi'i dikenal tidak suka jika
kuburan dibangun lebih tinggi dari satu jengkal. Beliau berkata :
وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُزَادَ في الْقَبْرِ تُرَابٌ من غَيْرِهِ وَلَيْسَ بِأَنْ يَكُونَ فيه تُرَابٌ من غَيْرِهِ بَأْسٌ إذَا زِيدَ فيه تُرَابٌ من غَيْرِهِ ارْتَفَعَ جِدًّا وَإِنَّمَا أُحِبُّ أَنْ يُشَخِّصَ على وَجْهِ الْأَرْضِ شِبْرًا أو نَحْوَهُ وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُبْنَى وَلَا يُجَصَّصَ فإن ذلك يُشْبِهُ الزِّينَةَ وَالْخُيَلَاءَ... وقد رَأَيْت من الْوُلَاةِ من يَهْدِمَ بِمَكَّةَ ما يُبْنَى فيها فلم أَرَ الْفُقَهَاءَ يَعِيبُونَ ذلك
"Aku suka jika kuburan tidak ditambah dengan
pasir dari selain (galian) kuburan itu sendiri. Dan tidak mengapa jika ditambah
pasir dari selain (galian) kuburan jika ditambah tanah dari yang lain akan
sangat tinggi. Akan tetapi aku suka jika kuburan dinaikan di atas tanah
seukuran sejengkal atau yang semisalnya. Dan aku suka jika kuburan tidak
dibangun dan tidak dikapur karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan…
Aku telah melihat di Mekah ada diantara penguasa
yang menghancurkan apa yang dibangun diatas kuburan, dan aku tidak melihat pera
fuqohaa mencela penghancuran tersebut"(Al-Umm 1/277)
c.
Pengkhususan Ibadah pada waktu-waktu tertentu atau cara-cara tertentu
Berkata Abu Syaamah :
"Imam As-Syafi'i berkata : Aku benci
seseorang berpuasa sebulan penuh sebagaimana berpuasa penuh di bulan Ramadhan,
demikian juga (Aku benci) ia (mengkhususkan-pent) puasa suatu hari dari
hari-hari yang lainnya. Hanyalah aku membencinya agar jangan sampai seseorang
yang jahil mengikutinya dan menyangka bahwasanya perbuatan tersebut wajib atau
merupakan amalan yang baik" (Al-Baa'its 'alaa inkaar Al-Bida' wa
Al-Hawaadits hal 48)
Perhatikanlah, Imam As-Syafii membenci amalan
tersebut karena ada nilai pengkhususan suatu hari tertentu untuk dikhususkan
puasa. Hal ini senada dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
« لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِى صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ »
"Janganlah kalian mengkhususkan malam jum'at
dari malam-malam yang lain dengan sholat malam, dan janganlah kalian
mengkhususkan hari jum'at dari hari-hari yang lain dengan puasa, kecuali pada
puasa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian" (yaitu maksudnya
kecuali jika bertepatan dengan puasa nadzar, atau ia berpuasa sehari sebelumnya
atau sehari sesudahnya, atau puasa qodho –lihat penjelasan Imam An-Nawawi dalam
Al-Minhaaj 8/19)
Perhatikanlah, para pembaca yang budiman, puasa
adalah ibadah yang disyari'atkan, hanya saja tatkala dikhususkan pada hari-hari
tertentu tanpa dalil maka hal ini dibenci oleh Imam As-Syafi'i.
Maka bagaimana jika Imam As-Syafii melihat
ibadah-ibadah yang asalnya tidak disyari'atkan??!
Apalagi ibadah-ibadah yang tidak disyari'atkan
tersebut dikhususkan pada waktu-waktu tertentu??
Beliau juga berkata dalam kitabnya Al-Umm
"Dan aku suka jika imam menyelesaikan
khutbahnya dengan memuji Allah, bersholawat kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, menyampaikan mau'izoh, dan membaca qiroa'ah, dan tidak
menambah lebih dari itu".
Imam As-Syafii berkata : "Telah mengabarkan
kepada kami Abdul Majiid dari Ibnu Juraij berkata : Aku berkata kepada 'Athoo :
Apa sih doa yang diucapkan orang-orang tatkala khutbah hari itu?, apakah telah sampai
kepadamu hal ini dari Nabi?, atau dari orang yang setelah Nabi (para
sahabat-pent)?. 'Athoo berkata : Tidak, itu hanyalah muhdats (perkara baru),
dahulu khutbah itu hanyalah untuk memberi peringatan.
Imam As-Syafii berkata, "Jika sang imam
berdoa untuk seseorang tertentu atau kepada seseorang (siapa saja) maka aku
membenci hal itu, namun tidak wajib baginya untuk mengulang khutbahnya"
(Al-Umm 2/416-417)
Para pembaca yang budiman, cobalah perhatikan ucapan
Imam As-Syafi'i diatas, bagaimanakah hukum Imam As-Syafii terhadap orang yang
mengkhususkan doa kepada orang tertentu tatkala khutbah jum'at?, beliau
membencinya, bahkan beliau menyebutkan riwayat dari salaf (yaitu 'Athoo') yang
mensifati doa tertentu dalam khutbah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan
para sahabatnya dengan "Muhdats" (bid'ah). Bahkan yang dzohir dari
perkataan Imam As-Syafii diatas dengan "aku benci" yaitu hukumnya
haram, buktinya Imam Syafii menegaskan setelah itu bahwasanya perbuatan muhdats
tersebut tidak sampai membatalkan khutbahnya sehingga tidak perlu diulang.
Wallahu A'lam.
d.
Dzikir berjama'ah secara keras selepas sholat fardu
Diantara bukti bahwa al-Imam al-Syafi‘i tidak
memaksudkan bid‘ah dalam ibadah sebagai Bid‘ah hasanah adalah kritikan beliau
terhadap kesinambungan berzikir secara keras selepas solat, yang tentunya
amalan ini dianggap perkara yang baik/hasanah oleh sebagian pihak.
Imam Syafi'i rahimahullah berkata :
وأختار للامام والمأموم أن يذكرا الله بعد الانصراف من الصلاة ويخفيان الذكرَ إلا أن يكون إماما يُحِبُّ أن يتعلّم منه فيجهر حتى يَرى أنه قد تُعُلِّمَ منه ثم يُسِرّ.
Pendapatku untuk imam dan makmum hendaklah mereka
berdzikir selepas selesai sholat. Hendaklah mereka memelankan (secara sir)
dzikir kecuali jika imam ingin mengajar bacaan-bacaan zikir tersebut, maka
ketika itu dikeraskanlah dzikir, hingga dia menduga bahwa telah dipelajari
darinya (bacaan-bacaan dzikir tersebut-pen), lalu setelah itu ia memelankan
kembali dzikirnya (Al-Umm 2/288).
Adapun mengenai hadits-hadits yang menunjukkan
bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi terdengar suara dzikirnya maka Imam Syafi’i
menjelaskan seperti berikut:
وأحسبه إنما جهر قليلا ليتعلّم الناس منه وذلك لأن عامة الروايات التي كتبناها مع هذا وغيرها ليس يُذكر فيها بعد التسليم تَهليلٌ ولا تكبير، وقد يذكر أنه ذكر بعد الصلاة بما وصَفْتُ، ويذكر انصرافه بلا ذكر، وذكرتْ أمُّ سلمةَ مُكْثَه ولم يذكر جهرا، وأحسبه لم يَمكُثْ إلاّ ليذكرَ ذكرا غير جهْرٍ.
Menurutku Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
mengeraskan (dzikir) sedikit agar orang-orang bisa belajar dari beliau. Karena
kebanyakan riwayat yang telah kami tulis bersama ini atau selainnya, tidak
menyebut selepas salam terdapat tahlil dan takbir. Kadangkala riwayat menyebut
Nabi berdzikir selepas sholat seperti yang aku nyatakan, kadangkala disebut
bahwa Nabi pergi tanpa berdzikir. Ummu Salamah menyebutkan bahwa Nabi selepas
sholat menetap di tempat sholatnya akan tetapi tidak menyebutkan bahwa Nabi
berdzikir dengan jahr (keras). Aku rasa beliau tidaklah menetap kecuali untuk
berdzikir dengan tidak dijaharkan.
فإن قال قائل: ومثل ماذا؟ قلت: مثل أنه صلّى على المنبر يكون قيامُه وركوعُه عليه وتَقهْقَرَ حتى يسجدَ على الأرض، وأكثر عمره لم يصلّ عليه، ولكنه فيما أرى أحب أن يعلم من لم يكن يراه ممن بَعُد عنه كيف القيامُ والركوعُ والرفع. يُعلّمهم أن في ذلك كله سعة. وأستحبُّ أن يذكر الإمام الله شيئا في مجلسه قدر ما يَتقدم من انصرف من النساء قليلا كما قالت أم سلمة ثم يقوم وإن قام قبل ذلك أو جلس أطولَ من ذلك فلا شيء عليه، وللمأموم أن ينصرفَ إذا قضى الإمام السلامَ قبل قيام الإمام وأن يؤخر ذلك حتى ينصرف بعد انصرافِ الإمام أو معه أَحَبُّ إلي له.
Jika seseorang berkata: “Seperti apa?” (maksudnya
permasalahan ini seperti permasalahan apa yang lain?-pen). Aku katakan,
sebagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersholat di atas mimbar,
dimana beliau berdiri dan rukuk di atasnya, kemudian beliau mundur belakang
untuk sujud di atas tanah. Nabi tidaklah sholat di atas mimbar pada kebanyakan
usia beliau. Akan tetapi menurutku beliau ingin agar orang yang jauh yang tidak
melihat beliau, dapat mengetahui bagaimana cara berdiri (dalam solat), rukuk
dan bangun (dari rukuk). Beliau ingin mengajarkan mereka keluasan dalam itu
semua.
Aku suka sekiranya imam berzikir nama Allah di
tempat duduknya sebentar dengan kadar hingga perginya jama'ah wanita
sebagaimana yang dikatakan oleh Ummu Salamah. Kemudian imam boleh bangun. Jika dia bangun sebelum itu,
atau duduk lebih lama dari itu, tidak mengapa. Makmum boleh pula pergi setelah
imam selesai memberi salam, sebelum imam bangun. Jika dia tunda/akhirkan
sehingga imam pergi, atau ia pergi bersama imam, maka itu lebih aku sukai
untuknya. " (Al-Umm 2/288-289)
Nyata sekali al-Imam As-Syafi’i rahimahullah
tidak menamakan ini sebagai Bid‘ah Hasanah, sebaliknya beliau berusaha agar
kita semua membiasakan diri dengan bentuk asal yang dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu asalnya Nabi berdzikir dengan pelan, dan
hanya sesekali mengeraskan suara beliau untuk mengajarkan kepada para makmum.
Seandainya maksud Bid‘ah Mahmudah/Hasanah yang disebut oleh al-Imam Asy-Syafi’i
mencakup perkara baru dalam cara beribadah yang dianggap baik, sudah tentu
beliau akan memasukkan dzikir secara kuat selepas sholat dalam kategori Bid‘ah
Mahmudah. Dengan itu tentu beliau juga tidak akan berusaha menafikannya.
Ternyata bukan itu yang dimaksudkan oleh beliau rahimahullah
C.
Pengingkaran Imam An-Nawawi terhadap perkara-perkara yang dianggap
bid'ah hasanah
Pengklasifikasian bid'ah menjadi bid'ah dholalah
dan bid'ah hasanah juga diikuti oleh Imam An-Nawawi, beliau berkata, "Dan
bid'ah terbagi menjadi bid'ah yang jelek dan bid'ah hasanah", kemudian
beliau menukil perkataan Al-'Iz bin Abdissalam dan perkataan Imam Asy-Syafi'i
di atas (lihat Tahdzibul Asma' wal lugoot 3/22-23).
Akan tetapi ternyata didapati Imam An-Nawawi
rahimahullah ternyata juga mengingkari beberapa praktek ibadah yang dianggap
oleh sebagian orang sebagai bid'ah hasanah.
a.
Mengiringi janazah sambil membaca dzikir dengan mengangkat suara
Di dalam kitabnya al-Azkar, al-Imam An-Nawawi
rahimahullah berkata:
واعلم أن الصواب المختار ما كان عليه السلف رضي الله عنهم : السكوت في حال السير مع الجنازة ، فلا يرفع صوتا بقراءة ، ولا ذكر ، ولا غير ذلك ، والحكمة فيه ظاهرة ، وهي أنه أسكن لخاطره ، وأجمع لفكره فيما يتعلق بالجنازة ، وهو المطلوب في هذا الحال ، فهذا هو الحق ، ولا تغترن بكثرة من يخالفه ، فقد قال أبو علي الفضيل بن عياض رضي الله عنه ما معناه : الزم طرق الهدى ، ولا يضرك قلة السالكين ، وإياك وطرق الضلالة ، ولا تغتر بكثرة الهالكين...
وأما ما يفعله الجهلة من القراءة على الجنازة بدمشق وغيرها من القراءة بالتمطيط ، وإخراج الكلام عن موضوعه ، فحرام بإجماع العلماء ، وقد أوضحت قبحه ، وغلظ تحريمه ، وفسق من تمكن من إنكاره ، فلم ينكره في كتاب " آداب القراء
Ketahui sesungguhnya yang betul lagi terpilih
yang menjadi amalan al-Salaf al-Salih radhiallahu 'anhum ialah diam ketika
mengiringi jenazah. Maka janganlah diangkat suara dengan bacaan, zikir dan
selainnya. Hikmahnya nyata, yaitu lebih menenangkan hati dan menghimpunkan
fikiran mengenai apa yang berkaitan dengan jenazah. Itulah yang dituntut dalam
keadaan tersebut. Inilah yang benar. Janganlah engkau terpengaruh dengan
banyaknya orang yang menyanggahinya.
Sesungguhnya Abu ‘Ali al-Fudail bin ‘Iyad
rahimahullah pernah berkata: “Berpegang dengan jalan kebenaran, tidak akan
memudorotkanmu sedikitnya orang yang menempuh jalan kebenaran tersebut. Dan
jauhilah jalan yang sesat. Jangan engkau terperdaya dengan banyaknya golongan
yang binasa (yang melakukannya).”
…… Adapun apa yang dilakukan oleh golongan jahil
di Damaskus, yaitu melanjutkan bacaan al-Quran dengan dipanjang-pangjangkan dan
bacaan yang lain ke atas jenazah, serta pembicaraan yang tiada kaitan, maka
hukumnya adalah haram dengan ijma’ ulama. Sesungguhnya aku telah jelaskan dalam
Kitab Adab al-Qurroo' tentang keburukannya, besar keharamannya dan kefasikannya
bagi siapa yang mampu mengingkarinya tetapi tidak mengingkarinya"
(Al-Adzkaar hal 160)
Nyata bahawa al-Imam al-Nawawi rahimahullah tidak
menamakan perbuatan mem-bacakan al-Qur’an ketika mengiringi jenazah sebagai
Bid‘ah Hasanah. Padahal sangatlah jelas bahwa membaca Al-Qur'an adalah perkara
yang baik. Bahkan bukankah seseorang tatkala membaca al-Qur'an tatkala mengiringi
janazah maka akan semakin mendatangakan kekhusyu'an??
Kenyataannya bahkan Imam Nawawi sangat keras
mengingkari perbuatan ini. Dan tidak mungkin kita bisa mengingkari hal ini
kecuali dengan dalil bahwasanya hal ini tidak pernah dilakukan oleh para
sahabat.
b.
Menambah lafal "wa barakaatuh" tatkala salam dari sholat
Dalam Syarh Sahih Muslim, al-Imam al-Nawawi
rahimahullah berkata:
أن السنة في السلام من الصلاة أن يقول السلام عليكم ورحمة الله عن يمينه السلام عليكم ورحمة الله عن شماله ولا يسن زيادة وبركاته وإن كان قد جاء فيها حديث ضعيف وأشار إليها بعض العلماء ولكنها بدعة إذ لم يصح فيها حديث بل صح هذا الحديث وغيره في تركها
Sesungguhnya yang menjadi sunnah bagi salam dalam
solat ialah dengan berkata: السَلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ sebelah kanan, السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ sebelah kiri. Tidak
disunahkan menambah وَبَرَكَاتُهُ. Sekalipun tambahan
ini telah ada dalam hadits yang dhaif dan diisyaratkan oleh sebahagian ulama.
Namun ia adalah bid‘ah karena tidak ada hadits yang sahih (yang
menganjurkannya). Bahkan yang sahih dalam hadits ini dan selainnya ialah
meninggalkan tambahan itu" (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 4/153)
Bukankah penambahan “wa Barakatuh” merupakan satu
penambahan yang pada zahirnya nampak baik?, bahkan disepakati kebaikannya
tatkala diucapkan di luar sholat. Akan tetapi ternyata tambahan ini tidak
dianggap baik oleh Imam An-Nawawi, akan tetapi dinilai oleh beliau merupakan
bid'ah yang harus ditinggalkan. Dari penjelasan An-Nawawi di atas juga diambil
faedah bahwasanya beliau tidak membolehkan hadits dhoif dijadikan hujjah/dalil
untuk membuat suatu peribadatan.
c.
Sholat Rogo'ib
Ketika mensyarahkan hadits berikut:
لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ.
“Jangan kalian mengkhususkan malam Jum'at diantara
malam-malam yang lain dengan sholat. Jangan kamu mengkhususkan hari Jum'at
–diantara hari-hari yang lain- dengan puasa, kecuali hari jum'at tersebut
termasuk dari puasa yang sedang dikerjakan oleh salah seorang dari kalian"
al-Imam al-Nawawi rahimahullah berkata:
وفى هذا الحديث النهى الصريح عن تخصيص ليلة الجمعة بصلاة من بين الليالي ويومها بصوم كما تقدم وهذا متفق على كراهيته واحتج به العلماء على كراهة هذه الصلاة المبتدعة التي تسمى الرغائب قاتل الله واضعها ومخترعها فانها بدعة منكرة من البدع التي هي ضلالة وجهالة
"Hadits ini menunjukkan larangan yang jelas
terhadap pengkhususan malam Jum'at dengan sesuatu sholat yang tidak dikerjakan
pada malam-malam yang lain, dan juga pengkhususan puasa pada siangnya seperti
yang telah dinyatakan. Hal ini telah disepkati akan kemakruhannya. Para ulama
berhujah dengan hadits ini mengenai makruhnya/dibencinya sholat bid‘ah yang
dinamakan Sholat ar-Raghaib. Semoga Allah memusnahkan pemalsu dan pengkreasi
sholat ini. Ini karena sesungguhnya ia adalah bid‘ah yang munkar, termasuk
jenis bid‘ah yang sesat dan jahil." (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 8/20)
d.
Sholat Malam Nishfu Sya'ban
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata
الصلاة المعروفة بصلاة الرغائب وهي ثنتى عشرة ركعة تصلي بين المغرب والعشاء ليلة أول جمعة في رجب وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وهاتان الصلاتان بدعتان ومنكران قبيحتان ولا يغتر بذكرهما في كتاب قوت القلوب واحياء علوم الدين ولا بالحديث المذكور فيهما فان كل ذلك باطل ولا يغتر ببعض من اشتبه عليه حكمهما من الائمة فصنف ورقات في استحبابهما فانه غالط في ذلك وقد صنف الشيخ الامام أبو محمد عبدالرحمن بن اسمعيل المقدسي كتابا نفيسا في ابطالهما
"Sholat yang dikenal dengan sholat
ar-Roghoib –yaitu sholat 12 raka'at yang dikerjakan antara maghrib dan isyat
pada malam jum'at yang pertama di bulan Rojab-, dan juga sholat malam nishfu
Sy'aban seratus raka'at. Dua sholat ini merupakan sholat yang bid'ah, sholat
yang mungkar dan buruk, dan janganlah terpengaruh dengan disebutkannya kedua
sholat ini dalam kitab "Quutul Quluub" dan "Ihyaa
Uluumiddin", dan jangan pula terpedaya dengan hadits yang disebutkan
tentang kedua sholat ini, karena semuanya adalah kebatilan. Dan jangan juga
terpedaya dengan sebagian imam yang terancukan/tersamarkan tentang hukum kedua
sholat tersebut sehingga ia menulis beberapa lembaran tentang sunnahnya kedua
sholat itu. Sesungguhnya ia telah keliru. As-Syaikh al-Imam Abu Muhammad
Abdurrahman bin Isma'il al-Maqdisi telah menulis sebuah kitab yang bagus
tentang batilnya kedua sholat ini" (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 4/56)
e.
Acara kumpul-kumpul setelah kematian
Yang sunnah adalah para tetangga dan karib
kerabat membuatkan makanan bagi keluarga duka, bukan malah sebaliknya justru
keluarga duka yang sudah bersedih malah direpotkan untuk menyiapkan makanan
apalagi sampai kenduri setelah kematian. Al-Imam An-Nawawi berkata:
واتفقت نصوص الشافعي في الام والمختصر والاصحاب على أنه يستحب لأقرباء الميت وجيرانه ان يعملوا طعاما لأهل الميت ويكون بحيث يشبعهم في يومهم وليلتهم قال الشافعي في المختصر واحب لقرابة الميت وجيرانه ان يعملوا لاهل الميت في يومهم وليلتهم طعاما يشبعهم فانه سنة وفعل أهل الخير … قال صاحب الشامل وغيره وأما اصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة هذا كلام صاحب الشامل ويستدل لهذا بحديث جرير بن عبد الله رضى الله عنه قال " كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعة الطعام بعد دفنه من النياحة " رواه احمد بن حنبل وابن ماجه باسناد صحيح وليس في رواية ابن ماجه بعد دفنه
"Nash-nash dari Imam As-Syafi'i dalam kitab
al-Umm dan kitab al—mukhtashor telah sepakat dengan perkataan para ashab (para
ulama besar madzhab syafi'iyah) bahwasanya disunnahkan bagi para kerabat mayit
dan juga para tetangganya untuk membuatkan makanan bagi keluarga mayit, dimana
makanan tersebut bisa mengenyangkan mereka pada siang dan malam mereka. Imam
As-Syafi'i berkata dalam kitab al-Mukhtashor, "Wajib bagi kerabat mayit dan tetangganya untuk
menyediakan makanan bagi keluarga mayat untuk siang dan malam mereka yang bisa
mengenyangkan mereka. Hal ini merupakan sunnah dan sikap para pelaku
kebaikan"….
Penulis kitab Asy-Syamil dan selain beliau
berkata, "Adapun keluarga mayit membuat makanan dan mengumpulkan
orang-orang untuk makan maka tidak dinukilkan (dalilnya) sama sekali. Dan ini
adalah perbuatan bid'ah yang tidak dianjurkan. Ini adalah perkataan penulis
kitab As-Syamil, dan dalil akan hal ini adalah hadits Jarir bin Abdillah
radhiallahu 'anhu ia berkata, "Kami menganggap berkumpul-kumpul di
keluarga mayit dan membuat makanan setelah dikuburkannya termasuk niyaahah".
Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih. Dan
dalam riwayat Ibnu Majah tidak ada lafal "setelah dikuburkannya
mayat" (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/319-320)
f.
Menambah lafal sholawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam
kitabnya al-Adzkaar :
وأما ما قاله بعض أصحابنا وابن أبي زيد المالكي من استحباب زيادة على ذلك وهي : " وَارْحَمْ مُحَمَّدًا وَآلَ مُحَمَّدٍ " فهذا بدعة لا أصل لها. وقد بالغ الإمام أبو بكر العربي المالكي في كتابه " شرح الترمذي " في إنكار ذلك وتخطئة ابن أبي زيد في ذلك وتجهيل فاعله ، قال : لأن النبي صلى الله عليه وسلم علمنا كيفية الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم ، فالزيادة على ذلك استقصار لقوله ، واستدراك عليه صلى الله عليه وسلم
"Adapun apa yang disebutkan oleh sebagian
ulama madzhab syafi'iyah dan Ibnu Abi Zaid al-Maliki tentang disunnahkannya
tambahan lafal sholawat dengan tambahan وَارْحَمْ مُحَمَّدًا وَآلَ مُحَمَّدٍ "Dan rahmatilah Muhammad dan keluarga
Muhammad" maka ini merupakan perkara bid'ah yang tidak ada asal/dalilnya.
Al-Imam Abu Bakr Ibnul 'Arobi Al-Maliki telah mengingkari dengan sangat serius
hal ini dalam kitabnya "syarh At-Tirmidzi" (silahkan lihat perkataan
Ibnul 'Arobi dalam kitabnya 'Aaridhotul Ahwadzi 2/271-272-pen), beliau (Ibnul
'Arobi) menyalahkan Ibnu Abi Zaid dan membodohkan pelakunya. Ia berkata,
"Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita
tentang tata cara shalawat kepadanya, maka tambahan terhadap tata cara tersebut
adalah menganggap kurang sabda Nabi, dan bentuk penyempurnaan terhadap beliau
shallallahu 'alaihi wasallam" (Al-Adzkaar 116)
Tentunya sangat tidak diragukan bahwa mendoakan
rahmat bagi Nabi dan keluarga Nabi merupakan perkara yang baik, akan tetapi
menjadikan doa ini sebagai tambahan dalam rangkaian sholawat kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam dianggap bid'ah oleh Imam An-Nawawi rahimahullah.
D.
Pengingkaran As-Suyuthi terhadap perkara-perkara yang dianggap bid'ah
hasanah
Adapun As-Suyuthi rahimahullah, maka terlalu
banyak mengingkari perkara-perkara yang dianggap bid'ah hasanah oleh kebanyakan
orang, terutama di masa beliau. Bahkan beliau menulis sebuah buku khusus –yang
berjudul الأَمْرُ بِالِاتِّبَاعِ وَالنَّهْيُ عَنِ الاِبْتِدَاعِ (Perintah untuk
ittiba'/mengikuti sunnah dan larangan untuk berbuat bid'ah, bisa didownload di
http://www.4shared.com/get/lbBW0G8g/_____________.html)- untuk menjelaskan
bid'ahnya perkara-perkara tersebut.
Dalam bukunya tersebut As-Suyuthi rahimahullah
telah megklasifikasikan bid'ah mustaqbahah/buruk sebagai berikut:
Pertama : Bid'ah-bid'ah dalam aqidah yang
mengantarkan kepada kesesatan dan kerugian.
Beliau mencontohkan bid'ah-bid'ah ini adalah
bid'ah-bid'ah aqidah yang dilakukan oleh 72 golongan sesat, yang telah
dikabarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya mereka di neraka
(lihat Al-Amru bil ittibaa' hal 93-94)
Kedua : Bid'ah-bid'ah dalam perbuatan dan
peribadatan. Dan inipun terbagi menjadi dua bagian ;
Bid'ah-bid'ah yang jelas diketahui oleh orang
awam terlebih lagi para ulama, dan bid'ah- bid'ah ini bisa jadi hukumnya haram
atau makruh
Bid'ah-bid'ah yang disangka merupakan ibadah dan
qurbah yang mendekatkan kepada Allah.
Setelah itu beliaupun menyebutkan contoh-contoh
bid'ah-bid'ah tersebut. Diantara bid'ah-bid'ah tersebut yang diingkari oleh
beliau adalah :
1.
Nyanyian dan joget dalam beribadah. Beliau menyatakan bahwa orang yang
melakukan hal ini maka telah bermaksiat kepada Allah dan RasulNya, telah gugur
muru'ahnya, dan tertolak syahadahnya/persaksiannya (lihat Al-Amru bil ittibaa'
hal 99).
Tentunya di tanah air kita banyak saudara-saudara
kita yang masih beribadah dengan nyanyian bahkan dengan musik-musikan, dan
sebagian mereka beribadah dengan tarian-tarian.
2.
Bernadzar untuk kuburan, kuburan siapapun, karena ini merupakan
kemaksiatan berdasarkan kesepakatan para ulama (lihat Al-Amru bil ittibaa' hal
118)
3.
Berdoa di kuburan. As-Suyuthi berkata, "
"Adapun dikabulkannya doa di kuburan-kuburan
tersebut bisa jadi karena yang berdoa benar-benar merasa terjepit/terdesak
(sehingga itulah yang menjadikannya dikabulkan oleh Allah, bukan karena
keberadaannya di kuburan-pen), atau sebabnya adalah murni rahmat Allah
kepadanya, atau karena perkara tersebut telah ditaqdirkan oleh Allah untuk
terjadi dan bukan karena doanya. Dan bisa jadi ada sebab-sebab yang lain,
meskipun sebab-sebab tersebut adalah fitnah baginya yang berdoa.
Orang-orang kafir dahulu berdoa, lalu
dikabulkanlah doa mereka, mereka diberi hujan, mereka ditolong dan
diselamatkan, padahal mereka berdoa di sisi berhala-berhala mereka dan mereka
bertawassul dengan berhala-berhala mereka" (Al-Amru bil ittibaa' hal 124)
4.
Berdoa dan beribadah di kuburan para nabi dan orang-orang sholeh.
As-Suyuthi berkata :
"Diantara tempat-tempat tersebut adalah
tempat-tempat yang memiliki kekhususan, akan tetapi hal ini tidak melazimkan
untuk menjadikan tempat-tempat tersebut sebagai 'ied, dan juga tidak melazimkan
untuk sholat di sisinya atau ibadah-ibadah yang lainnya, seperti doa di
sisinya. Diantara tempat-tempat tersebut adalah kuburan para nabi dan kuburan
orang-orang sholeh" (Al-Amru bil ittibaa' hal 125)
5.
Berdoa di kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Setelah menyebutkan hadits-hadits yang melarang
beribadah di kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam As-Suyuthi berkata ;
"Sisi pendalilannya adalah, bahwasanya
kuburan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah kuburan yang paling mulia
di atas muka bumi. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang untuk
menjadikan kuburan tersebut sebagai 'ied yaitu yang didatangi berulang-ulang,
maka kuburan selain beliau –siapapun juga dia- lebih utama untuk dilarang.
Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
menggandengkan larangan menjadikan kuburannya sebagai 'ied dengan sabda beliau
"Dan janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan",
maksudnya yaitu janganlah kalian kosongkan rumah-rumah kalian dari sholat, doa,
dan membaca al-Quran, sehingga bisa jadi seperti kedudukan kuburan (yang tidak
dilaksanakan sholat, doa, dan baca al-Qur'an di situ-pen). Rasulullah
memerintahkan untuk semangat melakukan ibadah di rumah, dan melarang untuk
beribadah di kuburan. Hal ini berkebalikan dengan apa yang dilakukan oleh kaum
musyrikin Nashoro dan orang-orang yang bertasyabbuh dengan mereka.
Kemudian setelah Nabi melarang untuk menjadikan
kuburannya sebagai 'ied beliau melanjutkan dengan sabda beliau
"Bersholawatlah kalian kepadaku, karena sholawat kalian akan sampai
kepadaku dimanapun kalian berada". Beliau mengisyaratkan bahwa apa yang
akan diraih olehku beliau karena sholawat dan salam kalian kepadaku, akan
terjadi sama saja apakah kalian dekat dengan kuburanku atau jauh dari kuburanku,
oleh karenanya kalian tidak butuh untuk menjadikan kuburanku sebagai 'ied.
Kemudian tabi'in yang terbaik dari ahlul bait yaitu Ali bin
Al-Husain telah melarang lelaki tersebut yang sengaja untuk berdoa di kuburan
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan beliau menjelaskan kepada lelaki
tersebut bahwasanya tujuannya untuk berdoa di kuburan Nabi sama saja dengan
bermaksud menjadikan kuburan Nabi sebagai 'ied. Demikian juga sepupunya Husain
bin Hasan yang merupakan syaikh Ahlul bait, beliau membenci seseorang yang
bermaksud mendatangi kuburan Nabi untuk memberi salam kepadanya dan yang
semisalnya, dan beliau memandang hal tersebut termasuk menjadikan kuburan Nabi
sebagai 'ied.
Lihatlah kepada sunnah ini, bagaimana sumber
sunnah ini dari Ahlul Bait Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang mereka
memiliki kedekatan nasab kepada Nabi, kedekatan rumah, karena mereka lebih
butuh untuk hal-hal seperti ini daripada selain mereka, maka mereka lebih paham
tentang hal-hal ini". (Al-Amru bil ittibaa' hal 127-128)
6.
Membangun masjid di kuburan, As-Suyuthi berkata :
"Adapun membangun masjid di atas kuburan,
menyalakan lentera-lentera atau lilin-lilin, atau lampu-lampu di kuburan, maka
pelakunya telah dilaknat sebagaimana telah datang dalam hadits Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam" (Al-Amru bil ittibaa' hal 129)
As-Suyuthi juga berkata ;
"Masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan
maka wajib untuk dihilangkan, dan hal ini termasuk perkara yang tidak
diperselisihkan diantara para ulama yang ma'ruf. Dan dimakruhkan sholat di
masjid-masjid tersebut tanpa ada khilaf. Dan menurut dzhohir madzhab Imam Ahmad
sholat tersebut tiadk sah, dikarenakan larangan dan laknat yang datang pada
perkara ini" (Al-Amru bil ittibaa' hal 134)
7.
Sholat di sisi kuburan. As-Suyuthi berkata :
"Demikian pula sholat di sisi kuburan maka
hukumnya makruh, meskipun tidak dibangun di atasnya masjid. Karena seluruh
tempat yang digunakan untuk sholat maka ia adalah masjid, meskipun tidak ada
bangunannya. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasalam telah melarang hal itu dengan
sabdanya, "Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan janganlah sholat
kearah kuburan", beliau juga bersabda, "Jadikanlah sebagian sholat
kalian di rumah-rumah kalian, dan janganlah kalian menjadikan rumah-rumah
kalian kuburan". Sebagaimana kuburan bukanlah tempat sholat maka janganlah
kalian jadikan rumah-rumah kalian seperti itu. Dan tidak sah sholat diantara
kuburan-kuburan menurut madzhab Imam Ahmad, dan hukumnya makruh menurut selain
beliau" (Al-Amru bil ittibaa' hal 135).
As-Suyuthi rahimahullah juga berkata ;
"Dan juga sesungguhnya sebab peribadatan
terhadap Laatta adalah pengagungan terhadap orang sholeh….dahulu Laatta membuat
adonan makanan di yaman untuk diberikan kepada para jama'ah haji. Tatkala ia
meninggal maka mereka I'tikaf di kuburannya. Para ulama juga menyebutkan
bahwasanya Wad, Suwaa', Yaghuuts, Ya'uuq, dan Nasr adalah nama-nama orang-orang
sholeh yang ada antara zaman Nabi Adam dan zaman Nabi Nuh 'alaihimas salam. Mereka
memiliki para pengikut yang meneladani mereka. Tatkala mereka meninggal maka para pengikut mereka berkata,
"Seandainya kita membuat patung-patung mereka". Tatkala para pengikut
tersebut meninggal dan datang kaum yang lain setelah mereka maka datanglah
Iblis kepada mereka dan berkata, "Mereka dahulu menyembah patung-patung
tersebut, dan dengan sebab mereka turunlah hujan". Maka merekapun
menyembah patung-patung tersebut. Hal ini telah disebutkan oleh Muhammad bin
Jarir dengan sanadnya"
Dan karena sebab inilah Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam melarang, dan sebab inilah yang menjerumuskan banyak umat-umat kepada
syirik akbar atau yang dibawahnya. Karenanya engkau dapati banyak kaum dari
kalangan orang-orang sesat yang mereka merendahkan diri di kuburan orang-orang
sholeh, mereka khusyu' dan merendah. Mereka menyembah orang-orang sholeh
tersebut dengan hati-hati mereka dengan suatu ibadah yang tidak mereka lakukan
tatkala mereka di rumah-rumah Allah, yaitu masjid-masjid. Bahkan tidak mereka
lakukan tatkala di waktu sahur di hadapan Allah ta'aala. Dan mereka berharap
dengan sholat dan doa di sisi kuburan apa-apa yang mereka tidak harapkan
tatkala mereka di masjid-masjid yang boleh bersafar ke mesjid-mesjid tersebut
(yaitu masjidil haram, masjid nabawi, dan masjid aqso-pen). Ini adalah
kerusakan yang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menghilangkannya secara
total, bahkan sampai-sampai Nabi melarang untuk sholat di kuburan secara
mutlak, meskipun orang yang sholat tidak bermaksud untuk mencari keberkahan
kuburan atau keberkahan tempat, dalam rangka menutup perkara yang bisa
mengantarkan kepada kerusakan/mafsadah tersebut, yang menyebabkan disembahnya
berhala-berhala" (Al-Amru bil ittibaa' 138-139)
As-Suyuti juga berkata ;
"Adapun jika seseorang bertujuan untuk
sholat di kuburan atau berdoa untuk dirinya pada urusan-urusan pentingnya dan
hajat kebutuhannya dengan mencari keberkahan dan mengharapkan dikabulkannya doa
di kuburan, maka ini jelas bentuk penentangan kepada Allah dan RasulNya, serta
penyelisihan terhadap agama dan syari'atnya
dan perbuatan bid'ah yang tidak diizinkan oleh Allah dan RasulNya serta
para imam kaum muslimin yang mengikuti atsar dan sunnah-sunnahnya. Karena
bertujuan menuju kuburan untuk berdoa mengharapkan untuk dikabulkan merupakan
perkara yang dilarang, dan lebih dekat kepada keharaman.
Para sahabat radhiallahu 'anhum beberapa kali
mendapati musim kemarau dan juga menghadapi masa-masa sulit setelah wafatnya
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas kenapa mereka tidak datang ke
kuburan Nabi lalu beristighotsah dan meminta hujan di kuburan beliau –padahal
beliau adalah manusia yang paling mulia di sisi Allah-?. Bahkan Umar bin
Al-Khotthob membawa Al-'Abbas paman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ke
musholla lalu Umar meminta Abbas untuk berdoa meminta hujan, dan mereka tidak
meminta hujan di kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam" (Al-Amru bil
ittibaa' 139)
Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-,
19-12-1433 H / 04-11-2012 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Disalin pada 22 Juni 2013
Untuk lebih lengkapnya (teks arabnya), bisa klik
sumbernya langsung, ada komentar dan diskusi juga di sana.