Habib Munzir berkata :
"Istighatsah adalah memanggil nama seseorang
untuk meminta pertolongannya, untuk sebagian kelompok muslimin hal ini langsung
di vonis syirik, namun vonis mereka itu hanyalah karena kedangkalan
pemahamannya terhadap syariah islam,
pada hakekatnya memanggil nama seseorang
untuk meminta pertolongannya adalah hal yg diperbolehkan selama ia seorang
Muslim, Mukmin, Shalih dan diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah swt, tak
pula terikat ia masih hidup atau telah wafat, karena bila seseorang mengatakan
ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka
justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata, karena seluruh manfaat dan
mudharrat berasal dari Allah swt, maka kehidupan dan kematian tak bisa membuat
batas dari manfaat dan mudharrat kecuali dengan izin Allah swt, ketika
seseorang berkata bahwa orang mati tak bisa memberi manfaat, dan orang hidup
bisa memberi manfaat, maka ia dirisaukan telah jatuh dalam kekufuran karena
menganggap kehidupan adalah sumber manfaat dan kematian adalah mustahilnya
manfaat, padahal manfaat dan mudharrat itu dari Allah, dan kekuasaan Allah
tidak bisa dibatasi dengan kehidupan atau kematian.
Sama saja ketika seorang berkata bahwa hanya
dokter lah yang bisa menyembuhkan dan tak mungkin kesembuhan datang dari selain
dokter, maka ia telah membatasi Kodrat Allah swt untuk memberikan kesembuhan,
yang bisa saja lewat dokter, namun tak mustahil dari petani, atau bahkan sembuh
dengan sendirinya." (Kenalilah Aqidahmu 2 hal 75-76)
Habib Munzir juga berkata :
"Kesimpulannya saudaraku, meminta pada para
wali Allah swt tidak syirik, apakah ia masih hidup atau telah wafat, karena
kita tak meminta pada diri orang itu, kita meminta padanya karena
keshalihannya, karena ia ulama, karena ia orang yg dicintai Allah maka hal ini
tidak terlarang dalam syariah dg dalil yg jelas. (Silahkan lihat di
http://www.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=25356&catid=7)
Dari perkataan Habib Munzir di atas bisa ditarik
beberapa kesimpulan:
Pertama : Habib Munzir menyatakan bahwa ada
sekelompok muslimin yang menghukumi bahwa hanya sekedar memanggil nama
seseorang untuk meminta pertolongannya secara mutlak adalah kesyirikan??, tanpa
membedakan apakah itu istighatsah kepada orang yang masih hidup atau yang sudah
meninggal. Bahkan Habib Munzir juga memvonis mereka dengan dangkalnya pemahaman
terhadap Islam.
Kedua : Habib Munzir menyatakan bahwa meminta dan
beristighootsah kepada mayat yang sholeh merupakan sebab yang diperbolehkan
dalam mendatangkan kemanfaatan
Ketiga: Pernyataan Habib Munzir bahwa: ” karena
bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas
manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata,”
Bahkan orang seperti ini menurut Habib Munzir dikhawatirkan terjerumus dalam
kekufuran
Keempat: Sehingga Habib Munzir berkesimpulan
bolehnya beristighootsah kepada mayat dengan meyakini bahwa mayat hanyalah
sekedar sebab, akan tetapi datangnya kemanfaatan dan tertoloaknya mudhorot
semuanya berasal dari Allah
Kelima : Habib Munzir mempersyaratkan bahwa mayat
yang boleh diistighotsahi adalah mayat seorang mukmin yang shalih yang diyakini
mempunyai manzilah di sisi Allah, tak pula terikat ia masih hidup atau telah
wafat.
SANGGAHAN
Adapun sanggahan terhadap pernyataan-pernyataan
Habib Munzir ini maka sebagai berikut :
PERTAMA : Pernyataan Habib Munzir :
"Istighatsah adalah memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya,
untuk sebagian kelompok muslimin hal ini langsung di vonis syirik, namun vonis
mereka itu hanyalah karena kedangkalan pemahamannya terhadap syariah
islam".
Di dalam pernyataannya ini Habib Munzir
menyatakan bahwa ada sekelompok muslimin yang menghukumi bahwa hanya sekedar
memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya secara mutlak adalah
kesyirikan??, tanpa membedakan apakah itu istighatsah kepada orang yang masih
hidup atau yang sudah meninggal.
Bahkan Habib Munzir juga memvonis mereka dengan
dangkalnya pemahaman terhadap Islam.
Sanggahan:
Sebagaimana telah lalu penjelasan saya (lihat
http://www.firanda.com/index.php/artikel/aqidah/191-beristighotsah-kepada-penghuni-kuburdianjurkan)
bahwa yang dimaksud dengan istighotsah adalah menyeru dengan disertai
permohonan pertolongan kepada seseorang untuk menghilangkan kesulitan yang
genting dan mendesak. Adapun hanya sekedar "memanggil nama" tanpa
disertai permohonan pertolongan maka hal ini tidak dinamakan dengan
istighotsah, baik secara bahasa Arab apalagi secara syari'at. Maka benarlah
perkataan Habib Munzir bahwasanya kelompok yang menganggap "sekedar
memanggil nama adalah syirik" merupakan kelompok yang dangkal ilmu
agamanya. Akan tetapi…
Apakah ada kelompok yang seperti ini?? Kelompok
apakah itu?? Dalam kitab apa perkataan mereka itu..?? ataukah ini hanyalah
khayalan Habib Munzir saja??
Namun jika yang dimaksud dengan kelompok tersebut
adalah kelompok yang mengharamkan beristighotsah (memanggil nama mayat) untuk
menghilangkan kesulitan maka tentu kelompok ini bukanlah kelompok yang dangkal
ilmu agamanya –sebagaimana vonis Habib Munzir kepada mereka-. Justru mereka
adalah kelompok yang berjuang membela tauhid...agar doa seluruhnya hanyalah
untuk Allah semata. Maka siapakah yang dangkal ilmu agamanya..? yang tertuduh
ataukah yang menuduh..???!!
KEDUA : Pernyataan Habib Munzir : "Ketika
seseorang berkata bahwa orang mati tak bisa memberi manfaat, dan orang hidup
bisa memberi manfaat, maka ia dirisaukan telah jatuh dalam kekufuran karena
menganggap kehidupan adalah sumber manfaat dan kematian adalah mustahilnya
manfaat, padahal manfaat dan mudharrat itu dari Allah"
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Habib Munzir
memandang bahwa beristighotsah kepada mayat yang sholeh merupakan sebab yang
diperbolehkan dalam mendatangkan kemanfaatan.
Sanggahan :
Semua orang sepakat tentang sebab yang
menimbulkan akibat. Tidak ada yang mengingkari bahwa makanan merupakan sebab
yang mengakibatkan kenyang, dokter merupakan sebab yang mengakibatkan
kesembuhan, dan seorang muslim meyakini bahwa yang menentukan akibat adalah
Allah pencipta sebab dan akibat.
Akan tetapi perlu diingat bahwa tidak semua sebab
yang menimbulkan akibat maka otomatis disyari'atkan untuk dikerjakan. Sebagai
contoh Allah mengharamkan perkara-perkara yang memiliki kemaslahatan akan
tetapi kemudhorotannya lebih banyak, seperti bir. Dengan bir terkadang
menyebabkan tercapai beberapa maslahat, akan tetapi diharamkan oleh Allah.
Terkadang beberapa makanan yang haram dimakan bisa digunakan untuk menjadi
obat, akan tetapi hukumnya haram. Daging babi merupakan sebab yang menimbulkan
rasa kenyang, akan tetapi daging babi diharamkan. Dukun merupakan sebab
kesembuhan banyak penyakit –bahkan telah banyak terbukti- akan tetapi
mendatangi dukun diharamkan oleh syari'at apalagi sampai mempercayai dukun.
Bisa jadi masuk ke dalam agama nashrani merupakan sebab mendapatkan banyaknya
harta.
Kita semua tahu bahwa malaikat telah diberi
kekuasaan oleh Allah untuk mengatur beberapa bagian dari alam ini, ada malaikat
yang mengatur awan, ada malaikat yang mengatur angin dll, akan tetapi kita
tidak boleh berdoa meminta hujan kepada malaikat.
Kita semua juga tahu bahwasanya jin juga memiliki
kekuatan dan kemampuan, dan secara logika jin yang kuat bisa mengalahkan dan
menundukkan jin yang lemah, akan tetapi kita dilarang untuk meminta bantuan jin
yang kuat agar melindungi kita dari jin yang lemah. Allah berfirman :
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا (٦)
Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di
antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin,
Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (QS Al-Jin : 6)
Ibnu Katsir As-Syafi'i berkata :
"Dan firman Allah ((Dan bahwasanya ada
beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa
laki-laki di antara jin, Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan
kesalahan)) yaitu : Kami (*para jin) memandang bahwa kami memiliki jasa
terhadap manusia, karena mereka pernah meminta perlindungan kepada kami. Yaitu
jika mereka berhenti di sebuah lembah atau sebuah tempat yang terasa asing
(*angker/menakutkan) di padang atau yang lainnya, sebagaimana kebiasaan
orang-orang Arab di zaman jahiliyah mereka berlindung kepada penguasa tempat
tersebut agar mereka tidak diganggu jin sehingga tertimpa sesuatu yang mereka
benci, sebagaimana jika salah seorang dari mereka masuk ke negara musuhnya di
bawah perlindungan dan penjagaan seorang pembesar. Maka tatkala para jin
melihat bahwasanya manusia berlindung kepada mereka karena ketakutan terhadap
mereka ((Para Jin semakin menambahkan kepada manusia dosa)) yaitu menambah rasa
takut kepada mereka, agar manusia semakin takut kepada para jin dan semakin
berlindung kepada para jin" (Tafsir Ibnu Katsiir 14/148)
Ibnu Katsir juga menyebutkan riwayat dari jalan
Ibnu Abi Hatim dari Kardam bin Abi As-Saaib Al-Anshooriy ia berkata :
"Aku bersama ayahku keluar dari kota Madinah
karena ada keperluan –dan tatkala itu pertama kali disebut tentang Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam di Mekah-. Maka kamipun bermalam di salah seorang
penggembala kambing. Tatkala tengah malam, datanglah seekor serigala dan
mengambil seekor anak kambing, maka sang penggembala kambingpun terjaga dan
berkata, "Wahai penghuni lembah, (*kami butuh) perlindunganmu !!".
Maka berserulah seorang penyeru –dan kami tidak melihatnya- seraya berkata :
"Wahai Sarhaan lepaskanlah (*anak kambing tersebut) !!". Maka
datanglah anak kambing tersebut segera masuk dalam kawanan kambing, ia sama
sekali tidak terluka apapun. Dan Allah menurunkan kepada Rasulullah di Mekah firmanNya
((Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, Maka jin-jin itu menambah
bagi mereka dosa dan kesalahan))" (Tafsir Ibnu Katsir 14/149)
Tatkala menafsirkan firman Allah
وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الإنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الإنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ (١٢٨)
Dan (ingatlah) hari diwaktu Allah menghimpunkan
mereka semuanya (dan Allah berfirman): "Hai golongan jin, Sesungguhnya
kamu telah banyak menyesatkan manusia", lalu berkatalah kawan-kawan meraka
dari golongan manusia: "Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya sebahagian daripada
Kami telah dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain) dan Kami telah sampai
kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami". Allah berfirman:
"Neraka Itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali
kalau Allah menghendaki (yang lain)". Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana
lagi Maha mengetahui. (QS Al-An'aam : 128)
Ibnu Jariir At-Thobari berkata ;
"Adapun manusia mendapat kesenangan dengan
para jin, maka sebagaimana yang dikabarkan….dari Ibnu Juraij ia berkata :…
Dahulu seseorang di zaman jahiliyah menempati sebuah tempat (*lembah) kemudian
ia berkata : "Aku berlindung kepada pembesar lembah ini", maka inilah
bentuk bersenang-senangnya manusia dengan para jin" (Tafsir At-Thobari
12/116)
Al-Qurthubiy berkata :
"Dan dikatakan bahwasanya seseorang tatkala
bersafar jika melewati sebuah lembah dan khawatir akan keselamatannya maka ia
berkata, "Aku berlindung kepada penguasa lembah ini dari segala yang aku
khawatirkan". Dan dalam Al-Qur'an ((Dan bahwasanya ada beberapa orang
laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di
antara jin, Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan)), maka
inilah bentuk bersenang-senangnya manusia dengan jin…
Dan dikatakan : Bahwa bersenang-senangnya jin
dengan manusia yaitu manusia mengakui bahwasanya para jin mampu untuk menolak
apa yang mereka khawatirkan" (Tafsiir Al-Qurthubi 9/28)
Kesimpulannya : Kita hanya bisa menjalankan suatu
sebab jika memenuhi dua persyaratan :
-
Sebab tersebut benar-benar menimbulkan akibat secara kasat mata, seperti
obat sebab kesembuhan
-
Sebab tersebut harus dibenarkan oleh syari'at (ada dalil yang
membolehkan untuk menempuh sebab tersebut)
Lantas kita bertanya kepada Habib Munzir…mana
dalilnya bahwa meminta kepada penghuni kuburan merupakan sebab diangkatnya
bencana dan dipenuhinya kebutuhan???, adakah dalilnya baik dalil naqli maupun
dalil 'aqli (akal)??!!
Jika secara dalil 'akal ternyata memang penghuni
kubur bisa menolong maka kita masih butuh dalil yang lain yang menunjukkan
bolehnya atau disyari'atkannya meminta tolong kepada penghuni kuburan, maka
apakah ada dalilnya ??!! Apakah ada ayat al-Qur'an..? ataukah hadits Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam?, ataukah amal perbuatan para sahabat??.
Bisa dipastikan tidak akan pernah kita dapatkan
dalil yang shahih dan jelas yang menunjukkan bahwa diperbolehkan untuk meminta
tolong atau istighatsah kepada mayat yang sudah dikubur, apalagi dalil yang
menganjurkan!!!
Kalaupun ada dalil, maka dalilnya tidak keluar
dari beberapa keadaan berikut:
- dalilnya ada dan shahih tetapi keliru
memahaminya, hal ini karena tidak bersandarkan dengan pemahaman para shahabat
radhiyallahu ‘anhum.
- dalilnya ada tetapi tidak shahih, maka dalam
permasalahan akidah sebuah perbuatan tercela jika bergantung dengan dalil yang
tidak shahih. Bagaimana bisa dijadikan sebuah keyakinan sebuah perkara yang
didasari dengan hadits tidak shahih. Dan ini kebanyakan yang terjadi wallahul
musta’an.
- dalilnya tidak ada.
KETIGA: Pernyataan Habib Munzir bahwa: ”karena
bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas
manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata,
karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah swt”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Habib Munzir
memvonis kepada orang yang melarang meminta kepada orang mati telah terjerumus
"dalam kemusyrikan yang nyata".
Sanggahan :
Ini merupakan pernyataan yang aneh dan nekat.
Aneh karena menyamakan antara kehidupan dan kematian…dan sekaligus pernyataan
yang nekat karena nekat dan memaksa menghukum orang yang membedakan antara
kehidupan dan kematian telah terjerumus dalam kesyirikan. Bukan hanya
kesyirikan..bahkan kesyirikan yang nyata !!!. jika perkaranya demikian maka
terlalu banyak orang yang membedakan antara orang hidup dengan orang mati…maka
apakah mereka semua terjerumus dalam kesyirikan yang nyata?..terjerumus dalam
kekufuran..??!!
Sesungguhnya dalil-dalil baik dalil ayat dan
hadits juga dalil akal serta sikap salaf bertentangan dengan pernyataan Habib
Munzir ini.
Pertama : Allah membedakan antara orang yang
masih hidup dengan orang yang sudah mati.
Allah berfirman :
وَمَا يَسْتَوِي الأعْمَى وَالْبَصِيرُ (١٩)وَلا الظُّلُمَاتُ وَلا النُّورُ (٢٠)وَلا الظِّلُّ وَلا الْحَرُورُ (٢١)وَمَا يَسْتَوِي الأحْيَاءُ وَلا الأمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ (٢٢)إِنْ أَنْتَ إِلا نَذِيرٌ (٢٣)
Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang
yang melihat, dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya, dan tidak
(pula) sama yang teduh dengan yang panas, dan tidak (pula) sama orang-orang
yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran
kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan
orang yang didalam kubur dapat mendengar, kamu tidak lain hanyalah seorang
pemberi peringatan (QS Faathir : 19-23)
Ibnu Katsiir Asy-Syafii berkata ;
"Allah berkata : Sebagaimana tidaklah sama
antara perkara-perkara yang berbeda ini, seperti orang buta dan orang yang
melihat keduanya tidak sama, bahkan antara keduanya terdapat perbedaan yang
banyak, dan sebagaimana tidak sama antara gelap gulita dan cahaya, dan antara
teduh dengan panas, maka demikian pula tidak sama antara orang yang hidup
dengan mayat-mayat. Ini adalah perumpamaan yang dibuat oleh Allah bagi kaum
mukminin seperti orang-orang yang hidup, dan perumpamaan orang-orang kafir
seperti mayat-mayat, sebagaimana firman Allah
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا
Dan Apakah orang yang sudah mati kemudian Dia
Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya
itu Dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang
yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar
dari padanya? (QS Al-An'aam : 122)
Dan Allah berfirman :
مَثَلُ الْفَرِيقَيْنِ كَالأعْمَى وَالأصَمِّ وَالْبَصِيرِ وَالسَّمِيعِ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلا
Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang
kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang
dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama Keadaan dan
sifatnya?. (QS Huud : 24)" (Tafsir Al-Qur'aan al-'Adziim 11/317)
Orang yang menyamakan antara orang mati dan orang
hidup sama dengan orang yang menyamakan antara orang melihat dan mendengar
dengan orang buta dan tuli !!.
Kedua : Seseorang jika telah jadi mayat maka
telah berubah banyak hukum-hukum yang berlaku padanya tatkala masa hidupnya,
diantaranya hartanya jadi milik ahli warisnya, istri-istrinya boleh dinikahi
oleh orang lain, sang mayat tidak lagi wajib untuk menafkahi anak-anaknya,
demikian juga amalan ibadahnya terputus kecuali dari tiga perkara (sebagaimana
disebutkan dalam hadits yang shahih), dan lain-lain. Inilah yang berlaku pada
seluruh mayat, termasuk mayat para wali dan sholihin. Akan tetapi berbeda
dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka istri-istri beliau tidak boleh
dinikahi setelah wafat beliau karena istri-istri beliau adalah ummahaatul
mukminin dan juga istri-istri beliau di dunia akan menjadi istri-istri beliau
di surga kelak. Demikian halnya pula dengan harta warisan yang ditinggalkan
Nabi maka tidak diwariskan kepada ahli waris beliau akan tetapi menjadi sedekah
sebagaimana dijelaskan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
Ketiga : Tentunya semua orang berakal mengetahui
perbedaan antara orang yang masih hidup dan orang yang sudah mati dari sisi
memberi manfaat dan mudhorot. Karena perbedaan antara orang hidup dan orang
mati sangat jelas seperti matahari di siang bolong.
Mayat yang telah mati tidak bisa berbuat apa-apa,
tidak bisa memberi manfaat apalagi memberi mudhorot…jangankan untuk
menyembuhkan penyakit orang lain, untuk di bawa ke kuburannya saja ia harus
diangkat oleh orang lain, dan sebelumnya harus dimandikan dan dikafankan serta
disholatkan oleh orang lain. Ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Keempat : Para sahabat betapa sering mendatangi
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di masa kehidupan Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam, mereka meminta kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam agar Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam mendoakan mereka dan agar Nabi beristghfar bagi
mereka. Jika mereka menghadapi kondisi yang genting maka mereka meminta
pertolongan Nabi dan beristighotsah kepada Nabi, karena Nabi adalah orang yang
paling sayang dan rahmat kepada umatnya.
Lantas setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
wafat kenapa semua hal ini berhenti mereka lakukan…??? Mereka tidak lagi
mendatangi kuburan Nabi untuk meminta doa Nabi…?, untuk memohon agar Nabi
beristghfar bagi mereka…?? Tidak lagi beristighootsah kepada Nabi…?? Kenapa semua
ini berhenti tatkala Nabi wafat???!!
Apakah sebabnya karena mereka meyakini bahwa
kedudukan Nabi setelah wafat menjadi berkurang..???, apakah mereka meyakini
bahwa rasa rahmat dan kasih sayang Nabi kepada mereka hilang…??? Jawabannya :
Tentu Tidak, akan tetapi mereka meninggalkan semua itu karena mereka sangat
paham bahwasanya hal ini bertentangan dengan tauhid yang telah diajarkan oleh
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, semoga Allah meridhoi para sahabat.
Kelima : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
menganjurkan kepada Umar untuk meminta Uwais Al-Qoroni (dari kalangan tabi'in)
untuk beristighfar buat Umar (silahkan lihat
http://www.firanda.com/index.php/artikel/7-adab-a-akhlaq/17-tabiin-terbaik-uwais-al-qoroni)
Karenanya Umar bin Al-Khottob setelah wafatnya
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beliau tidak pergi ke kuburan Nabi untuk
meminta Nabi mendoakan beliau akan tetapi malah mencari-cari Uwais Al-Qoroni
untuk minta didoakan. Kenapa bisa demikian..?? karena Umar tahu perbedaan
antara orang yang sudah meninggal dengan orang yang masih hidup.
Keenam : Tatkala terjadi musim kemarau di zaman
Umar maka Umarpun meminta Abbas untuk berdoa agar Allah menurunkan hujan.
Padahal kita tahu bahwasanya kedudukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
setelah wafat tetap tinggi di sisi Allah dan tidak bisa dibandingkan dengan
kedudukan Abbas. Akan tetapi kenapa Umar tidak berdoa atau beristighotsah di
kuburan Nabi…??, malah meminta doa kepada Abbas bin Abdil Muththolib??.
Jawabannya karena Umar tahu perbedaan antara orang yang sudah meninggal dengan
orang yang masih hidup !!
Ketujuh : Setelah wafatnya Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam terkadang timbul perselisihan diantara para sahabat, bahkan
terkadang perselisihan tersebut sangatlah sengit, akan tetapi tidak seorangpun
dari sahabat kemudian datang ke kuburan Nabi lantas menjelaskan permasalahan
kepada Nabi agar Nabi shallallahu 'alaihi memberi solusi dalam permasalahan
atau pertikaian yang sendang mereka hadapi
Kedelapan : Setelah wafatnya Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam, para sahabat menghadapi banyak permasalahan-permasalahan
yang baru yang dimana mereka sangat membutuhkan bimbingan Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam, akan tetapi tidak seorangpun dari para sahabat kemudian
mendatangi kuburan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam untuk meminta bimbingan
dan fatwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menghadapi
permasalahan-permasalahan tersebut.
Kesembilan : Habib Ali bin Al-Husain (cucu Ali
bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu) telah menegur seseorang yang sengaja untuk
berdoa kepada Allah di kuburan Habiibunaa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam mushonnafnya.
أن علي بن الحُسين رضي الله عنه رأى رجلاً يأتي فرجة كانت عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم فيدخل فيها فيدعو ، فنهاه وقال: ((ألا أحدثكم حديثاً سمعته من أبي عن جدي-يعني علي بن أبي طال رضي الله عنه- عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا تتخذوا قبري عيداً ولا تجعلوا بيوتكم قبوراً وسلموا على فإن تسليمكم يبلغني أينما كنتم((
Bahwasanya Ali bin Al-Husain –radhiallahu 'anhu-
melihat seseorang yang mendatangi sebuah celah yang ada di kuburan Nabi
–shallallahu 'alaihi wa sallam- maka orang itupun masuk ke dalam celah tersebut
dan berdoa. Maka Ali bin Al-Husain pun melarang orang ini dan berkata,
"Maukah aku kabarkan kepadamu sebuah hadits yang aku dengar dari ayahku
(Al-Husain) dari kakekku (yaitu Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu) dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau berkata, "Janganlah
kalian menjadikan kuburanku sebagi 'ied, dan janganlah kalian menjadikan
rumah-rumah kalian sebagai kuburan, dan hendakanya kalian memberi salam
kepadaku, karena sesungguhnya salam kalian akan sampai kepadaku dimanapun
kalian berada" (HR Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya 5/178 no 7625.
Hadits ini dikatakan oleh As-Sakhoowi dalam Al-Qoul Al-Badii' hal 161 : Hadits
hasan. Muhammad 'Awwamah pentahqiq Musonnaf Ibni abi Syaibah 5/178 : Secara
umum haditsnya kuat shahih lighoirihi)
Inilah nasehat seorang Habib sejati yang paling
paham tentang perkataan Habiibunaa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Jika berdoa kepada Allah saja di kuburan Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam tidak dianjurkan, maka terlebih lagi
beristighotsah (meminta pertolongan) kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam???!! Maukah Habib Munzir menerima nasihat yang disampaikan oleh para
habib ini??
Kesepuluh : Tidak seorang muslimpun yang ragu
bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sekarang hidup di alam Barzakh
dengan kehidupan yang baik bahkan lebih baik dari kehidupan para syuhadaa' di
alam barzakh. Akan tetapi tentu kita tidak boleh menyatakan bahwa kehidupan
alam barzakh sama dengan kehidupan di dunia dengan alasan-alasan berkiut ini
-
Kesembilan poin sebelumnya menunjukkan akan adanya perbedaan antara
orang hidup dan orang mati (yang hidup di alam barazakh)
- Kita
tidak tahu bagaimana sebenarnya hakekat kehidupan alam barzakh, sebaliknya kita
sangat tahu bagaimana kehidupan di dunia. Karenanya bagaimana bisa kita
mengqiaskan antara kehidupan dunia dengan kehidupan alam barzakh, antara
sesuatu yang kita tidak tahu hakekatnya dengan sesuatu yang kita tahu
hakekatnya??
-
Meskipun Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hidup di alam barzakh, akan
tetapi hal ini tidak melazimkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui
apa yang terjadi di dunia, apalagi sampai memenuhi kebutuhan orang-orang yang
beristighotsah kepada beliau. Sebagai bukti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah bersabda
وَإِنَّهُ يُجَاءُ بِرِجَالٍ مِنْ أُمَّتِي فَيُؤْخَذُ بِهِمْ ذَاتَ الشِّمَالِ فَأَقُوْلُ يَا رَبِّ أَصْحَابِي فَيُقَالَ : إِنَّكَ لاَ تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ، فَأَقُوْلُ كَمَا قَالَ الْعَبْدُ الصَّالِحُ { وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيْدًا مَا دُمْتَ فِيْهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيْبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلَّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ }
"Sungguh akan didatangkan beberapa orang
dari umatku, lalu mereka dibawa ke arah kiri, maka aku berkata, "Wahai
Robku, mereka adalah sahabatku", maka dikatakan : "Sesungguhnya engkau
tidak tahu apa yang telah mereka perbuat setelahmu", maka aku berkata
sebagaimana perkataan hamba yang sholeh (*Nabi Isa 'alaihis salaam) :
وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka,
selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan Aku,
Engkau-lah yang mengawasi mereka. dan Engkau adalah Maha menyaksikan atas
segala sesuatu (QS Al-Maaidah : 117)" (HR Al-Bukhari no 4652 dan 4740).
Para pembaca yang budiman lihatlah dua Nabi yang
sangat mulia ini, Nabi Muhammad dan Nabi Isa 'alaihimas salaam yang keduanya
tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh umatnya setelah mereka berdua
diwafatkan oleh Allah. Jika kedua Nabi ini saja tidak tahu apalagi hanya
sekedar para wali yang jauh kedudukannya di bawah para nabi.
KEEMPAT: Pernyataan Habib Munzir "Karena
bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas
manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata,
karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah swt"
Sehingga Habib Munzir berkesimpulan bolehnya
beristighootsah kepada mayat dengan meyakini bahwa mayat hanyalah sekedar
sebab, akan tetapi datangnya kemanfaatan dan tertoloaknya mudhorot semuanya
berasal dari Allah.
Sanggahan :
Para pembaca yang budiman… inilah hakekat
keysirikan kaum muysrikin Arab dahulu, merekapun tatkala meminta kepada
sesembahan-sesembahan mereka dari kalangan orang-orang sholih mereka tidak meyakini
bahwasanya sesembahan-sesembahan mereka ikut mengatur alam semesta. Justru
mereka mengakui bahwasanya yang mengatur alam semesta hanyalah Allah saja,
adapun sesembahan-sesembahan mereka hanyalah sebab, dan adapun akibat hanyalah
dari Allah semata. (silahkan lihat kembali
http://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/128)
KELIMA : Pernyataan Habib Munzir : "Pada
hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya adalah hal yg
diperbolehkan selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih dan diyakini mempunyai
manzilah di sisi Allah swt, tak pula terikat ia masih hidup atau telah
wafat"
Dalam pernyataan ini Habib Munzir mempersyaratkan
bahwa mayat yang boleh diistighotsahi adalah mayat seorang mukmin yang shalih
yang diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah, tak pula terikat ia masih hidup
atau telah wafat.
Sanggahan:
Sebelum menyanggah pernyataan ini saya mengajak
Habib Munzir untuk berfikir tentang berikut ini :
Jika kita memiliki tetangga seorang polisi muslim
akan tetapi tukang korupsi, lalu dihadapkan rumah kita dimasuki perampok yang
ingin menciderai kita lantas kita beristighotsah kepada polisi tersebut sambil
memanggil namanya minta pertolongan agar bisa menangkap sang perampok tentu
Habib Munzir membolehkan hal ini. Karena sang polisi koruptor tersebut masih
hidup dan memiliki senjata sehingga mampu untuk menolong.
Sekarang saya ingin bertanya kepada Habib Munzir,
kalau polisi tukang korupsi ini telah meninggal kemudian di kubur, maka jika
rumah kita distroni perampok untuk yang kedua kali, maka apakah kita boleh
beristighotsah kepada mayat (ruh) polisi koruptor tersebut??!!
Tentunya Habib Munzir akan menjawab tidak boleh
karena beliau mempersyaratkan bahwa yang boleh diitighotsahi hanyalah seorang
muslim yang sholeh yang diyakini memiliki manzilah di sisi Allah. Maka saya
bertanya lagi kepada Habib Munzir :
-
Bukankah Habib Munzir melarang membedakan antara kehidupan dan
kematian?, jika sang polisi boleh untuk diistighotsahi tatkala hidup lantas
kenapa tidak boleh jika telah wafat??
-
Lantas bagaimana jika kasusnya ternyata sang polisi adalah seorang
kafir??, bukankah tatkala ia masih hidup kita boleh meminta pertolongan
kepadanya untuk menangkap sang perampok??. Jawabannya tentu boleh dengan
kesepakatan seluruh orang yang berakal. Lantas jika sang polisi kafir tersebut
telah meninggal apakah masih boleh bagi kita untuk beristighootsah kepadanya
tatkala rumah kita kemasukan perampok?. Tentu Habib Munzir tidak
membolehkannya, karena orang kafir tidak memiliki manzilah di sisi Allah. Hal
ini berarti Habib Munzir membedakan antara kehidupan dan kematian, dengan
demikian Habib Munzir telah membatalkan apa yang ia tetapkan.
Adapun sanggahan terhadap pernyataan Habib Munzir
ini, maka kita katakana bahwasanya persayaratan yang dipasang oleh Habib Munzir
–bahwasanya yang boleh ditujukan istighotsah dan permintaan hanyalah
orang-orang sholeh- maka inilah juga persyaratan yang dipasang oleh sebagian kaum
musyrikin Arab, mereka juga berdoa dan meminta kepada orang-orang sholeh.
Karenanya kita dapati bahwasanya kaum musyrikin
Arab yang diperangi oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga berdoa dan
meminta pertolongan kepada orang-orang sholeh. Hal ini ditunjukkan oleh
perkara-perkara berikut ini :
Pertama : Diantara sesembahan-sesembahan kaum
musyrikin adalah orang-orang sholeh, bahkan para nabi.
Allah berfirman
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ (٥٧)
Orang-orang yang mereka doai itu, mereka sendiri
mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat
(kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya (QS Al-Isroo'
: 57).
Ibnu Jariir At-Thobari menyebutkan bahwasanya
orang-orang yang kaum musyrikin berdoa kepada mereka adalah orang-orang yang
beriman kepada Allah, bahkan berusaha untuk dekat kepada Allah. Hanya saja para
ahli tafsir memiliki beberapa pendapat tentang siapakah mereka tersebut yang
kaum musyrikin berdoa kepada mereka?. Ada tiga pendapat, ada yang mengatakan
bahwa mereka adalah para jin yang masuk Islam. Ada yang berpendapat bahwasanya
mereka adalah para malaikat, dan pendapat yang ketiga mengatakan bahwasanya
mereka adalah Uzair, nabi Isa, dan ibunya (Maryam). Dan pendapat yang dipilih
oleh At-Thobari adalah mereka adalah para jin yang masuk Islam atau para
malaikat. (Lihat Tafsiir At-Thobari 14/627-632)
Adapun Ibnu Abbas dan Mujahid mereka manafsirkan
bahwa orang-orang yang kaum musyrikin berdoa kepadanya adalah Isa 'alaihis
salaam, ibunya (Maryam), dan Uzair, sebagaimana berikut ini :
"Dari Ibnu Abbaas, ia berkata, "Isa,
Ibunya, dan Uzair"…
Dari Mujahid, ia berkata, "Isa bin Maryam,
Uzair, dan Malaikat" (Tafsir At-Thobari 14/631)
Jadi beristighootsah (meminta pertolongan) kepada
mayat orang sholeh ternyata juga dilakukan oleh kaum musyrikin Arab, dimana
mereka berdoa kepada orang sholeh, jin sholeh, dan malaikat.
Kedua : Diantara sesembahan kaum musyrikin Arab
adalah patung-patung yang merupakan simbol dari orang-orang sholeh. Seperti
patung-patung orang-orang sholeh yang ada di zaman Nabi Nuh yang kemudian
disembah oleh kaum Quraisy, demikian juga patung Latta yang juga merupakan
patung orang sholeh.
Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari
Ibnu Abbaas radhiallahu 'anhumaa, ia berkata :
صَارَتْ الْأَوْثَانُ الَّتِي كَانَتْ فِي قَوْمِ نُوحٍ فِي الْعَرَبِ بَعْدُ أَمَّا وَدٌّ كَانَتْ لِكَلْبٍ بِدَوْمَةِ الْجَنْدَلِ وَأَمَّا سُوَاعٌ كَانَتْ لِهُذَيْلٍ وَأَمَّا يَغُوثُ فَكَانَتْ لِمُرَادٍ ثُمَّ لِبَنِي غُطَيْفٍ بِالْجَوْفِ عِنْدَ سَبَإٍ وَأَمَّا يَعُوقُ فَكَانَتْ لِهَمْدَانَ وَأَمَّا نَسْرٌ فَكَانَتْ لِحِمْيَرَ لِآلِ ذِي الْكَلَاعِ أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنْ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمْ الَّتِي كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ فَفَعَلُوا فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ الْعِلْمُ عُبِدَتْ
"Patung-patung yang tadinya berada di kaum
Nuh berpindah di kaum Arab. Adapun Wadd menjadi (sesembahan-pen) kabilah Kalb
di Daumatul Jandal, dan adapun Suwaa' berada di kabilah Hudzail. Adapun
Yaguuts di kabilah Murood kemudian
berpindah di kabilah Guthoif di Jauf di Saba'. Adapun Y'auuq berada di kabilah
Hamdan. Adapun Nasr maka di kabilah Himyar di suku Dzul Kilaa'. Mereka adalah
nama-nama orang-orang sholeh dari kaum Nuh. Tatkala mereka wafat maka syaitan
membisikan kepada kaum Nuh untuk membangun patung-patung di tempat-tempat yang
biasanya mereka bermajelis dan agar patung-patung tersebut diberi nama sesuai
dengan nama-nama mereka. Maka kaum Nuh melakukan bisikan syaitan tersebut, dan
patung-patung tersebut belum disembah. Hingga tatkala kaum yang membangun
patung-patung tersebut meninggal dan ilmu telah dilupakan maka disembahlah
patung-patung tersebut" (Shahih Al-Bukhari no 4920)
Ibnu Hajar berkata :
"Dan kisah orang-orang sholeh merupakan awal
peribadatan kaum Nuh terhadap patung-patung ini, kemudian mereka diikuti oleh
orang-orang setelah mereka atas peribadatan tersebut" (Fathul Baari 8/669)
Demikian juga "Laata" ia merupakan
patung seorang sholeh yang dahulunya suka bersedekah makanan untuk para jama'ah
haji. Imam Al-Bukhari meriwayatkan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فِي قَوْلِهِ { اللَّاتَ وَالْعُزَّى } كَانَ اللَّاتُ رَجُلًا يَلُتُّ سَوِيقَ الْحَاجِّ
"Dari Ibnu Abbaas radhiallahu 'anhu tentang
firman Allah ((Laat dan Uzzah)) (ia berkata) : Laata dahulu adalah seorang yang
membuat adonan makanan haji" (HR Al-Bukhari no 4859)
Imam At-Thobari juga meriwayatkan dalam tafsirnya
"Dari Mujaahid, ia berkata : "Al-Laata
dahulu membuat adonan makanan bagi mereka, lalu iapun meninggal, maka merekapun
i'tikaaf (*diam dalam waktu yang lama-pen) di kuburannya maka merekapun
menyembahnya" (Tafsiir At-Thobari 22/47)
Ketiga : Yang semakin menunjukkan bahwasanya
sesembahan kaum musyrikin adalah orang-orang sholeh yaitu dengan mengamati
tujuan mereka berbuat kesyirikan. Ternyata kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Quraisy intinya ada dua:
Pertama : Sesembahan-sesembahan tersebut sebagai
perantara yang bisa mendekatkan mereka kepada Allah subhaanahu wa ta’aala. Dan
yang bisa menjadi perantara kepada Allah hanyalah orang-orang sholeh, para nabi
dan malaikat.
Hal ini sangatlah jelas ditunjukan oleh firman
Allah subhaanahu wa ta’aala surat Az-Zumar ayat 3 dimana kaum musyrikin berkata
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya
mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya. (QS Az-Zumar :
3)
Tujuan kedua : Untuk memperoleh syafaat dari
sesembahan-sesembahan mereka di sisi Allah subhaanahu wa ta’aala. Dan tidak
bisa memberi syafaat di sisi Allah kecuali orang-orang sholeh, para nabi dan
malaikat. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ
Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa
yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula)
kemanfaatan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafa'at
kepada Kami di sisi Allah" (QS Yunus : 18)
Kedua tujuan tersebut merupakan hal yang saling
melazimi, artinya mereka berdoa kepada patung-patung dan para malaikat adalah
untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah subhaanahu wa ta’aala dengan memberi
syafaat bagi mereka di sisi Allah subhaanahu wa ta’aala.
Bahkan dzohir dari ayat 3 dari surat Az-Zumar
menunjukan tidak ada tujuan lain dari peribadatan terhadap berhala kecuali
tujuan ini. Oleh karenanya Allah subhaanahu wa ta’aala menggunakan metode nafyi
dan itsbaat ((Tidaklah kami menyembah mereka kecuali untuk mendekatkan kami
kepada Allah sedekat-dekatnya)) ini adalah pembatasan tujuan, artinya tidak ada
tujuan lain bagi mereka selain ini. Atau meskipun ada tujuan lain bagi mereka
selain ini, akan tetapi inilah tujuan utama mereka. Oleh karenanya kita bisa
katakan bahwasanya hukum asal mereka menyembah berhala adalah untuk bertaqorrub
kepada Allah subhaanahu wa ta’aala hingga datang dalil yang lain yang menunjukan
tujuan lain.
Keempat : Manfaat yang kaum musyrikin harapkan
dari sesembahan mereka bukanlah karena mereka meyakini bahwasanya
sesembahan-sesembahan mereka tersebut ikut mengatur alam semesta ini akan
tetapi manfaat yang mereka harapkan adalah sekedar manfaat syafaat. Ingatlah
hal ini, karena hal ini merupakan inti permasalahan. Fungsi para sesembahan
tersebut adalah hanya sebagai pemberi syafaat di sisi Allah, sebagaimana telah
lalu
Ar-Roozi berkata tatkala menafsirakan firman
Allah subhaanahu wa ta’aala surat Ar-Ro'd ayat 16:
"((Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu
bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan
itu serupa menurut pandangan mereka?)), yaitu perkara-perkara ini
(sesembahan-sesembahan) yang disangka oleh mereka sebagai syarikat-syarikat
Allah subhaanahu wa ta’aala, tidaklah memiliki penciptaan sebagaimana
penciptaan Allah subhaanahu wa ta’aala hingga bisa mereka katakan bahwasanya
sesembahan-sesembahan tersebut bersyarikat dengan Allah subhaanahu wa ta’aala
dalam penciptaan, sehingga wajib untuk bersyarikat dengan Allah subhaanahu wa
ta’aala dalam penyembahan. Bahkan kaum musyrikin mengetahui dengan jelas sekali
bahwasanya patung-patung tersebut tidak menimbulkan perbuatan sama sekali,
tidak ada penciptaan dan tidak ada pengaruh. Jika perkaranya demikian maka
menjadikan mereka sebagai syarikat bagi Allah subhaanahu wa ta’aala dalam
penyembahan merupakan murni kebodohan dan kedunguan" (At-Tafsiir Al-Kabiir
19/33)
Maka jelaslah bahwasanya inilah hakekat kesyirikan
kaum musyrikin Arab yang mereka menjadikan sesembahan-sesembahan mereka (baik
berhala maupun para malaikat) hanyalah sebagai perantara yang mendekatkan
mereka kepada Allah subhaanahu wa ta’aala dan sebagai pemberi syafaat bagi
mereka di sisi Allah subhaanahu wa ta’aala dalam memenuhi hajat dan kebutuhan
mereka di dunia. Itulah tujuan mereka menyembah sesembahan-sesembahan selain
Allah subhaanahu wa ta’aala. Jadi mereka sama sekali tidaklah meyakini bahwa
sesembahan-sesembahan mereka (termasuk para malaikat yang mereka sembah) juga
memberi manfaat dan mudhorot secara langsung. Inilah yang dipahami dari
penjelasan Ibnu Jarir At-Thobari, Al-Qurthubi, dan Ibnu Katsiir rahimahumullah.
Akan tetapi yang lebih berbahaya dari kesyirikan
kaum musyrikin adalah jika seseorang meyakini bahwa bolehnya beristighootsah
kepada mayat karena mayat-mayat tersebut memiliki kemampuan untuk mengatur
sebagian hak-hak rububiyah Allah, sebagaimana yang diyakini oleh sebagian
sufi?? (lihat kembali http://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/128)
PENUTUP
Jika istighootsah kepada para mayat adalah baik
dan sangat bermanfaat kenapa tidak ada satu haditspun yang menganjurkan akan
hal ini…. Kenapa para sahabat tidak melakukan hal ini…. . bukankah seharusnya
amalan istighootsah kepada mayat merupakan syi'ar Islam jika memang
disyariatkan??, sebagaimana istighootsah kepada mayat merupakan syi'ar dari
kaum sufi… bahkan kaum sufi begitu marah jika ada orang yang melarang
beristighotsah kepada para wali..?? bahkan menghukumi orang yang melarang
sebagai orang yang musyrik atau kafir…??. Bukankah ini merupakan bentuk memutar
balikan fakta?? Tauhid menjadi syirik dan syirik menjadi tauhid???
(bersambung…)
Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-,
16-11-1432 H / 14 Oktober 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/192-habib-munzir-membolehkan-istighotsah-kepada-mayat-
Disalin pada 18 Juni 2013
Untuk lebih lengkapnya (teks arabnya), bisa klik
sumbernya langsung, ada komentar dan diskusi juga di sana.