Di bawah ini empat pernyataan Habib Munzir yang
berkaitan dengan ilmu hadits beserta sanggahan-sanggahan terhadap
pernyataan-pernyataan tersebut.
Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita memahami
agamaNya dengan baik dan benar… Allahumma aamiin.
PERNYATAAN PERTAMA :
Habib Munzir berkata :
"Sebagaimana para pakar hadits bukanlah
sebagaimana yang terjadi dimasa kini yang mengaku–ngaku sebagai pakar hadits.
Seorang ahli hadits mestilah telah mencapai derajat Al Hafidh. Al Hafidh dalam
para ahli hadits adalah yang telah hafal 100.000 hadits berikut hukum sanad dan
matannya, sedangkan 1 hadits yang bila panjangnya hanya sebaris saja itu bisa
menjadi dua halaman bila ditulis berikut hukum sanad dan hukum matannya, lalu
bagaimana dengan yang hafal 100.000 hadits?
Diatas tingkatan Al Hafidh ini masih adalagi yang
disebut Al Hujjah (Hujjatul Islam) yaitu yang hafal 300.000 hadits dengan hukum
matan dan hukum sanadnya, diatasnya adalagi yang disebut : Al Hakim, yaitu
pakar hadits yang sudah melewati derajat Al Hafidh dan Al Hujjah, dan mereka
memahami banyak lagi hadits – hadits yang teriwayatkan. (Hasyiah Luqathuddurar
Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar Al
Atsqalaniy)"
SANGGAHAN
Pernyataan
Habib Munzir diatas perlu ditinjau kembali.
Sebelumnya perlu diketahui –oleh para pembaca
sekalian- bahwa kitab Hasyiah Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar bukan
karangan Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar Al Atsqalaniy.
Seseorang yang tidak pernah menelaah kitab
Hasyiah Luqathuddurar ketika membaca perkataan Habib Munzir "Hasyiah
Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar Al
Atsqalaniy" akan menyangka bahwa pengarang kitab ini adalah Al-Imam Ibnu
Hajar.
Akan tetapi yang benar, pengarang kitab tersebut
adalah Abdullah bin Husain Khoothir. Adapun Imam Ibnu Hajar adalah pengarang
Nukhbatul Fikar dan juga syarahnya Nuzhaton Nazhor.
Adapun pernyataan Habib Munzir :
"Seorang ahli hadits mestilah telah mencapai
derajat Al Hafidh. Al Hafidh dalam para ahli hadits adalah yang telah hafal
100.000 hadits berikut hukum sanad dan matannya"
Pernyataan ini tidak pernah ditemukan dalam
buku-buku mustholah al-hadits (ilmu yang membahas kaedah-kaedah hadits).
Para pembaca sekalian setelah merujuk ke kitab
Luqathudduror ternyata penulis kitab tersebut tidak pernah menyatakan apa yang
dinyatakan oleh Habib Munzir bahwa seorang tidak bisa jadi ahli hadits kecuali
setelah mencapai derajat Al-Hafizh yang menghapal 100 ribu hadits.
Penulis kitab kitab Hasyiah Luqoth Ad-Duror
berkata :
"Aku melihat di sebagian kitab dinukil dari
Al-Munaawi bahwasanya ahli hadits bertingkat-tingkat. Tingkatan pertama adalah
At-Thoolib –dan dia adalah pemula-, kemudian Al-Muhaddits, dan ia adalah
seorang yang membawa (menerima periwayatan) hadits dan memiliki perhatian
terhadap hadits baik dari sisi periwayatan maupun sisi dirooyah (*makna
hadits). Tingkatan berikutnya adalah Al-Haafizh, ia adalah orang yang menghafal
100 ribu hadits baik matannya maupun isnadnya, meskipun dengan jalan-jalan
periwayatan yang berbilang, serta ia memahami apa yang ia butuhkan. Tingkatan
berikutnya adalah Al-Hujjah, ia adalah orang yang menguasai 300 ribu hadits.
Tingkatan selanjutnya adalah Al-Haakim, ia adalah orang yang ilmunya menguasai
seluruh hadits-hadits yang diriwayatkan baik matan maupun isnad, baik ilmu jarh
wa ta'dilnya, serta sejarahnya, sebagaimana dikatakan oleh sekelompok ahli
tahqiq" (Haasyiyah Luqot Ad-Duror bi Syarh Matn Nukhbah Al-Fikr, karya
Abdullah bin Husain Khoothir As-Samiin, ulama abad 14 hijriyah).
Jadi dari perkataan di atas, terlihat jelas bahwa
seorang ahli hadits tidak mesti harus menjadi seorang Al Hafizh, akan tetapi
seseorang telah dikatakan sebagai muhaddits jika telah memiliki perhatian
terhadap hadits baik riwayat maupun diroyahnya.
PERNYATAAN KEDUA :
Habib Munzir berkata:
"Perlu diketahui bahwa Imam Syafii ini lahir
jauh sebelum Imam Bukhari, Imam Syafii lahir pada tahun 150 Hijriyah dan wafat
pada tahun 204 Hijriyah, sedangkan Imam Bukhari lahir pada tahun 194 Hijriyah
dan wafat pada 256 Hijriyah. Maka sebagaimana sebagian kelompok banyak yang
meremehkan Imam syafii, dan menjatuhkan fatwa–fatwa Imam Syafii dengan
berdalilkan Shahih Bukhari, maka hal ini salah besar, karena Imam Syafii sudah
menjadi Imam sebelum usianya mencapai 40 tahun, maka ia telah menjadi Imam
besar sebelum Imam Bukhari lahir ke dunia."
SANGGAHAN
Pernyataan Habib Munzir ini merupakan pernyataan
yang sangat aneh. Apakah kalau Imam Syafii yang sudah jadi imam sebelum imam
Al-Bukhari lahir ke dunia, lantas fatwa beliau tidak boleh dikritik oleh
hadits-hadits shahih yang terdapat dalam shahih al-Bukari??!!
Pernyataan yang aneh ini melazimkan banyak
kerancuan, diantaranya :
Pertama : Pernyataan bahwa fatwa-fatwa Imam
As-Syafi'i tidak boleh dikritik atau dikalahkan dengan hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari merupakan pernyataan yang SANGAT BERBAHAYA
!!!!. Karena hal ini melazimkan mengedepankan dan mendahulukan perkataan Imam
As-Syafii daripada sabda-sabda Habiibuna Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam
yang shahih yang diriwayatkan dalam shahih al-Bukhari!!, yang merupakan kitab
yang paling shahih setelah Al-Qur'an !!!.
Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS Al-Hujuroot : 1)
Kedua: Hal ini bertentangan dengan wasiat Imam As-Syafi'i, beliau rahimahullah telah
berkata
"Tidak ada seorangpun keculai ada sunnah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak ia ketahui. Maka
bagaimanapun aku berpendapat dengan suatu perkataan atau aku membuat kaidah
yang ternyata ada hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyelisihi
perkataanku maka pendapat yang benar adalah sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, dan itulah pendapatku." (Taariikh Dimasyq 51/389)
"Jika kalian mendapati sunnah dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyelisihi perkataanku maka
ambillah sunnah dan tinggalkanlah perbuatanku, karena aku berpendapat dengan
sunnah tersebut" (Taariikh Dimasq 51/389)
"Seluruh hadits dari Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam maka itu adalah pendapatku, meskipun kalian tidak
mendengarnya dariku" (Taariikh Dimasyq 51/389)
Imam An-Nawawi berkata :
"Telah sah dari Imam As-Syafii rahimahullah
bahwasanya beliau berkata : "Jika kalian mendapati dalam kitabku
penyelisihan terhadap sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka
berpendapatlah dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan
tinggalkanlah pendapatku". Dan diriwayatkan dari Imam As-Syafi'i :
"Jika telah shahih sebuah hadits yang bertentangan dengan pendapatku maka
amalkanlah hadits dan tinggalkanlah pendapatku", atau Imam As-Syafii
berkata, "Itulah mdzhabku", dan telah diriwayatkan makna seperti ini
dengan lafal-lafal yang bermacam-macam.
Para sahabat kami (*dari kalangan ulama besar
madzhab syafi'i) telah mengamalkan hal ini (*yaitu wasiat Imam As-Syafii untuk
mengikuti hadits dan menginggalkan pendapatnya) dalam permasalahan at-Tatswiib
dan mempersyaratkan untuk bertahallul dari ihrom karena sakit dan
permasalahan-permasalahan yang lain yang sudah ma'ruuf dalam buku-buku
madzhab" (Al-Majmuu' syarh Al-Muhadzdzab 1/104)
Imam An-Nawawi juga berkata :
"Dan kami telah meriwayatkan dari Imam Abu
Bakr Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah yang dikenal sebagai imamnya para imam.
Dan karena tingkat beliau yang tinggi dalam hafalan haditsnya dan pengetahuan
tentang sunnah-sunnah Nabi maka beliau ditanya : "Apakah engkau tahu ada
sunnah yang shahih yang tidak dicantumkan oleh Imam As-Syafii dalam kitab-kitab
beliau?", maka beliau (*Ibnu Khuzaimah) menjawab :
Tidak ada".
Namun meskipun demikian Imam As-Syafii
rahimahullah tetap berhati-hati –karena menguasai seluruh hadits-hadits Nabi
yang shahih merupakan perkara yang mustahil bagi manusia-, maka beliaupun
mengatakan wasiat beliau -yang telah diriwayatkan dari berbagai sisi- untuk
mengamalkan hadits yang shahih dan meninggalkan pendapat beliau yang
menyelisihi nas yang shahih dan jelas.
Wasiat beliau ini telah dilaksanakan oleh para
sahabat kami dalam banyak permasalahan fikih yang masyhuur. Seperti
permasalahan at-tatswiib dalam adzan subuh, mempersyaratkan untuk bertahallul
dalam haji karena ada udzur, dan masalah-masalah yang lainnya"(Al-Majmuu'
syarh Al-Muhadzdzab 1/28)
Ketiga: Pernyataan Habib Melazimkan bahwa orang
yang sudah menjadi imam terdahulu tidak boleh dikritik oleh orang setelahnya.
Dan kelaziman ini berarti:
-
Melazimkan Imam As-Syafi'i tidak boleh mengkritik Imam Malik, yang
merupakan gurunya Imam As-Syafi'i
-
Terlebih lagi Imam As-Syafii tidak boleh mengkritik Imam Abu Hanifah
yang lebih senior lagi daripada Imam Malik
-
Bahkan para pengikut madzhab As-Syafi'i tidak boleh menikam fatwa-fatwa
Imam Malik dan Imam Abu Hanifah karena kedua Imam tersebut lebih senior dan
lebih dahulu jadi imam daripada imam As-Syafi'i
Keempat: Apakah
ada metode pentarjihan seperti ini dalam kitab-kitab fikih? Yang lebih tua dan
lebih dulu jadi imam tidak boleh dikritik dengan perkataan yang lebih muda dan
lebih terbelakang jadi imam??,
Adakah
kitab ushul fiqh yang membahas dan menyatakan metode ini…?, dalam madzhab
apakah metode seperti ini??.
Ataukah ini hanya madzhab khusus Habib Munzir
–yang konon ilmunya diperoleh dengan sanad-??.
Kelima: Pernyataan Habib Munzir ini melazimkan
bahwasanya Imam As-Syafii ma'suum (tidak mungkin bersalah).
Ingat para pembaca budiman…yang saya sebutkan
adalah sebuah kelaziman dari sebuah pernyataan Habib Munzir, jadi jangan sampai
keliru dipahami bahwa Habib Munzir yang menyatakannya, tapi ini kelaziman dari
pernyataan Habib.
Perlu untuk dipahami oleh para pembaca sekalian :
1.
Bahwa setiap Imam, siapapun dia –bahkan shahabat Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu- tidak maksum dari kesalahan.
2.
Setiap ulama yang tidak sependapat dengan Imam Asy Syafi'iy rahimahullah
bukan berarti beliau meremehkan Imam Asy Syafi'iy, akan tetapi ulama tersebut
memilih pendapat yang menurutnya lebih dekat dengan dalil dari Al Quran dan
Sunnah yang shahih berdasarkan pemahaman para shahabat radhiyallahu ‘anhum.
PERNYATAAN KETIGA :
Habib Munzir berkata :
"Lalu bagaimana dengan saudara-saudara kita
masa kini yang mengeluarkan fatwa dan pendapat kepada hadits–hadits yang
diriwayatkan oleh para Imam ini? Mereka menusuk fatwa Imam Syafii, menyalahkan
hadits riwayat Imam-Imam lainnya.
Seorang periwayat mengatakan hadits ini dhoif,
maka muncul mereka ini memberi fatwa bahwa hadits itu munkar, darimanakah ilmu
mereka? Apa yang mereka fahami dari ilmu hadits? Hanya menukil-nukil dari
beberapa buku saja, lalu mereka sudah berani berfatwa…"
"Saudara–saudaraku yang kumuliakan, kita
tidak bisa berfatwa dengan buku-buku, karena buku tidak bisa dijadikan rujukan
untuk mengalahkan fatwa para Imam terdahulu, bukanlah berarti kita tidak boleh
membaca buku, namun maksud saya bahwa buku yang ada zaman sekarang ini adalah
pedoman paling lemah dibandingkan dengan fatwa-fatwa Imam-Imam terdahulu"
SANGGAHAN :
Pernyataan
Habib Munzir: "Saudara–saudaraku yang kumuliakan, kita tidak bisa berfatwa
dengan buku-buku, karena buku tidak bisa dijadikan rujukan untuk mengalahkan
fatwa para Imam terdahulu, bukanlah berarti kita tidak boleh membaca buku,
namun maksud saya bahwa buku yang ada zaman sekarang ini adalah pedoman paling
lemah dibandingkan dengan fatwa-fatwa Imam-Imam terdahulu"
Pertama: Ini adalah pernyataan sangat berbahaya
karena menimbulkan keraguan terhadap buku-buku yang ada di zaman sekarang ini.
Dan hal ini tentunya akan meninggalkan keraguan terhadap agama, karena untuk
mempelajari agama di zaman sekarang ini melalui buku-buku yang ada.
Kedua: Ada beberapa pertanyaan yang saya tanyakan
kepada Habib Munzir dan ini adalah sanggahan dengan pertanyaan:
-
Jika buku-buku agama yang digunakan untuk mengkritik fatwa-fatwa
imam-imam dahulu tidak bisa dijadikan pedoman, lantas bagaimana cara kaum
muslimin belajar agama?, apakah harus dengan sistem sanad yang
digembar-gemborkan oleh para pendukung Habib Munzir??
-
Bukankah fatwa-fatwa imam-imam tersebut juga termaktub dan terdapat
dalam buku-buku?, ataukah Habib Munzir mendapatkan fatwa-fatwa tersebut tidak
melalui buku-buku?. Jika tidak melalui buku-buku, lantas dari mana? Melalui
sanad guru??!!
-
Jika ternyata fatwa-fatwa tersebut dinukil dari buku-buku lantas
bukankah buku-buku tersebut juga tidak bisa menjadi pedoman?
Ketiga : Habib sendiri menyelisihi metode yang
dia canangkan sendiri.
Bukankah Habib Munzir tatkala membolehkan
beristighootsah kepada mayat juga berpedoman kepada buku-buku zaman
sekarang???!!. Demikian pula, bukankah Habib Munzir tatkala membolehkan
membangun kuburan di masjid juga berpedoman dengan fatwa Imam Syafii yang
terdapat dalam buku Faidhul Qodiir, (lihat kembali
http://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/183). Yang lebih parah
ternyata Habib Munzir salah menukil dan akhirnya terjerumus dalam kekeliruan.
Jadi ternyata bukan bukunya yang keliru akan tetapi Habib Munzir yang salah
menukil dari buku tersebut !!!!. , atau mungkin saja Habib Munzir menukil dari
buku Faidhul Qodiir dalam cetakan lain yang tidak diragukan, dan bukan cetakan
zaman sekarang yang tidak bisa dijadikan pedoman??!!
PERNYATAAN KEEMPAT :
Habib Munzir berkata :
"Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ini hafal
1.000.000 hadits, lalu berapa luas pemahaman si penerjemah atau pensyarah yang
ingin menerjemahkan keluasan ilmu Imam Ahmad dalam terjemahannya?
Bagaimana tidak? Sungguh sudah sangat banyak
hadits - hadits yang sirna masa kini, bila kita melihat satu contoh kecil saja,
bahwa Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1.000.000 hadits, lalu kemana hadits hadits
itu? Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad haditsnya hanya tertuliskan hingga
hadits No.27.688, maka kira kira 970.000 hadits yang dihafalnya itu tak sempat
ditulis…!
Lalu bagaimana dengan ratusan Imam dan Huffadh
lainnya? Lalu logika kita, berapa juta hadits yang sirna dan tak sempat
tertuliskan?
Kesimpulan
dari pernyataan Habib Munzir ini adalah :
-
Imam Ahmad menghapal 1 juta hadits, dan yang termaktub dalam musnad Imam
Ahmad hanya 27.688 hadits, jadi ada sekitar 970.000 hadits yang tidak sempat
ditulis oleh Imam Ahmad
-
Selain imam Ahmad masih ada imam-imam hufaadz yang lainnya yang juga
hapalannya banyak, sehingga kesimpulannya berarti ada jutaan hadits yang sirna
dan tidak sempat tertuliskan.
SANGGAHAN
Sanggahan dari pernyataan Habib Munzir ini dari
dua sisi ;
Pertama: Maksud dari Imam Ahmad menghafal sejuta
hadits bukanlah maksudnya beliau menghapal sejuta matan hadits dengan sejuta
sanad.
Para ulama telah menjelaskan bahwa maksud dari
hafalan Imam Ahmad sejuta hadits adalah disertai dengan pengulangan dan
jalan-jalan haditsnya. Karena bisa jadi satu matan hadits memiliki banyak
jalan-jalan periwayatan. Jika satu matan (teks hadits) memiliki 10 jalur
periwayatan maka mereka menganggapnya 10 hadits. Bahkan terkadang satu hadits
memiliki seratus atau lebih jalur periwayatan.
Oleh karenanya diriwayatkan juga bahwasanya
Al-Imam Al-Bukhari menghafal 100 ribu hadits shahih, dan maksudnya adalah
dengan pengulangan serta jalan-jalan hadits.
Berkata Al-Haafizh Al-'Irooqi :
"…Perkataan Imam Al-Ju'fiy (*yaitu Imam
Al-Bukhari) : "Aku menghafal dari hadits shahih 100 ribu hadits". Dan
mungkin saja maksud Imam Al-Bukhari adalah dengan pengulangan dan juga
(*termasuk) atsar-atsar mauquuf…" (Lihat Alfiyah Al-'Irooqiy)
Al-Hafizh
As-Sakhoowi As-Syafii tatkala menyarah perkataan Al-'Irooqi ini berkata :
"Maksud Imam Al-Bukhariy tercapainya
bilangan tersebut (100 ribu hadits shahih) dengan menghitung pula hadits-hadits
yang berulang, dan juga menghitung hadits-hadits mauquf dan juga atsar-atsar para sahabat dan para
tabi'in dan selain mereka, serta fatwa-fatwa mereka. Karena para salaf mereka
menyebut seluruhnya (*hadits marfu', hadits mauquf, dan atsar sahabat) dengan
nama hadits. Dan dengan demikian mudah perkaranya, karena bisa jadi satu hadits
memiliki 100 jalan atau lebih.
Lihatlah hadits "Al-A'maalu binniyyaat"
…telah dinukilkan dari Al-Haafiz Abu Ismaa'iil Al-Anshooriy Al-Harowiy
bahwasanya ia telah menulis hadits ini dari 700 para perawi yang meriwayatkan
dari Yahyaa bin Sa'iid Al-Anshooriy. Dan Al-Ismaa'iliy mengomentari perkataan
Al-Bukhari : "Hadits-hadits shahih yang aku tinggalkan lebih banyak"
dengan perkataan beliau : "Seandainya Imam Al-Bukhariy mengeluarkan
seluruh hadits yang ada padanya maka ia akan menggumpulkan dalam satu bab
hadits jama'ah (banyak orang) dari sahabat, dan Imam Al-Bukhari akan
menyebutkan jalan-jalan (*periwayatan) dari masing-masing sahabat tersebut jika
shahih"
Al-Jauzaqiy berkata bahwasanya telah dilakukan
istikhrooj terhadap hadits-hadits dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim
(*yaitu meriwayatkan hadits-hadits yang terdapat dalam shahih al-Bukhari dan
shahih Muslim akan tetapi tidak melalui jalur Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim),
maka bilangannya mencapai 25.480 jalan"
Kemudian As-Sakhoowi menukil perkataan gurunya
Ibnu Hajar, ia berkata :
"Guru kami (Ibnu Hajar al-'Asqolaaniy)
berkata : Jika Al-Bukhari dan Muslim –dengan begitu ketatnya persyaratan mereka
berdua- telah mencapai bilangan tersebut (*yaitu sekitar 14 ribu hadits) dengan
pengulangan, maka hadits-hadits yang tidak dikeluarkan oleh mereka berdua
berupa jalan-jalan (riwayat) dari matan-matan hadits yang telah dikeluarkan
oleh mereka berdua bisa jadi juga mencapai jumlah bilangan tersebut atau lebih.
Dan matan hadits-hadits yang shahih yang sesuai dengan persyaratan (kriteria)
Al-Bukhari dan Muslim bisa juga mencapai jumlah bilangan tersebut, atau
mendekatinya. Lalu jika bilangan-bilangan tersebut ditambah dengan atsar para
sahabat dan tabiin maka bilangannya akan mencapai bilangan yang telah dihafal
Imam Al-Bukhari (*yaitu sekitar 100 ribu hadits shahih), dan bisa jadi lebih
banyak.
Dan harus demikian penjelasannya, karena jika
tidak demikian maka jika dihitung hadits-hadits yang terdapat dalam
musnad-musnad, jami'-jami', sunan-sunan, mu'jam-mu'jam, al-fawaaid dan juz-juz,
dan yang selainnya yang ada pada tangan kita baik yang hadits-hadits shahih
maupun tidak shahih maka tidak akan mencapai bilangan tersebut (*100 ribu) jika
tanpa pengulangan. Bahkan tidak akan sampai setengahnya (*50 ribu)"
(Fathul Mughiits 1/56-57)
Demikianlah penjelasan yang sangat gamblang dari
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-'Asqolaaniy As-Syafi'i.
Oleh karenanya jangan sampai seseorang berfikir
bahwasanya jika Imam Al-Bukhari menghafal 100 hadits shahih padahal jumlah
hadits-hadits dalam Shahih Al-Bukhari (disertai pengulangan) adalah sekitar
7000 dan tanpa pengulangan sekitar 4000 hadits, maka berarti masih tersisa
93.000 hadits shahih !!!, ini tentunya pemahaman yang keliru sebagaimana
penjelasan Ibnu Hajr tadi.
Jadi dengan demikian maka maksud dari para imam
tatkala mereka menyatakan telah menghafal atau menulis ratusan ribu hadits maka
maksudnya adalah jumlah jalan-jalan haditsnya.
Ibnu Hajar juga berkata :
"Sa'iid bin Abi Maryam berkata : Aku
mendengar Imam Malik bin Anas berkata : "Aku menulis dengan tanganku 100
ribu hadits".
Al-Qoodhi Ibnu al-Muntaab mengomentari :
"Dan seratus ribu yang didengar oleh Imam Malik maka semakin
berlipat-lipat jumlahnya hingga di masa kami dan bercabang-cabang lebih banyak
dari satu juta jalan" (An-Nukat 'alaa Ibni as-Sholaah 1/184-185)
Berkata Imam Adz-Dzhabi As-Syafii :
"Dalam kitab "Taariikh Dimasyq"
dari jalan Muhammad bin Nashr, ia mendengar dari Yahya bin Ma'iin ia berkata :
"Aku telah menulis dengan tanganku satu juta hadits". Aku (Imam
Adz-Dzahabi) berkata : "Yaitu dengan berulang-ulang, tidakkah engkau
melihatnya berkata : "Kalau kami tidak menulis hadits 50 kali maka kami
tidak mengetahui hadits tersebut" (Siyar A'laam An-Nubalaa 11/84-85).
Kedua : Pernyataan logika Habib Munzir bahwasanya
ada jutaan hadits yang sirna…, maka ini bisa menimbulkan keraguan kepada kaum
muslimin akan kesempurnaan Islam dan penjagaan Allah Ta’ala terhadap Islam.
Karena hal ini melazimkan bahwa ada hadits-hadits tentang amalan-amalan dan
penjelasan-penjelasan Islam yang telah hilang. Kalau hadits-hadits yang ada di
buku-buku hadits seluruhnya (tanpa perulangan) tidak sampai 50 ribu hadits
-sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar tadi- padahal jumlah hadits yang sirna
menurut Habib Munzir adalah jutaan maka tentunya yang terjaga dalam islam
kurang dari 5% !!!. Tentunya hal ini sangat menimbulkan keraguan akan
kesempurnaan Islam.
Dan yang benar adalah bahwasanya seluruh
hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih pasti sampai
kepada kita dan terjaga, tidak ada satu hadits shahihpun yang hilang dan sirna
–tidak sebagaimana persangkaan Habib Munzir-.
Hal ini dijelaskan dari tiga sisi pendalilan :
Pendalilan Pertama : Kita diperintahkan oleh
Allah untuk mentadabburi dan mengamalkan al-Qur'an. Dan Allah telah menjelaskan
kepada kita bahwasanya Allah telah menyerahkan penjelasan dan praktek isi
al-Qur'an kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah berfirman :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan (QS An-Nahl : 44)
وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al
Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka
perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS
An-Nahl : 64)
Karenanya penjagaan Allah kepada Al-Qur'an
melazimkan penjagaan Allah terhadap hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam yang merupakan penjelasan bagi Al-Qur'an. Dan penjagaan Al-Qur'an
mencakup penjagaan terhadap lafal-lafalnya dan juga penjelasannya melalui
hadits-hadits Nabi yang shahih.
Pendalilan Kedua : Dalam banyak ayat Allah
memerintahkan kita untuk taat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
diantaranya firman Allah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ (٥٩)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya) (QS An-Nisaa : 59)
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya
ia telah mentaati Allah. (QS An-Nisaa : 80)
Dan Allah memerintah kita untuk kembali kepada
Al-Qur'an dan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala terjadi
perselisihan.
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. (QS An-Nisaa :
59)
Allah memerintahkan kita untuk meneladani Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu
suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah
dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (Al-Ahzaab : 21)
Lantas bagaimana kita bisa melaksanakan
perintah-perintah Allah ini jika kemudian Allah tidak menjaga hadits-hadits
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam??. Kalau kita meyakini ada hadits-hadits
(apalagi berjuta-juta) hadits yang hilang maka berarti Allah telah membebankan
kepada kita apa yang tidak mungkin bisa kita laksanakan !!!. Kalau berjuta-juta
hadits hilang dan yang tersisa hanya 50 ribu hadits lantas bagaimana kita bisa
meneladani Nabi?, bagaimana kita bisa merujuk kepada sunnah tatkala
berselisih?, bagaimana kita bisa menghindari larangan-larangan Nabi??!!. Oleh
karenanya pengraguan akan terjaganya hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam mengantarkan pada pengraguan terhadap Al-Qur'aan !!!
Pendalilan Ketiga : Sabda-sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam merupakan wahyu dari Allah sebagaimana Al-Qur'an, karenanya
sabda-sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk adz-dzikr yang akan
dijamin oleh Allah penjagaannya.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata
"Allah berfirman :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr,
dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (QS Al-Hijr : 9)
Dan Allah berfirman :
قُلْ إِنَّمَا أُنْذِرُكُمْ بِالْوَحْيِ
Katakanlah (hai Muhammad): "Sesungguhnya aku
hanya memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu" (QS
Al-Anbiyaa' : 45)
Allah mengabarkan –sebagaimana telah lalu-
bahwasanya sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam seluruhnya adalah wahyu,
dan tidak ada perselisihan bawhasanya wahyu merupakan adz-dzikr. Dan Adz-Dzikr
terjaga (oleh Allah) berdasarkan nash dari al-Qur'an. Maka dengan demikian
benarlah bahwa seluruh sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terjaga dengan
penjagaan Allah, terjamin bagi kita bahwa tidak ada sedikitpun yang hilang,
karena sesuatu yang dijaga oleh Allah maka kita yakin bahwa tidak akan ada
sedikitpun yang hilang, seluruh sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah
dinukilkan kepada kita" (Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam 1/98)
Ibnu Hazm rahimahullah juga berkata :
"Sesungguhnya Allah telah berfirman :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr,
dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (QS Al-Hijr : 9)
Maka telah terjamin di sisi setiap orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat bahwasanya sesuatu yang telah dipegang
oleh Allah untuk menjaganya maka selamanya tidak akan hilang. Dan tidak seorang
muslimpun yang ragu akan hal ini. Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
seluruhnya adalah wahyu berdasarkan firman Allah
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (٣)إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى (٤)
Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran)
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya) (QS An-Najm : 2-4).
Dan umat seluruhnya telah bersepakat bahwa wahyu
adalah dzikr, dan adz-Dzikr dijaga oleh Allah berdasarkan nash al-Qur'an, maka
sabda-sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pasti dijaga oleh Allah, pasti
seluruh sabda-sabda Nabi telah dinukil kepada kita" (Al-Ihkaam fi Ushuul
al-Ahkaam 2/71)
Dari
penjelasan di atas maka dipahami bahwasanya meskipun para ulama menghafal
ratusan ribu hadits atau bahkan sejuta hadits maka mereka memilih dari
jalan-jalan jalur periwayatan hadits-hadits shahih tersebut. Sehingga apa yang
mereka tulis telah mewakili kebanyakan apa yang tidak mereka tuliskan dari hadits-hadits
shahih.
Ibnu Hajr Al-'Asqolaaniy berkata:
"Abu Hafsh Umar bin Abdil Majiid
Al-Mayaanisi dalam kitabnya "Iidhooh ma laa yasa'u al-muhadditsa
jahluhu" menyebtukan : Kandungan hadits-hadits dalam shahih al-Bukhari
yang jumlahnya 7600 sekian hadits telah dipilih oleh Imam Al-Bukhari dari satu
juta 600 ribu sekian hadits" (An-Nukat 'alaa Ibni as-Sholaah 1/190)
Kota suci Mekah 30 Oktober 2011 (3 Dzulhijjah
1432 H)
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Disalin pada 18 Juni 2013
Untuk lebih lengkapnya (teks arabnya), bisa klik
sumbernya langsung, ada komentar dan diskusi juga di sana.