Habib Munzir berkata :
"Demikian pula diriwayatkan bahwa dihadapan
Ibn Abbas ra ada seorang yang keram kakinya, lalu berkata Ibn Abbas ra : “Sebut
nama orang yg paling kau cintai..!”, maka berkata orang itu dengan suara
keras.. : “Muhammad..!”, maka dalam sekejap hilanglah sakit keramnya
(diriwayatkan oleh Imam Hakim, Ibn Sunniy, dan diriwayatkan oleh Imam Tabrani dengan
sanad hasan) dan riwayat ini pun diriwayatkan oleh Imam Nawawi pada Al Adzkar.
Jelaslah sudah bahwa riwayat ini justru bukan
mengatakan musyrik pada orang yang memanggil nama seseorang saat dalam keadaan
tersulitkan, justru Ibn Abbas ra yang mengajari hal ini" (Kenalilah
akidahmu 2 hal 77)
SANGGAHAN
Riwayat dari Ibnu Abbas ini dijadikan dalil oleh
Habib Munzir akan bolehnya beristighootsah kepada mayat, bahkan dianjurkan dan
diajari oleh Ibnu Abbas radhiallahu 'anhumaa. Sisi pendalilan adalah karena
orang tersebut tatkala menghadapi kesulitan lantas ia menyebut nama Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah meninggal dunia.
Sanggahan terhadap pendalilan ini dari beberapa
sisi :
PERTAMA : Riwayat ini adalah riwayat yang lemah.
Ibnu Sunniy meriwayatkan dalam kitabnya 'amal
al-Yaum wa al-Lailah dengan sanadnya :
"…Ada seseorang yang keram kakinya di sisi
Ibnu Abbaas, maka Ibnu Abbaas berkata, "Sebutlah orang yang paling engkau
cintai", maka orang tersebut berakata, "Muhammad shallallahu 'alaihi
wa sallam", maka hilanglah keramnya tersebut" ('Amal al-Yaum wa
al-Lailah karya Ibnu Sunniy 88-89 no 169)
Dari jalan Ibnu Sunniy juga diriwayatkan oleh
Imam An-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkaar hal 261.
Dalam sanad riwayat ini ada seorang perawi yang
bernama Ghiyaats bin Ibraahiim. Dan perawi ini dinilai lemah oleh para ahli
hadits, bahkan tertuduh sebagai pendusta. Berikut saya sebutkan perkataan para
Ahli Hadits.
Adz-Dzahabi As-Syaafi'i berkata :
"Ghiyaats bin Ibraahiim An-Nakho'iy meriwayatkan
dari Al-A'masy dan yang lainnya.
Imam Ahmad berkata, "Orang-orang
meninggalkan haditsnya Ghiyaats".
'Abbaas meriwayatkan dari Imam Yahya, ia berkata
: "Ghiyaats tidak tsiqoh/terpercaya".
Al-Juzjaaniy berkata, "Aku mendengar lebih
dari satu orang berkata, "Ghiyaats
memalsu hadits". Imam Al-Bukhari berkata, "Mereka (para ahli hadits)
meninggalkannya" (Miizaan Al-I'tidaal fi naqd ar-Rijaal 3/337)
Ibnu Hajar Al-'Asqolaani As-Syaafi'i berkata :
"Dan Al-Aajurriy berkata : "Aku
bertanya kepada Abu Dawud (*tentang Ghiyaats) maka ia berkata : "Kadzdzaab
(Pendusta)", dan ia suatu kali pernah berkata, "Tidak
tsiqoh/dipercaya dan tidak amanah". Ibnu Ma'iin berkata, "(*Ghiyaats)
pendusta yang buruk. As-Saajiy berkata, "Mereka meninggalkannya",
Sholeh Jazrah berkata : "Ia memalsukan hadits" (Lisaan Al-Miizaan
6/311)
Dari perkataan para Imam ahli hadits di atas yang
disampaikan oleh Adz-Dzahabi dan Ibnu Hajr rahimahumullah maka bisa kita
simpulkan bahwasanya riwayat dari Ibnu Abbas ini adalah riwayat yang dusta,
karena dalam sanadnya ada perawi yang pendusta yaitu Ghiyaats bin Ibroohiim
An-Nakho'iy Al-Kuufiy.
KEDUA : Habib Munzir mengatakan bahwa atsar ini
diriwayatkan oleh Imam Al-Haakim dan At-Thobrooniy dengan sanad yang hasan.
Maka bisakah Habib Munzir menyebutkan dalam buku-buku apa saja mereka berdua
meriwayatkan atsar ini? Agar kita bisa mendapat faedah lebih banyak dan bisa
mengecek sanad riwayat ini. Kemudian Ulama Ahli hadits siapakah yang telah
menghukumi bahwasanya sanad riwayat ini adalah hasan? Ataukah Habib Munzir
sendiri (yang konon merupakan pakar hadits dan ahli sanad) yang telah
menyatakan riwayat ini hasan??!!. Karena riwayat yang terdapat dalam kitab Ibnu
Sunniy riwayatnya maudhuu' (palsu), dan Habib menyatakan bahwasanya riwayat
atsar ini sanadnya hasan, saya menunggu jawaban Habib Munzir…, jika Habib
Munzir bisa mendatangkan sanad periwayatannya maka kita berusaha menilai
keabsahan sanad tersebut Alhamdulillah, akan tetapi jika tidak ada maka berarti
riwayat ini adalah riwayat yang palsu..!!!.
KETIGA : Jika kita mengatakan bahwa riwayat ini
shahih maka inipun tidak bisa dijadikan dalil untuk membolehkan meminta kepada
mayat. Hal ini nampak dari beberapa sisi :
Pertama : Ibnu Abbaas berkata kepada orang
tersebut "Sebutlah orang yang paling engkau cintai !". Ibnu Abbaas
tidak berkata, "Berisitghotsahlah engkau kepada orang yang engkau cintai
!!". Dan jawaban orang tersebut adalah, "Muhammad", sesuai
dengan anjuran Ibnu Abbaas. Ia tidak berkata, "Yaa Muhammad tolonglah
aku..!!", atau berkata, "Yaa Muhammad sembuhkanlah aku !!", akan
tetapi ia hanya sekedar menyebut nama orang yang paling dia cintai yaitu
"Muhammad".
Kedua : Tentunya berbeda antara istighootsah dengan
hanya sekedar menyebut nama. Kalau istighootsah adalah seruan (memanggil) yang
disertai dengan tolabul ghouts (permohonan pertolongan). Dan dalam atsar Ibnu
Abbaas ini sangat jelas, lelaki tersebut sama sekali tidak sedang meminta
pertolongan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan lelaki
tersebut tidak menyeru Nabi dan berkata, "Wahai atau Yaa Muhammad",
akan tetapi ia hanya menyebut nama "Muhammad" tanpa disertai dengan
seruan "wahai" atau "yaa". Kalaupun lelaki tersebut
mengatakan "Wahai Muhammad" maka inipun bukan istighootsah karena
tidak disertai dengan permohonan pertolongan.
Ketiga : Kalau hanya sekedar menyebut nama atau
menyeru nama seseorang tanpa permohonan pertolongan sudah dikatakan
istighootsah, maka jika seseorang sedang stress lantas menyebut nama istrinya
(yang sangat ia cintai) agar pikirannya tenang, maka apakah orang ini dikatakan
telah beristighootsah dengan istrinya?, dengan beristighootsah dengan wanita
yang jauh lebih lemah darinya??
Keempat : Dalam kisah ini, Ibnu Abbaas
menyarankan untuk menyebut seorang yang paling dicintai oleh lelaki tersebut.
Ibnu Abbas tidak mempersyaratkan bahwasanya orang yang paling dicintai tersebut
harus merupakan ruh orang yang sudah wafat atau orang yang sedang hadir di
situ. Bahkan Ibnu Abbaas sama sekali tidak mempersyaratkan bahwa orang yang
dicintai tersebut harus merupakan ruh orang yang sholeh yang dipersangkakan
memiliki manzilah di sisi Allah
Lantas jika tenyata lelaki tersebut ternyata
menyebutkan nama istrinya atau anaknya yang sangat dia cintai, maka bukankah ia
telah melaksanakan anjuran Ibnu Abbaas??, lantas…
-
Apakah ini adalah istighootsah menurut Habib Munzir???:
-
Apakah dikatakan ia beristighootsah dengan anaknya atau istrinya yang
jauh lebih lemah darinya??
-
Lantas apakah Habib Munzir membolehkan untuk beristighootsah dengan
orang yang tidak hadir di situ dan tidak bisa mendengarkan permintaan tolong
lelaki tersebut??. Tentunya Habib Munzir sepakat jika seseorang sedang sakit
terbaring di rumah sakit lantas ia mengingat orang yang paling dicintainya
(seperti istrinya atau anaknya atau ibunya), lalu ia menyebut namanya, dan
ternyata orang yang dicintainya tersebut masih hidup dan posisinya jauh dari
rumah sakit, maka ini tentunya bukanlah isitighootsah
KEEMPAT : Apa sih sisi pendalilan dari kisah Ibnu
Abbaas ini sehingga bisa dijadikan dalil akan bolehnya berisitighootsah kepada
mayat?
Tentunya berdasarkan pemahaman orang-orang yang
membolehkan meminta tolong dan beristighootsah kepada mayat maka sisi
pendalilannya sebagai berikut : "Lelaki tersebut sedang menghadapi
kesulitan yaitu kakinya keram, dan Ibnu Abbas menganjurkannya untuk meminta
tolong (beristighootsah) kepada orang yang dicintainya. Ternyata lelaki
tersebut beristighootsah kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam
yang telah meninggal dunia. Dan hal ini tidak diingkari oleh Ibnu Abbaas,
bahkan merupakan bentuk pengamalan dari anjuran Ibnu Abbaas".
Demikianlah kira-kira sisi pendalilannya. Karena
jika sisi pendalilannya tidak seperti ini maka atsar (kisah) ini sama sekali
tidak bisa dijadikan dalil untuk beristighootsah kepada mayat orang sholeh.
Lantas sekarang saya jadi bertanya, Apakah
menurut Habib Munzir seseorang boleh beristighootsah kepada Nabi Muhammad meskipun
tidak dihadapan kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam?? Bukankah ini
merupakan kesyirikan yang nyata??, Karena tidaklah seorang hamba yang ada di
Indonesia yang terkena musibah dan kesulitan lantas beristighootsah kepada Nabi
shallallahu 'alaih wa sallam kecuali ia memiliki keyakinan-keyakinan berikut :
-
Meyakini bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar permintaan
tolongnya meskipun jasad Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terkubur di Madinah
sementara sang hamba berada di Indonesia
-
Meyakini bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bukan hanya sekedar
mendengar, bahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui kondisinya yang
sedang menghadapi kesulitan. Dan inilah yang diyakini oleh seorang habib yang
lebih senior dan mendunia daripada Habib Munzir, yaitu Habib Alawi Al-Maliki
Al-Hasanni, ia berkata dalam kitabnya "Mafaahiim yajibu an Tushohhah"
tentang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
فَإِنَّهُ حَيِّيُ الدَّارَيْنِ دَائِمُ الْعِنَايَةِ بِأُمَّتِهِ، مُتَصَرِّفٌ بِإِذْنِ اللهِ فِي شُؤُوْنِهَا خَبِيْرٌ بِأَحْوَالِهَا
"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam hidup di dunia dan akhirat, senantiasa memperhatikan umatnya,
mengatur urusan umatnya dengan izin Allah dan mengetahui keadaan umatnya"
-
Meyakini bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam mampu untuk
menghilangkan kesulitan yang sedang dihadapinya dengan izin Allah.
Lantas bagaimana jika ruuh yang dimintai tolong
tersebut adalah selain Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka apakah Habib
Munzir juga membolehkan untuk beristighootsah kepada ruh tersebut …meskipun
tidak di hadapan kuburannya?? Dengan berkeyakinan bahwasanya ruh-ruh orang
sholeh bisa menghilangkan kesulitan dengan izin Allah?? Sebagaimana juga yang
diyakini oleh Alawi Al-Maliki pendukung kesyirikan…??. Alawi Al-Maaliki
Al-Hasani berkata :
والحاصل أنه لا يكفر المستغيث إلا إذا اعتقد الخلق والإيجاد لغير الله تعالى ، والتفرقة بين الأحياء والأموات لا معنى لها فإنه من اعتقد الإيجاد لغير الله كفر ...
وأنت تعلم أن غاية ما يعتقد الناس في الأموات هو أنهم متسببون ومكتسبون كالأحياء لا أنهم خالقون موجدون كالإله
"Intinya sesungguhnya orang yang
beristighootsah (*kepada mayat) tidaklah kafir kecuali jika ia meyakini ada
selain Allah yang menciptakan. Dan pembedaan antara orang-orang yang hidup
dengan mayat-mayat tidak ada artinya, karena barangsiapa yang meyakini ada yang
menciptakan selain Allah maka kafir….dan engkau mengetahui bahwasanya puncak
dari apa yang diyakini manusia tentang mayat-mayat bahwasanya mayat-mayat
tersebut hanyalah sebagai sebab dan usaha saja sebagaimana orang-orang hidup, dan
bukanlah mayat-mayat tersebut adalah para pencipta sebagaimana Tuhan"
Habib Alawi Al-Maaliki Al-Hasani berpendapat sama
seperti Habib Munzir bahwa mayat-mayat merupakan sebab untuk mendatangkan
pertolongan, dan tidak ada perbedaan antara orang hidup dan orang mati. Bahkan
Habib Alawi Al-Maaliki Al-Hasani berpendapat seseorang boleh beristighootsah
kepada mayat sholeh dan tidak akan dikatakan perbuatannya syirik selama ia
meyakini bahwa mayat tersebut hanya sebab atau telah diberi izin oleh Allah.
Lihat kembali artikel
(http://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/128-bantahan-terhadap-abu-salafy-seri-7-perkataan-abu-salafy-berdoa-kepada-selain-allah-tidak-mengapa-selama-tidak-syirik-dalam-tauhid-rububiyah)
KELIMA : Kalaupun atsar ini shahih lantas apakah
bisa menjadi dalil bagi kelompok orang yang bermadzhab Aysa'ari untuk membangun
suatu aqidah??!!!. Bukankah orang-orang Asya'ari mempersyaratkan bahwasanya
yang bisa dijadikan dalil untuk permasalahan aqidah haruslah dalil yang
mutawaatir dan bukan dalil yang ahad??!! (yang persayaratan ini adalah warisan
yang diambil oleh orang-orang Asyaairoh dari kaum mu'tazilah, dan insyaa Allah
akan ada pembahasannya secara khusus !!)
Ini semua jika riwayat tersebut shahih, ternyata
seperti yang sudah dijelaskan bahwa riwayat tersebut adalah PALSU.
(bersambung…)
Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-,
19-11-1432 H / 17 Oktober 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Disalin pada 18 Juni 2013
Untuk lebih lengkapnya (teks arabnya), bisa klik
sumbernya langsung, ada komentar dan diskusi juga di sana.