TAKFIR (MENGKAFIRKAN)
Diantara tuduhan idahram yang sangat keji
terhadap kaum salafy wahabi bahwasanya mereka suka mengkafirkan kaum muslimin.
Dan ini salah satu argumen Idahram untuk mengkafirkan kaum salafy wahabi
Padahal, perkaranya adalah sebaliknya, justru
kaum wahabi yang sangat berhati-hati dalam mengkafirkan, mereka tidaklah
mengkafirkan kecuali setelah terpenuhi syarat pengkafiran. Tidak seperti
idahram yang membabi buta mengkafirkan kaum salafy wahabi.
Aqidah "Hobi mengkafirkan" adalah ciri
kaum khawarij yang suka mengkafirkan kaum muslimin hanya karena mereka
terjerumus dalam dosa besar yang tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari
Islam. Aqidah khawarij ini telah diperangi dengan keras oleh kaum Salafy
Wahabi. Silahkan para pembaca sekalian membaca sebuah disertasi Dr. Muhammad
Hisyaam Thoohir yang berjudul
تَقْرِيْرَاتُ أَئِمَّةِ الدَّعْوَةِ فِي مُخَالَفَةِ مَذْهَبِ الْخَوَارِجِ وَإِبْطَالِهِ
(Penjelasan dan penetapan para imam dakwah dalam
menyelishi dan membatilkan madzhab khawarij)
Sebagai bukti akan kehati-hatian dan jauhnya kaum
salafy wahabi dari sikap suka mengkafirkan kaum muslimin, maka berikut ini saya
nukilkan perkataan dua ulama yang merupakan gembong kaum wahabi, Ibnu Taimiyyah
dan Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahumallahu ta'aalaa.
Sikap Ibnu Taimiyyah terhadap takfiir
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فلهذا كان أهل العلم والسنة لا يكفرون من خالفهم وإن كان ذلك المخالف يكفرهم لأن الكفر حكم شرعي فليس للإنسان أن يعاقب بمثله كمن كذب عليك وزنى بأهلك ليس لك أن تكذب عليه وتزني بأهله لأن الكذب والزنا حرام لحق الله تعالى وكذلك التكفير حق لله فلا يكفر إلا من كفره الله ورسوله وأيضا فإن تكفير الشخص المعين وجواز قتله موقوف على أن تبلغه الحجة النبوية التي يكفر من خالفها وإلا فليس كل من جهل شيئا من الدين يكفر
"Karenanya para ahlu al-ilmi dan as-sunnah
tidaklah mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka, meskipun penyelisih
tersebut mengkafirkan mereka, karena kekufuran adalah hukum syar'i. Maka tidak
boleh seseorag menghukum dengan balasan yang semisalnya, sebagaimana jika
seseorang berdusta kepadamu dan berzina dengan istrimu maka tidak boleh engkau
berdusta kepadanya dan menzinahi istrinya, karena dusta dan zina diharamkan
karena hak Allah. Demikian pula halnya dengan takfir (mengkafirkan) merupakan
hak Allah, maka tidaklah dikafirkan kecuali orang yang telah dikafirkan Allah
dan RasulNya. Selain itu mengkafirkan seseorang tertentu dan bolehnya
membunuhnya tergantung kepada sampainya hujjah nabawiyah kepadanya yang mana
orang yang menyelisihinya dikafirkan, jika tidak maka tidak boleh dikafirkan
seseorang yang jahil (tidak tahu) tentang sesuatu permasalahan agama"
(Al-Istighootsah fi ar-Rod 'ala al-Bakry 256-257)
Ibnu Taimiyyah juga berkata ;
"Padalah –orang yang bermajelis denganku
mengetahui hal ini dariku- bahwa aku selalu termasuk orang yang paling melarang
untuk memvonis kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan kepada orang tertentu,
kecuali jika diketahui bahwasanya telah tegak kepadanya hujjah risalah yang
barang siapa menyelisihinya maka bisa jadi kafir atau fasiq atau 'aashi (pelaku
maksiat). Dan sungguh aku menetapkan bahwasanya Allah telah mengampuni
kesalahan umat ini. Dan kesalahan ini mencakup kesalahan dalam
permasalahan-permasalahan khobariah berupa perkataan dan juga
permasalahan-permasalahan 'ilmiyah (*seperti permasalahan aqidah). Dan para
salaf berselisih dalam banyak permasalahan akan tetapi tidak seorangpun dari
mereka yang mempersaksikan akan kekafiran seseorang atau kefasikan atau
kemaksiatan" (Majmuu' Al-Fatawaa 3/229)
Beliau juga berkata :
"Dan yang benar dalam permasalahan ini
bahwasanya sebuah perkataan/pendapat bisa jadi merupakan kekufuran sebagaimana
perkataan-perkataan Jahmiyah yang berkata : "Sesungguhnya Allah tidak
berbicara, tidak dilihat di akhirat", akan tetapi terkadang sebagian orang
tidak mengetahui bahwasanya perkataan ini adalah kekafiran, maka diitlaq-kan
pendapat dengan kafirnya pengucapnya, sebagaimana perkataan salaf :
"Barangsiapa yang mengatakan al-Qur'an makhluk maka ia telah kafir, barang
siapa yang mengatakan bahwasanya Allah tidak dilihat di akhirat maka ia telah
kafir", dan tidaklah dikafirkan seseorang tertentu hingga ditegakkan
hujjah –sebagaimana telah lalu-. Sebagaimana dengan seseorang yang menentang
kewajiban sholat dan zakat, menghalalkan khomr dan zina dan mentakwil,
sesungguhnya kejelasan perkara-perkara ini (*wajibnya sholat dan zakat, serta
haramnya khomr dan zina) di kalangan kaum muslimin lebih jelas daripada
perkara-perkara tadi (*kufurnya perkataan al-quran adalah makhluk, dan kufurnya
pengingkaran Allah dilihat di akhirat). Jika pentakwil yang salah dalam
perkara-perakara ini (*wajibnya sholat, dll) tidak dihukumi kafir hingga
diberikan penjelasan baginya dan dimintai taubat, sebagaimana yang dilakukan
oleh para sahabat terhadap sebagian orang yang menghalalkan khomr, maka pada
perkara-perkara yang lain lebih utama (*untuk tidak dikafirkan kecuali setelah
ditegakkan hujjah). Dan pada pemahaman inilah dibawakan makna sebuah hadits
yang shahih tentang lelaki yang berkata, "Jika aku mati maka bakarlah
jasadku lalu tebarkanlah debuku di lautan, sungguh kalau Allah mampu untuk
menghidupkan aku kembali maka Allah akan mengadzabku dengan 'adzab yang pedih
yang tidak pernah mengadzabnya kepada seorangpun di alam ini". Dan Allah
telah mengampuni lelaki ini padahal ia ragu akan qudroh Allah dan ragu akan
penghidupannya kembali" (Majmuu' Al-Fataawaa 7/619)
Sikap Muhammad bin Abdil Wahhab terhadap takfir
Sebagaimana Ibnu Taimiyyah yang sangat
berhati-hati dalam masalah pengkafiran maka demikian pula dengan Syaikh
Muhammad bin Abdil Wahhab.
Asy-Syaikh Abdul Lathiif bin Abdirrohman Aalu
Syaikh berkata :
والشيخ محمد رحمه الله من أعظم الناس توقفاً وإحجاماً عن إطلاق الكفر، حتى أنه لم يجزم بتكفير الجاهل الذي يدعو غير الله من أهل القبور أو غيرها إذا لم يتيسر له من ينبهه
"Dan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab
rahimahullah termasuk orang yang paling berhenti dan menahan diri dari
menyatakan kekafiran, bahkan sampai-sampai beliau tidak memastikan kafirnya
seorang yang jahil yang berdoa kepada selain Allah dari kalangan penghuni
kuburan atau yang lainnya, jika tidak dimudahkan baginya adanya orang yang
mengingatkannya" (Minhaaj At-Ta'siis hal 98)
Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhaab berkata
ومسألة تكفير المعين مسألة معروفة، إذا قال قولا يكون القول به كفرا، فيقال: من قال بهذا القول فهو كافر، لكن الشخص المعين، إذا قال ذلك لا يحكم بكفره، حتى تقوم عليه الحجة التي يكفر تاركها
"Dan permasalahan memvonis kafir orang
tertentu adalah permasalahan yang ma'ruf (dikenal), jika seseorang mengucapkan
suatu perkataan yang menimbulkan kekafiran, maka dikatakan : "Barang siapa
yang mengatakan perkataan ini maka ia kafir", akan tetapi orang tertentu
jika mengucapkan perkataan tersebut maka tidak dihukumi menjadi kafir hingga
ditegakkan hujjah kepadanya yang seseorang menjadi kafir karena meniggalkan
hujjah tersebut" (Ad-Duror As-Saniyyah 10/432-433)
Beliau juga berkata:
"Adapun kedustaan maka seperti perkataan
mereka bahwasanya kami mengkafirkan secara umum, kami mewajibkan orang yang
mampu untuk menampakkan agamanya untuk berhijroh kepada kami, kami mengkafirkan
orang yang tidak mengkafirkan, juga mengkafirkan orang yang tidak berperang,
dan kedustaan seperti ini banyak dan berlipat-lipat ganda. Semua ini adalah
kedustaan yang menghalangi manusia dari agama Allah dan RasulNya.
Jika kami tidak mengkafirkan orang-orang yang
menyembah berhala yang ada pada Abdul Qodir, dan berhala yang ada di kuburan
Ahmad Al-Baidawai dan yang semisal mereka berdua dikarenakan kejahilan mereka
dan tidak adanya orang yang mengingatkan mereka, maka bagaimana kami lantas
mengkafirkan orang yang tidak berbuat kesyirikan kepada Allah??, jika ia tidak
berhijrah kepada kami?? Atau tidak mengkafirkan dan tidak berperang??, Maha
suci Allah, ini merupakan kedustaan besar" (Ad-Duror As-Saniyyah 1/104)
Beliau juga berkata:
"Adapun takfir (pengkafiran) maka aku
mengkafirkan orang yang mengetahui agama Rasulullah kemudian setelah ia
mengetahui agama Rasul lalu ia mencelanya dan melarang manusia dari agama
tersebut serta memusuhi orang yang menjalankan agama Rasul, maka orang inilah
yang aku kafirkan. Dan mayoritas umat –alhamdulillah- tidak seperti ini"
(Ad-Duror As-Saniyyah 1/73)
Dari pernyataan-pernyataan dua ulama kaum salafy
wahabi diatas dapat kita simpulkan beberapa perkara berikut ini:
Pertama : Kaum salafy Wahabi memandang bahwa
takfir (pengkafiran) adalah hak Allah, karenanya tidak boleh mengkafirkan
kecuali orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan RasulNya. Yaitu pengkafiran
harus dibangun di atas dalil syar'i
Kedua : Kaum Salafy Wahabi hanya mengkafirkan
dengan perkara-perkara yang merupakan ijmak ulama.
As-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab berkata :
Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhaab rahimahullah
ditanya, "Atas apa ia berperang?, apa yang menyebabkan seseorang
dikafirkan?", maka beliau menjawab:
"Rukun-rukun Islam yang lima, yang pertama
adalah dua syahadat, kemudian empat rukun. Adapun keempat rukun jika dia
mengakuinya namun meninggalkan melaksanakannya karena lalai maka kami –meskipun
kami memeranginya agar ia mengerjakan keempat rukun- akan tetapi kami tidak
mengkafirkannya karena ia meninggalkannya, sementara para ulama berselisih
tentang kafirnya orang yang meninggalkan keempat rukun karena malas tanpa
menentang wajibnya empat rukun tersebut. Dan kami tidak mengkafirkan kecuali
perkara yang disepakati oleh seluruh ulama, yaitu dua syahadat. Selain itu kami
juga mengkafirkannya setelah memberi penjelasannya kepadanya, jika ia telah
tahu dan tetap mengingkari" (Ad-Duror As-Saniyyah 1/102, lihat juga
11/317)
Ketiga : Kaum salafy memandang perbedaan antara
takfir mutlaq dan takfir mu'ayyan. Takfir mutlaq seperti perkataan para ulama
"Barang siapa yang mengatakan al-Qur'an makhluk maka dia kafir", akan
tetapi tidak serta merta setiap orang yang mengatakan al-Quran makhluq lantas
kita kafirkan.
Tidak diragukan bahwa perkataan al-Qur'an makhluq
merupakan kekufuran. Imam Malik bin Anas ketika ditanya tentang orang yang
mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah mahluk, beliau menjawab: “Orang itu adalah
zindiq(*), maka bunuhlah dia”. (Dinukil dari Siyar A’alam An Nubala’ 8/99).
Imam As Syafi’i ketika mendengar Hafes Al Fared berkata: “Al-Qur’an adalah
mahluk” beliau langsung berkata kepadanya: “Engkau telah kufur kepada Allah”.
(Dinukil Dari Siyar A’alam An Nubala’ 10/30, & Mujmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah
23/349)
Abu Bakr bin ‘Ayyasy berkata: “Barang siapa yang
beranggapan bahwa Al-Qur’an adalah mahluk, maka menurut kami, dia itu adalah
kafir dan zindiq.” Abu Nu’aim berkata: Aku pernah berjumpa dengan delapan ratus
tujuh puluh sekian orang syeikh, diantaranya Al A’amasy dan orang yang
setelahnya. Dan aku tidaklah menjumpai orang yang berkeyakinan dengan ucapan
ini yaitu “Al-Qur’an adalah Mahluk” atau berbicara dengannya, melainkan ia
dituduh sebagai orang zindiq“.
Kemudian Imam Hibatullah Al lalaka’i menyebutkan
lebih dari seratus nama ulama’ dan kemudian beliau berkata: “Mereka semua
berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, maka barang siapa yang
berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah mahluk, maka ia telah kafir”. (Syarah Ushul
I’tiqad Ahlis Sunnah 2/277 dst)
Al Imam Abul Hasan Al ‘Asy’ari berkata: “Dan saya
berpendapat: sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah dan bukan mahluk, dan
barang siapa yang mengatakan “Al-Qur’an adalah mahluk” maka ia adalah orang
kafir”. (Al Ibanah oleh Abul Hasan Al ‘Asy’ary hal 20 & Tabyiin Kazibul
Muftary oleh Ibnu ‘Asakir hal 159). Dan masih banyak lagi deretan ulama’ yang
menyatakan dengan tegas bahwa perkataan “Al-Qur’an adalah mahluk” sebagai
kekufuran.
Akan tetapi pada kenyataannya Imam Ahmad tidak
mengkafirkan setiap orang yang menyatakan bahwa al-Qur'an makhluq. Oleh karena
itu Imam Ahmad tidak mengkafirkan para khalifah (Al-Makmun, Al-Mu’tasihm, dan
Al-Waatsiq) yang telah beraqidah bahwasanya Al-Qur’an adalah mahluk serta telah
menyiksa beliau dan juga para ulama yang lain semasa beliau karena para
khalifah tersebut masih terbelenggu oleh syubhat atau takwil.
Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya orang yang
menyeru kepada perkataan (Al-Qur’an adalah mahluk -pen) lebih parah
dibandingkan dengan orang yang (hanya sekedar) berpendapat demikian. Dan orang
yang menghukumi orang yang menyelisihinya lebih parah lagi dibandingkan orang
yang hanya sekedar menyeru kepada pendapatnya. Dan yang mengkafirkan orang yang
menyelisihinya lebih parah lagi dari yang (hanya sekedar) menghukumi (orang
yang menyelisihinya yang tidak mengatakan Al-Qur’an mahluk-pen). Meskipun
demikian mereka yang merupakan para penguasa berpendapat dengan perkataan
Jahmiyah bahwasanya Al-Qur’an adalah mahluk dan bahwasanya Allah tidak dapat
dilihat di akhirat serta yang lainnya, mereka menyeru rakyat untuk berpendapat
demikian. Mereka menguji rakyat dan menghukum mereka jika mereka tidak setuju
dengannya.
Mereka mengkafirkan orang yang tidak memenuhi
(seruan mereka/mengkafirkan orang yang tidak mengatakan Al-Qur’an adalah mahluk
-pen). Sampai-sampai jika mereka menangkap seseorang tawanan, maka tidak akan
mereka lepaskan hingga ia mengakui pendapat Jahmiyah bahwa Al-Qur’an adalah
mahluk dan yang lainnya.
Mereka tidak akan mengangkat seorang pejabat,
serta tidak akan memberi pembagian dari baitul mal kecuali kepada orang yang
berpendapat demikian.
Meskipun demikian Imam Ahmad –rahimahullah- tetap
mendoakan kerahmatan bagi mereka dan memohon ampun bagi mereka, karena beliau
beranggapan bahwa mereka belum sampai pada tingkatan mendustakan Rasulullah dan
menentang syari’at yang beliau emban. Akan tetapi mereka bertakwil dan mereka
keliru, serta mereka hanya sekedar taqlid/ikut-ikutan dengan orang lain yang
mengajarkan hal itu (aqidah Jahmiyah) kepada mereka”. (Majmuu’ al-Fataawaa
23/348-349)
Ibnu Taimiyyah juga berkata, “Padahal Imam Ahmad
tidaklah mengkafirkan setiap orang Jahmiyah, tidak juga mengkafirkan setiap
orang yang beliau vonis sebagai anggota sekte Jahmiyah, tidak juga setiap orang
yang setuju dengan sebagian bid’ah-bid’ah Jahmiyah.
Bahkan beliau tetap menjalankan sholat di
belakang orang-orang Jahmiyah yang menyeru kepada perkataan mereka dan menguji
masyarakat dan menghukum orang yang tidak setuju dengan mereka dengan hukuman
yang berat, akan tetapi Imam Ahmad dan yang lainnya belum mengkafirkan mereka.
Bahkan Imam Ahmad meyakini bahwa mereka masih sebagai orang-orang yang beriman
dan beliau tetap meyakini kepemimpinan mereka. Beliau mendoakan kebaikan bagi
mereka, dan memandang (bolehnya) bermakmum di belakang mereka ketika sholat,
berhaji dan berperang bersama mereka. Beliau melarang pemberontakan terhadap
mereka sebagaimana inilah pandangan orang-orang yang semisal beliau (para imam
salaf yang lain). Beliau mengingkari bid’ah yang mereka munculkan yaitu perkataan
batil yang merupakan kekafiran yang besar meskipun para pelakunya tidak
menyadari bahwa perbuatannya itu (perkataan Al-Qur’an adalah mahluk) merupakan
kekafiran.
Beliau mengingkari hal ini dan bersungguh-sungguh
dalam membantah mereka semampu beliau. Dengan demikian beliau telah menyatukan
antara ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya yaitu dengan menampakkan sunnah dan
agama serta mengingkari bid’ah Jahmiyah Mulhidin dengan sikap memperhatikan
hak-hak orang-orang beriman dari kalangan para penguasa dan umat meskipun
mereka adalah orang-orang jahil, para mubtadi’, dzolim dan fasik”. (Majmuu’
al-Fataawaa 7/507-508)
Keempat : Kaum Salafy Wahabi meyakini bahwa
seseorang yang melakukan kekafiran atau mengucapkan kekafiran tidaklah langsung
divonis kafir kecuali setelah memenuhi persyaratan (seperti ditegakkannya
hujjah dan berusaha menghilangkan syubhat yang bercokol di kepalanya) serta
tidak adanya perkara-perkara yang menghalangi pengkafiran (seperti kebodohan,
baru masuk islam, tinggal di daerah pedalaman sehingga tidak mengerti, atau
karena dipaksa mengucapkan/melakukan kekafiran, dll).
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وليس لأحد أن يكفر أحدا من المسلمين وإن أخطأ وغلط حتى تقام عليه الحجة وتبين له المحجة ومن ثبت إسلامه بيقين لم يَزُلْ ذلك عنه بالشك ؛ بل لا يزول إلا بعد إقامة الحجة وإزالة الشبهة
"Dan tidak seorangpun boleh mengkafirkan
seorangpun dari kaum muslimin meskipun ia keliru atau bersalah hingga
ditegakkah hujjah kepadanya dan jelas baginya hujjah. Barang siapa yang secara
yakin islamnya tegak maka tidaklah islam tersebut hilang darinya hanya dengan
keraguan, akan tetapi bisa hilang jika setelah menegakkan hujjah dan
menghilangkan syubhat' (Majmuu Al-Fataawaa 12/466)
Ibnu Taimiyyah juga berkata :
وأما الحكم على المعين بأنه كافر أو مشهود له بالنار : فهذا يقف على الدليل المعين فإن الحكم يقف على ثبوت شروطه وانتفاء موانعه
"Adapun memvonis orang tertentu dengan hukum
kafir atau disaksikan masuk neraka maka hal ini berhenti/tergantung kepada
dalil yang tertentu (khusus), karena pemvonisan tersebut tergantung pada adanya
persyaratan dan hilangnya halangan-halangan" (Majmuu al-Fataawaa 12/498)
Dengan ini
sangatlah jelas bahwa kaum salafy wahabi adalah kaum yang sangat berhati-hati
dalam mengkafirkan. (Silahkan para pembaca membaca sebuah desertasi karya Dr.
Abdul Majiid al-Masy'abi yang berjudul Manhaj Ibni Taimiyyah fi mas'alah
at-Takfiir bisa di download di http://www.waqfeya.com/book.php?bid=1492, dan
juga sebuah tesis karya Ahmad bin Jazzaa' Ar-Rudhoimaan yang berjudul Manhaj
Al-Imam Muhammad bin Abdil Wahhaab fi mas'alah at-Takfiir, bisa di download di
http://www.alkutob.net/aqeedah/manhag-emam-mohammad/manhag-emam-mohammad.pdf)
Karenanya tuduhan Idahram bahwasanya kaum salafi
wahaby suka mengkafirkan kaum muslimin maka ini merupakan tuduhan dusta, justru
idahram termakan dengan tuduhannya sendiri, jadilah ia hobi mengkafirkan kaum
salafy wahabi tanpa dalil dan hanya mengikuti hawa nafsunya, Allahu
al-Musta'aan.
Bersambung...
Diterbitkan pada 21 October 2012
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Disalin pada 22 Juni 2013
Untuk lebih lengkapnya (teks arabnya), bisa klik
sumbernya langsung, ada komentar dan diskusi juga di sana.