Berikut ini beberapa kritikan terhadap pemikiran
dan ilmu Habib Munzir tentang ilmu hadits.
PERTAMA : Habib Munzir berkata ;
"Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits
yang lemah sanad perawinya atau pada matannya, tetapi bukan berarti secara
keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu dinamai hadits munkar, atau
mardud, batil". (Kenalilah Akidahmu 2 hal 13)
SANGGAHAN
Istilah hadits mardud dan hadits munkar bukanlah
istilah yang digunakan oleh para ahli hadits untuk mengungkapkan hadits palsu.
Hadits Mardud : adalah hadits yang tertolak untuk
diamalkan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar al-'Asqolaaniy.
Setelah menyebutkan tentang hadits maqbul yaitu hadits-hadits yang bisa
dijadikan hujah dan diterima, Ibnu Hajar berkata :
"Kemudian al-Marduud, dan penyebab
tertolaknya karena ada yang terjatuh dari sanad atau karena celaan terhadap
perawi dengan berbagai model sisi pencelaan, dan pencelaan tersebut lebih umum
dari sekedar celaan yang dikarenankan diin sang perawi atau kredibilitas
hapalannya" (Nuzhatun Nadzor syarh Nukhbah Al-Fikar hal 80)
Tatkala menjelaskan perkataan Ibnu Hajar dalam
Nukhbatul Fikar, Abdullah bin Husain Khoothir berkata :
"Perkataan Ibnu Hajr al-'Asqolaaniy
"Kemudian al-Marduud dst", telah lalu bahwasanya hadits maqbuul
adalah hadits yang diamalkan, dan ada empat macam; (1) shahih li dzaatihi,
yaitu kuat dhobit nya dan tersambung sanadnya, atau (2) shahih lighoirihi,
yaitu lemah dhobit nya, dan dia adalah (3) hasan li dzaatihi, dan jika hasannya
karena banyaknya jalan-jalannya maka dia adalah (4) hasan lighoirihi.
Perkataan Ibnu Hajar al-'Asqolaaniy "Dan
penyebab tertolaknya" yaitu penyebab yang menyebabkan konsekuensi dari
hadits mardud yaitu haram untuk diamalkan" (Haasyiah Luqoth Ad-Duror hal
71)
Dari sini jelas bahwa Habib Munzir telah keliru
tatkala menyebutkan bahwa diantara nama-nama hadits palsu adalah hadits marduud
Hadits Munkar : Yaitu periwayatan perawi yang
dhoif yang menyelisihi periwayatan para perawi yang tsiqoh. Adapun hadits
Syaadz adalah periwayatan perawai yang tsiqoh yang menyelisihi periwayatan
perawi yang lebih tsiqoh darinya.
Ibnu Hajar al-'Asqolaaniy berkata ;
"Dengan demikian jelas bahwasanya antara
hadits Syaadz dan hadits Munkar ada keumuman dan kekhususan dari satu sisi,
karena keduanya bersepakat pada sisi adanya penyelisihan dan keduanya berbeda
dari sisi bawhasanya hadits Syaadz adalah periwayatan peerawi yang tsiqoh atau
shoduuq, dan hadits munkar adalah periwayatan perawi yang dhoiif. Dan telah
lalai orang yang menyamakan antara keduanya, wallahu a'lam" (Nuzhatun
Nador hal 73)
Bahkan sebagian ulama hadits –seperti Imam Ahmad
bin Hanbal- menamakan periwayatan perawi yang tsiqoh yang bersendirian dalam
periwayatannya sebagai hadits yang munkar, tanpa memandang apakah perawi terebut
menyelisihi perawi yang lebih tsiqoh darinya ataukah tidak menyelisihi (lihat
penjelasan Ibnu Hajar dalam Hadyus Saary hal 392).
KEDUA :
Habib Munzir berkata, "Maka tidak
sepantasnya kita menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan
(menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai
ucapan Rasul saw, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan
keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu
berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur.
Rasulullah Saw bersabda : “Barangsiapa yang
sengaja berdusta dengan ucapanku maka hendaknya ia bersiap - siap mengambil
tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits No.110).
Sabda beliau SAW pula : “sungguh dusta atasku
tidak sama dengan dusta atas nama seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta
atas namaku maka ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari
hadits No.1229).
Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang
beramal dengan seluruh hadits dhoif berarti mereka melarang sebagian ucapan
atau sunnah Rasul saw, dan mendustakan ucapan Rasul saw"
SANGGAHAN
Sungguh
tidak ada seorangpun -yang mengerti sedikit saja ilmu hadits- lantas mengatakan
bahwa semua hadits dhoif adalah hadits palsu. Bahkan banyak ahli hadits yang
menyatakan bahwa hadits palsu tidak boleh dimasukkan dalam klasifikasi hadits
dhoif, karena hadits palsu bukanlah hadits.
Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah
pernyataan Habib Munzir "mereka yang melarang beramal dengan seluruh
hadits dhoif berarti mereka melarang sebagian ucapan atau sunnah Rasul saw, dan
mendustakan ucapan Rasul saw". Padahal Habib Munzir telah menjelaskan
sebelumnya bahwa mendustakan ucapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
merupakan kekufuran.
Apakah Habib Munzir tidak tahu bahwasanya banyak
para ulama yang menyatakan tidak boleh mengamalkan hadits dhoif secara mutlak??
Diantara para ulama tersebut adalah :
Pertama ; Yahya bin Ma'iin. Ibnu Sayyid An-Naas
menjelaskan dalam bukunya 'Uyyunul Atsar bahwasanya sebagian ulama –seperti
Imam Ahmad- memberi rukhsoh/keringanan untuk meriwayatkan hadits-hadits dhoif
tentang sejarah, nasab, kondisi Arab, dan lain-lain yang tidak berkaitan dengan
hukum-hukum (halal dan haram). Lalu beliau menyebutkan bahwasanya diantara para
ulama yang tidak memberi keringanan sama sekali adalah Yahya bin Ma'iin. Ibnu
Sayyid An-Naas berkata:
"Dan diantara yang diriwayatkan darinya
penyamaan tentang hal ini antara hukum-hukum dan yang lainnya (*yaitu tentang
sejarah dan peperangan) adalah Yahyaa bin Ma'iin" ('Uyuunul Atsar fi
Funuun Al-Maghoozi wa as-Syamaail wa as-Siyar 1/65)
Kedua : Imam Muslim, beliau berkata di muqoddimah
shahih Muslim :
"Kemudian daripada itu –semoga Allah merahmatimu-,
Maka kalau bukan karena yang kami lihat dari buruknya sikap banyak orang yang
menyatakan dirinya sebagai muhaddits pada perkara yang mengharuskan mereka
untuk membuang hadits-hadits dhoif dan riwayat-riwayat munkar, dan membiarkan
mereka untuk mencukupkan diri dengan hadits-hadits yang shahih yang masyhuur
yang telah diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqoot yang dikenal dengan
kejujuran dan amanah…" (Shahih Muslim 1/6 pada muqoddimah)
Imam Muslim juga berkata:
"Ketahuilah –semoga Allah memberi taufiiq
kepadamu- sesungguhnya yang wajib bagi setiap orang yang mampu membedakan
antara riwayat-riwayat yang shahih dengan riwayat-riwayat yang lemah, juga
membedakan antara para tsiqoot yang menukil riwayat-riwayat dengan orang-orang
yang tertuduh (*tidak tsiqoot) agar tidak meriwayatkan kecuali dari riwayat
yang ia tahu shahihnya jalan-jalan sanadnya dan ketsiqohan para perawinya, dan
agar ia menjauhi riwayat-riwayat yang diriwayatkan oleh para perawi yang
tertuduh dan para penentang dari kalangan ahlul bid'ah" (Shahih Muslim 1/6
pada muqoddimah)
Ibnu Rojab berkata :
"Dzohir dari apa yang disebutkan oleh Imam
Muslim dalam muqoddimah kitabnya (*Kitab Shahih Muslim) menkonsekuensikan
bahwasanya tidaklah diriwayatkan hadits-hadits tentang targhiib wa tarhiib
(*tentang fadhooil al-a'maal) kecuali dari para perawi yang diriwayatkan dari
mereka ahkaam (*tentang halal dan haram)" (Syarh 'Ilal At-Thirimidzi 1/74)
Ketiga : Abu Zur'ah Ar-Roozi
Keempat : Abu Haatim Ar-Roozi
Kelima : Ibnu Abi Haatim, beliau berkata :
"Aku mendengar Ayahku (*yaitu Abu Haatim
Ar-Roozi) dan Abu Zur'ah mereka berdua berkata ; "Hadits-hadits mursal
tidak dijadikan hujah, dan tidaklah tegak hujah kecuali dengan sanad-sanad yang
shahih yang muttasil (bersambung)", demikian pula pendapatku"
(Al-Maroosiil li Ibni Abi Haatim hal 7)
Keenam : Ibnu Hibbaan, beliau berkata
"Dan seorang perawi jika tidak ada seorang
perawi yang tsiqoh yang meriwayatkan darinya maka ia adalah majhuul, tidak
boleh berhujah dengannya, karena riwayat perawi yang dhoif tidak mengeluarkan
seorang yang tidak 'adl dari barisan para perawi majhuul kepada barisan para
perawi yang 'adl. Seakan-akan apa yang diriwayatkan oleh parawi yang dhoif
dengan apa yang tidak diriwayatkannya hukumnya sama saja" (Al-Majruuhiin
1/327-328)
Dan dipahami dari perkataan Ibnu Hibbaan ini
bahwasanya beliau menganggap periwayatan perawi yang dhoif sama hukumnya
seperti tidak ada, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Wallahu a'lam
Ketujuh : Abu Sulaimaan Al-Khottoobi (wafat tahun
388 H)
Beliau rahimahullah telah mencela para fuqohaa
(ahli fikih) yang tidak membedakan antara hadits yang shahih dengan hadits yang
dhoif. Beliau berkata :
"Adapun tingkatan yang lain mereka adalah
para ahli fikih, sesungguhnya mayoritas mereka tidak menyinggung hadits kecuali
sangatlah sedikit, dan hampir-hampir mereka tidak membedakan antara hadits
shahih dengan hadits dho'if, dan mereka tidak mengetahui mana hadits yang baik
dengan hadits hadits yang buruk, dan mereka tidak perduli untuk berhujah dengan
hadits dhoif yang sampai kepada mereka –untuk mengalahkan musuh mereka- jika
hadits dhoif tersebut sesuai dengan madzhab yang mereka anut dan sesuai dengan
pendapat-pendapat yang mereka yakini. Mereka telah membuat kesepakatan diantara
mereka untuk menerima hadits dhoif dan hadits munqoti' (*terputus sanadnya)
jika hadits tersebut sudah masyhuur di sisi mereka dan sering diucapkan oleh
lisan-lisan di antara mereka, tanpa mengecek dulu atau tanpa keyakinan ilmu
tentang hadits tersebut" (Ma'aalim As-Sunan 1/3-4)
Kedelapan : Ibnu Hazm (wafat 456 H)
Tatkala beliau membantah ahlul kitab, beliau
berkata tentang cara kaum muslimin dalam penukilan khabar :
"Khobar yang dinukil –sebagaimana kami
sebutkan-, yaitu dengan penukilan penduduk timur dan barat, atau penukilan
banyak orang dari banyak orang, atau penukilan perawi tsiqoh dari perawi tsiqoh
hingga sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Kecuali jika di
sanadnya ada seorang perawi yang majruuh (tercela) pendusta atau perawi yang
lalai atau perawi yang majhuul al-haal, maka penukilan seperti ini dijadikan
hujah oleh sebagian kaum muslimin. Dan tidak halal di sisi kami berpendapat
dengan penukilan seperti ini dan membenarkannya, dan tidak halal mengambil
sedikitpun dari penukilan seperti ini" (Al-Fishol fi al-milal wa al-Ahwaa
wa an-Nihal 2/222)
Kesembilan : Abu Syaamah Al-Maqdisi As-Syafi'i
(wafat tahun 665 H)
Beliau mengingkari Al-Haafiz Abul Qoosim Ibnu
'Asaakir yang membawakan hadits "Barangsiapa yang berpuasa pada tanggal 27
Rojab maka Allah akan mencatat baginya puasa selama 60 bulan", beliau
berkata :
"Aku sangat berharap kalau Al-Haafiz (*Ibnu
'Assakir) tidak mengatakan demikian, karena pada perkataannya tersebut terdapat
penetapan hadits-hadits yang munkar. Sesungguhnya kedudukan beliau lebih tinggi
dari untuk menyampaikan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebuah
hadits yang menurutnya adalah dusta. Akan tetapi beliau dalam hal ini berjalan
sesuai kebiasaan sekelompok ahli hadits dimana mereka bermudah-mudah pada
hadits-hadits fadhooil a'maal. Dan hal ini menurut ahli tahqiiq dari kalangan
ahli hadits dan juga para ulama ushuul dan fiqh merupakan kesalahan. Dan
hendaknya ia menjelaskan perkara (*kelemahan) hadits tersebut jika ia
mengetahuinya, kalau tidak maka ia akan termasuk dalam ancaman pada sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam : "Barangsiapa yang menyampaikan dariku
sebuah hadits yang menurutnya adalah dusta maka ia adalah salah seorang dari
para pendusta" (Al-Baa'its 'alaa inkaar Al-Bida' wa Al-Hawaadits hal 72)
Kesepuluh : As-Syaukaaniy (wafat 1250 H)
Beliau mengkritik perkataan Ibnu Abdil Barr yang
menyatakan bahwa para ulama bermudah-mudah pada periwayatan hadits dhoif dalam
fadhoo'il a'maal, mereka hanyalah ketat dalam hadits-hadits yang berkaitan
dengan hukum.
As-Syaukaaniy berkata ;
"Sesungguhnya hukum-hukum syari'at sama
saja (*baik masalah hukum maupun masalah fadhooil a'maal), tidak ada perbedaan
diantaranya, maka tidak halal menetapkan suatu hukum dari hukum-hukum syari'at
kecuali dengan dalil yang bisa dijadikan hujjah. Jika tidak maka ini merupakan
bentuk pengada-ngadaan apa yang tidak dikatakan oleh Allah, dan hukuman
perbuatan ini sudah jelas" (Al-Fawaaid Al-Majmuu'ah hal 254)
Kesebelas : Sidhiiq Hasan Khoon
Beliau berkata :
"Dan yang benar yang tidak ada pilihan
selainnya bahwasanya hukum-hukum syari'at sama saja, maka tidak boleh beramal
dengan suatu hadits hingga hadits tersebut shahih atau hasan lidzaatihi atau
hasan lighoirihi atau dhoifnya terangkat hingga naik menjadi hasan lidzaatihi
atau lighoirihi" (Nuzul Al-Abroor bi al-'Ilm al-Ma'tsuur min al-Ad'iyah wa
al-Adzkaar hal 7-8)
Apakah
para ulama ini menurut Habib Munzir telah mendustakan hadits-hadits Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam?? Lantas apakah selanjutnya mereka dihukum kafir
oleh Habib Munzir..??!!. Saya sampai bingung menghadapi vonis-vonis nekat dari
Habib Munzir. Membedakan antara mayat dan orang hidup dikatakan kufur dan
kesyirikan yang nyata?? (lihat kembali), menolak mengamalkan hadits-hadits
dhoif dikatakan mendustakan ucapan Nabi dan merupakan kekufuran??!!
Apakah ada satu saja ulama…atau satu saja ustadz
yang berpendidikan yang berpendapat seperti pendapat Habib Munzir ini
bahwasanya menolak mengamalkan seluruh hadits dhoif melazimkan mendustakan
ucapan Nabi??? Yang hal ini merupakan kekufuran??. Bukankah Habib Munzir memiliki
sanad hingga Imam As-Syafii, bahkan hingga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
lantas apakah ada para ulama yang sanad Habib Munzir sampai kepada mereka yang
berpendapat seperti Habib Munzir ini??!!!!
Permasalahan mengamalkan hadits dhoif dalam
fadhooil a'maal merupakan permasalah khilafiyah diantara para ulama. Hal ini
telah dijelaskan oleh As-Sakhoowiy dalam kitabnya Al-Qoul Al-Badii' fi
as-Sholaat 'alaa al-Habiib As-Syafii' hal 363-366). Mayoritas Ulama membolehkan
untuk mengamalkan hadits-hadits dho'iif dalam fadhooil a'maal dan untuk
at-targhiib wa at-tarhiib (bukan dalam hukum-hukum), akan tetapi mereka memberi
persyaratan untuk mengamalkannya.
Al-Haafizh As-Sakhoowi menyebutkan bahwasanya
guru beliau –yaitu Imam Ibnu Hajr Al-'Asqolaani- memberi 3 persayaratan untuk
mengamalkan hadits dhoif.
Beliau berkata :
"Sungguh aku telah berulang kali mendengar
guruku (*Ibnu Hajar al-'Asqolaaniy) berkata, -dan ia telah menulis dengan khot
(*tulisan tangan) beliau :
"Sesungguhnya syarat mengamalkan hadits
dho'if ada tiga :
Pertama : Persyaratan yang disepakati yaitu
kedhoifannya tidak boleh parah, karenanya tidak termasuk periwayatan
bersendirian dari para pendusta dan para perawi yang tertuduh dusta serta
perawi yang parah kesalahannya
Kedua : Amalan yang dilakukan berada di bawah
asal (*hukum) yang umum, karenanya tidak termasuk amalan yang diada-adakan yang
tidak memiliki asal hukum sama sekali
Ketiga : Tatkala mengamalkannya hendaknya ia
tidak meyakini shahihnya hadits tersebut agar ia tidak menyandarkan
(menisbahkan) kepada Nabi apa yang tidak diucapkan oleh Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam.
Ibnu Hajar berkata : Dua syarat yang terakhir
dari Al-'Izz bin Abdis Salaam dan sahabatnya Ibnu Daqiiq al-'Iid, dan adapun
syarat yang pertama maka Al-'Alaai menukilkan adalah kesepakatan akan syarat
ini" (Al-Qoul al-Badii' 363-364)
Keempat : Agar orang yang mengamalkannya tidak
menampak-nampakkan amalannya. Persyaratan ini disebutkan oleh Ibnu Hajar
al-Asqolaaniy dalam kitabnya Tabyiinul 'Ajab Bi Maa Waroda fi Fadhli Rojab.
Beliau berkata :
"Bersamaan dengan itu (*yaitu bolehnya
membawakan hadits dhoif dalam fadhooil a'maal) hendaknya disyaratkan agar orang
yang mengamalkannya meyakini bahwa hadits tersebut dhoif, dan hendaknya ia
tidak menampak-nampakan (menyohorkan) hal itu, agar seseorang tidak mengamalkan
hadits dhoif sehingga iapun mensyari'atkan apa yang bukan syari'at. Atau ada
sebagian orang jahil yang melihatnya (*mengamalkan hadits dhoif) sehingga iapun
menyangka bahwa amalan tersebut adalah sunnah yang shahih.
Makna ini telah dijelaskan oleh Al-Ustaadz Abu
Muhammad Ibni Abdis Salaam dan yang lainnya. Dan hendaknya seseorang
berhati-hati agar tidak termasuk dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
; "Barangsiapa yang menyampaikan dariku sebuah hadits yang menurutnya
adalah dusta maka ia adalah salah seorang dari para pendusta", maka
bagaimana lagi dengan orang yang mengamalkannya.??
Dan tidak ada perbedaan dalam mengamalkan hadits
dalam ahkaam (hukum-hukum) dan dalam fadhooil a'maal, karena semuanya adalah
syari'at" (Tabyiinul 'Ajab hal 11-12)
Maka
apakah Habib Munzir dan demikian juga para pengikutnya tatkala mengamalkan dan
menyampaikan hadits-hadits dhoiif sudah menelaah dan mengamalkan
persyaratan-persyaratan yang dipasang oleh Ibnu Hajar di atas??!!
Bahkan dari penjelasan Ibnu Hajar pada
persyaratan yang keempat (dalam kitabnya Tabyiinul 'Ajab) nampak bahwa beliau
condong pada pendapat untuk tidak mengamalkan hadits dhoif sama sekali baik
dalam masalah hukum maupun masalah fadhooil a'maal karena kedua-duanya
merupakan syari'at, dan syari'at tidaklah dibangun di atas hadits yang dhoiif.
KETIGA : Habib Munzir berkata :
"Karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai
hadits yang palsu berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur.
Rasulullah Saw bersabda : “Barangsiapa yang
sengaja berdusta dengan ucapanku maka hendaknya ia bersiap - siap mengambil
tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits No.110).
Sabda beliau SAW pula : “sungguh dusta atasku
tidak sama dengan dusta atas nama seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta
atas namaku maka ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari
hadits No.1229)"
SANGGAHAN
Habib Munzir membawakan dua hadist sebagai dalil
bahwa mendustakan ucapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan
kekufuran.
Para pembaca yang budiman, ini merupakan
pendalilan yang tidak pada tempatnya bahkan pemutarbalikan fakta, hal ini jelas
dari dua sisi :
Pertama : Hadits-hadits ini digunakan oleh para
ulama untuk menjelaskan bahayanya orang yang memalsukan hadits dan
menyandarkannya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dalam sebuah riwayat dengan lafal
مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
"Barangsiapa yang mengatakan atas namaku apa
yang tidak aku ucapkan maka persiapkanlah tempatnya di neraka" (HR
Al-Bukhari no 109)
Maka sangatlah jelas bahwa hadits-hadits ancaman
tersebut berkaitan dengan orang yang menyampaikan suatu perkataan (hadits) yang
tidak pernah diucapkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini berbeda
dengan orang yang menolak hadits Nabi karena ragu dengan kesahihannya. Menolak
hadits berbeda dengan memalsukan hadits, dan dua hadits di atas yang habib
sebutkan serta hadits yang saya sebutkan berkaitan dengan orang yang memalsukan
hadits.
Karenanya tolong Habib Munzir untuk menyebutkan
siapakah para ulama yang berdalil dengan hadits ini untuk mengancam orang yang
menolak hadits Rasulullah ? dan juga terlebih lagi Ulama siapakah yang telah
berdalil dengan hadits ini untuk mengancam orang yang menolak seluruh hadits
dhoif??!!. Apakah Habib Munzir tidak membaca perkataan para ulama tentang syarh
(penjelasan) isi dalil ini??!!
Kedua : Bahkan sebagian ulama justru berdalil
dengan hadits ini untuk mengancam orang-orang yang menyampaikan hadits-hadits
dho'if kemudian menyatakan bahwa Rasulullah telah menyabdakan hadits-hadits
dhoif tersebut, tanpa menjelaskan kedhoifannya, karena hadits dhoif adalah
hanya merupakan persangkaan yang marjuuh.
Allah telah mencela persangkaan (zhon) yang tidak
kuat (marjuh) dalam banyak ayat, diantaranya : firman Allah
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali
persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk
mencapai kebenaran (QS Yuunus : 36)
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan
belaka (QS Al-An'aam : 116)
Al-Qoodhi Abul Mahaasin yusuf bin Muusaa
Al-Hanafi berkata dalam kitabnya "Al-Mu'tashor", pada sub judul ;
"Tentang berdusta atas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam"
"Allah berfirman ((Bukankah Perjanjian
Taurat sudah diambil dari mereka, Yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan
terhadap Allah kecuali dengan al-haq/yang benar)), dan perkataan dari
Rasulullah adalah perkataan atas nama Allah. Al-Haq pada ayat ini seperti
al-Haq dalam firman Allah
إِلا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ
Kecuali orang yang menyaksikan dengan
al-Haq/kebenaran (QS Az-Zukhruf : 86)
Maka setiap orang yang mempersaksikan dengan zhon
(prasangka) maka ia telah mempersaksikan dengan selain al-Haq, karena zhon
tidaklah memberikan kebenaran sama sekali. Maka demikian pula orang yang
menyampaikan sebuah hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan
zhon/persangkaan maka ia telah menyampaikan dari Nabi dengan selain al-Haq,
maka hal ini merupakan kebatilan, dan kebatilan adalah dusta. Maka jadilah ia
salah seorang dari para pendusta atas nama Nabi, dan termasuk orang-orang yang
masuk dalam sabda Nabi ((Barangsiapa yang berdusta atasku maka bersiaplah
mengambil tempatnya di neraka)), dan kita berlindung dari hal ini"
(Al-Mu'tashor min al-Mukhtashor min Musykil al-Aatsaar 2/262)
Dan perkataan al-Qoodhi Abul Mahaasin ini
merupakan ringkasan dari perkataan Abu Ja'far At-Thowaawi Al-Hanafi (wafat 321
H) sebagaimana termaktub dalam kitabnya "Musykil al-Aatsaar 1/373-375)
silahkan para pembaca merujuk kitab tersebut (saya tidak menukilnya di sini
karena terlalu panjang untuk diterjemahkan)
Dan paling tidak –sebagaimana menurut sebagian
ulama- jika seseorang bermudah-mudahan menyandarkan hadits dhoif kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa menjelaskan kedhoifannya maka dikawatirkan
ia telah terjerumus dalam kedustaan. Telah lalu perkataan Al-Haafiz Ibnu Hajar
al-'Asqolaaniy : "Bersamaan dengan itu (*yaitu bolehnya membawakan hadits
dhoif dalam fadhooil a'maal) hendaknya disyaratkan agar orang yang
mengamalkannya meyakini bahwa hadits tersebut dhoif, dan hendaknya ia tidak
menampak-nampakan (menyohorkan) hal itu, agar seseorang tidak mengamalkan
hadits dhoif sehingga iapun mensyari'atkan apa yang bukan syari'at. Atau ada
sebagian orang jahil yang melihatnya (*mengamalkan hadits dhoif) sehingga iapun
menyangka bahwa amalan tersebut adalah sunnah yang shahih.
Makna ini telah dijelaskan oleh Al-Ustaadz Abu
Muhammad Ibni Abdis Salaam dan yang lainnya. Dan hendaknya seseorang
berhati-hati agar tidak termasuk dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
; "Barangsiapa yang menyampaikan dariku sebuah hadits yang menurutnya
adalah dusta maka ia adalah salah seorang dari para pendusta", maka
bagaimana lagi dengan orang yang mengamalkannya.??" (Tabyiinul 'Ajab hal
11)
Al-Munaawi As-Syafii tatkala menjelaskan hadits
((Barangsiapa yang menyampaikan dariku sebuah hadits yang menurutnya adalah
dusta maka ia adalah salah seorang dari para pendusta)) beliau berkata :
"(*Sabda Nabi) "Maka ia adalah salah
seorang dari para pendusta" dengan konteks jamak (*أحد الكَاذِبِيْنَ= salah seorang dari
para pendusta) yaitu ditinjau dari jumlah banyak orang-orang yang meriwayatkan,
dan dengan konteks tasniyah/dua (*أحد الكَاذِبَيْنِ = salah seorang dari dua pendusta) yaitu
ditinjau dari pendusta (pencetus hadits palsu tersebut) dan yang menukil dari
sang pendusta. Yang lebih masyhuur adalah dengan konteks jamak sebagaimana
dalam kitab Ad-Diibaaj.
Maka tidak boleh bagi seseorang yang meriwayatkan
hadits untuk berkata : "Rasulullah bersabda" kecuali jika ia mengetahui
shahihnya hadits tersebut, dan ia berkata pada hadits dhoif : "Telah
diriwayatkan.." atau "Telah sampai kepada kami…". Jika ia
meriwayatkan hadits yang ia tahu atau ia persangkakan merupakan hadits palsu
lantas ia tidak menjelaskan keadaannya maka ia termasuk dalam barisan pendusta,
karena ia telah membantu sang pemalsu hadits dalam menyebarkan kedustaannya,
maka iapun ikut menanggung dosa, seperti seseorang yang menolong orang yang
dzolim. Oleh karenanya sebagian tabi'in takut untuk menyandarkan hadits kepada
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi ia menyandarkan hadits kepada
sahabat dan berkata, "Dusta atas nama shahabat lebih ringan" (Faidhul
Qodiir 6/116).
Al-Imam An-Nawawi berkata
"Para ulama ahli tahqiq (*ahli peneliti)
dari kalangan ahli hadits dan yang lainnya telah berkata : Jika hadits dho'if
maka tidak boleh dikatakan pada hadits tersebut :"Telah bersabda
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam", atau "Telah
mengerjakan" atau "Telah memerintahkan", atau "Telah
melarang", atau "Rasulullah telah berhukum", dan yang semisalnya
dari shigoh al-jazm" (Al-Majmuu' syarh Al-Muhadzdzab 1/104)
Beliau juga berkata :
"Mereka (*para ulama ahli tahqiq) berkata :
Shigoh jazm diletakan untuk hadits-hadits yang shahih atau hasan, dan shigoh
tamriidl digunakan untuk selain hadits-hadits shahih dan hasan. Hal ini karena
shigoh jazm mengharuskan shahihnya perkataan dari yagn disandarkan perkataan
tersebut. Karenanya tidak semestinya digunakan kecuali pada hadits yang shahih,
dan jika tidak, maka seseorang maknanya telah berdusta atas namanya. Dan adab
ini telah dilanggar oleh penulis (As-Syiroozy) dan mayoritas ahli fikih dari
madzhab syafii dan yang selainnya, bahkan dilanggar oleh mayoritas para ahli
ilmu-ilmu secara mutlak, kecuali para ahli hadits yang cerdik. Dan hal ini
merupakan sikap bermudah-mudahan yang buruk. Sering mereka berkata pada hadits
yang shahih : "Telah diriwayatkan dari Nabi", dan (sebaliknya) mereka
berkata tentang hadits dhoif, "Rasulullah telah bersabda", "Si
fulan telah meriwayatkan", dan ini merupakan bentuk penyimpangan dari
kebenaran" (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 1/104)
Al-Baghowiy berkata, "Segolongan dari para
sahabat dan para tabiin membenci untuk terlalu banyak menyampaikan hadits dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam khawatir terjatuh dalam penambahan
lafal hadits atau pengurangan atau kesalahan. Bahkan diantara para tabiin ada
yang takut menisbahkan hadits kepada Rasulullah, lalu iapun menisbahkannya kepada
sahabat dan berkata, "Dusta atas nama seorang sahabat lebih ringan dari
pada dusta atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam…semua itu karena
penghormatan kepada hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan
kekawatiran terjerumus dalam ancaman" (Syarh As-Sunnah 1/255-256)
Karenanya barangsiapa yang memilih pendapat
bolehnya meriwayatkan hadits dhoif dalam fadhoilul a'maal maka hendaknya ia
menjelaskan kedhoifan hadits tersebut dan juga memperhatikan empat persyaratan
yang disebutkan oleh Al-Haafiz Ibnu Hajar al-'Asqolaaniy.
Penutup
Sebagai penutup artikel ini maka saya menyebutkan
bahwasanya diantara manaqib Imam As-Syafi'i rahimahullah –sebagaimana yang
ditegaskan oleh Imam An-Nawawi- bahwasanya Imam As-Syafii sangat bersungguh-sungguh
dalam menolong hadits-hadits Nabi dan mengikuti sunnah, serta sangat berusaha
mengamalkan hadits-hadits yang shahih dan membuang hadits-hadits yang dhoif.
Imam An-Nawawi berkata :
"Dan diantara manaqib (kebaikan-kebaikan)
Imam As-Syafii adalah ijtihad (kesungguhan) beliau dalam menolong hadits-hadits
Nabi dan dalam mengikuti sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam…sampai-sampai tatkala beliau datang ke Iraq maka beliau dijuluki dengan
penolong hadits-hadits Nabi"(Al-Majmuu' 1/27)
Imam An-Nawawi juga berkata :
"Dan diantara manaqib Imam As-Syafii
rahimahullah adalah berpegang teguhnya beliau terhadap hadits-hadits yang
shahih dan berpalingnya beliau dari hadits-hadits yang lemah dan dhoif. Dan
kami tidak mengetahui seorangpun dari para ahli fikih yang memberi perhatian
dalam berhujjah dengan membedakan antara hadits yang shahih dengan hadits yang
dhoif sebagaimana perhatian Imam As-Syafii" (Al-Majmuu' hal 28)
(Bersambung…)
Mekah, 28 Dzulqo'dah 1423 H /26 Oktober 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Disalin pada 18 Juni 2013
Untuk lebih lengkapnya (teks arabnya), bisa klik
sumbernya langsung, ada komentar dan diskusi juga di sana.