Diantara dalil yang dipegang oleh pendukung
bid'ah hasanah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Jarir bin
Abdillah al-Bajali radhiallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama
Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya
tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya,
tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam
Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa
dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari
dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim no 1016)
Sisi pendalilan mereka :
Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah
mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini
harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegang teguh dengan
sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang
ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk berpegang
teguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits tersendiri yang
menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini berbicara
tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah dilakukan
sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah merintis perkara
baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh
dengannya"
Sanggahan :
Yang dimaksud Nabi shallalahu 'alaihi wa sallam dengan sabdanya مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً "Barang siapa
yang merintis sunnah hasanah/baik" adalah mendahului dalam mengamalkan
sunnah yang telah valid dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan bukan
membuat/merekayasa/berkreasi dalam membuat suatu ibadah yang baru. Hal ini
sangat jelas dari beberapa sisi:
PERTAMA : Kronologi dari hadits tersebut
menunjukkan akan hal itu.
Jarir bin Abdillah radhiallahu 'anhu berkata,
كنا في صَدْرِ النَّهَارِ عِنْدَ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - فَجَاءهُ قَومٌ عُرَاةٌ مُجْتَابي النِّمَار أَوْ العَبَاء ، مُتَقَلِّدِي السُّيُوف ، عَامَّتُهُمْ من مضر بَلْ كُلُّهُمْ مِنْ مُضَرَ ، فَتَمَعَّرَ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - لما رَأَى بِهِمْ مِنَ الفَاقَة، فَدَخَلَ ثُمَّ خَرَجَ ، فَأَمَرَ بِلالاً فَأَذَّنَ وَأَقَامَ ، فصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ ، فَقَالَ : { يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ } إِلَى آخر الآية : { إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً } ، والآية الأُخْرَى التي في آخر الحَشْرِ : { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ } تَصَدَّقَ رَجُلٌ مِنْ دِينَارِهِ، مِنْ دِرهمِهِ، مِنْ ثَوبِهِ ، مِنْ صَاعِ بُرِّهِ ، مِنْ صَاعِ تَمْرِهِ - حَتَّى قَالَ - وَلَوْ بِشقِّ تَمرَةٍ )) فَجَاءَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ بِصُرَّةٍ كَادَتْ كَفُّهُ تَعجَزُ عَنهَا، بَلْ قَدْ عَجَزَتْ، ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ حَتَّى رَأيْتُ كَومَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَثِيَابٍ ، حَتَّى رَأيْتُ وَجْهَ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - يَتَهَلَّلُ كَأنَّهُ مُذْهَبَةٌ. فَقَالَ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم -: ((مَنْ سَنَّ في الإسلامِ سنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أجْرُهَا، وَأجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ،مِنْ غَيرِ أنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورهمْ شَيءٌ، وَمَنْ سَنَّ في الإسْلامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيهِ وِزْرُهَا ، وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ ، مِنْ غَيرِ أنْ يَنْقُصَ مِنْ أوْزَارِهمْ شَيءٌ ))
"Kami bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam di awal siang, lalu datanglah sekelompok orang yang setengah
telanjang dalam kondisi pakaian dari bulu domba yang bergaris-garis dan robek,
sambil membawa pedang. Mayoritas mereka dari suku Mudhor, bahkan seluruhnya
dari Mudhor. Maka tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat
kondisi mereka yang miskin, berubahlah raut wajah Nabi. Nabipun masuk dan
keluar, lalu memerintahkan Bilal untuk adzan dan iqomat, lalu beliapun sholat,
lalu berdiri berkhutbah. Beliau berkata, "Wahai manusia, bertakwalah
kepada Rob kalian yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa" hingga
akhir ayat tersebut "Sesungguhnya Allah Maha Mengawasi kalian". Lalu
membaca ayat yang lain di akhir surat al-Hasyr "Wahai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaknya sebuah jiwa melihat apa
yang telah ia kerjakan untuk esok hari".
Hendaknya seseorang mensedekahkan dari dinarnya,
atau dari dirhamnya, dari bajunya, dari gandumnya, dari kormanya…-hingga Nabi
berkata- meskipun bersedekah dengan sepenggal butir korma"
Lalu datanglah seorang lelaki dari kaum anshor
dengan membawa sebuah kantong yang hampir-hampir tangannya tidak kuat untuk
mengangkat kantong tersebut, bahkan memang tidak kuat. Lalu setelah itu
orang-orangpun ikut bersedekah, hingga aku melihat dua kantong besar makanan
dan pakaian, hingga aku melihat wajah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bersinar berseri-seri. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,
“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama
Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya
tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya,
tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam
Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa
dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari
dosa-dosa mereka sedikitpun” (HR Muslim)
Dari kisah di atas jelas bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
beliaulah yang memotivasi para sahabat untuk bersedekah. Lalu sahabat anshor
lah yang pertama kali bersedekah, lalu diikuti oleh para sahabat yang lain.
Lalu setelah itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً "Barang siapa
yang merintis sunnah hasanah/baik".
Dari kronologi ini jelas bahwa yang dimaksud
dengan sunnah hasanah adalah sunnah yang valid dari Nabi, dalam kasus ini
adalah sedekah yang dimotivasi oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
KEDUA : Secara bahasa bahwa makna dari lafal سَنَّ adalah memulai perbuatan lalu diikuti oleh orang
lain, sebagaimana hal ini kita dapati di dalam kamus-kamus bahasa Arab
Al-Azhari rahimahullah (wafat tahun 370 H) dalam
kitabnya Tadziib al-Lughoh berkata:
"Setiap orang yang memulai suatu perkara
lalu dikerjakan setelahnya oleh orang-orang maka dikatakan dialah yang telah
merintisnya" (Tahdziib al-Lughoh, karya al-Azhari, tahqiq Ahmad Abdul
Halim, Ad-Daar Al-Mishriyah, 12/306)
Hal ini juga sebagaimana disampaikan oleh
Az-Zabidi dalam kitabnya Taajul 'Aruus min Jawahir al-Qoomuus, 35/234, Ibnul
Manzhuur dalam kitabnya Lisaanul 'Arob 13/220)
Oleh karenanya lafal سَنَّ tidaklah berarti harus berkreasi amalan
baru/berbuat bid'ah yang tidak ada contoh sebelumnya, akan tetapi lafal سَنَّ bersifat umum yaitu setiap yang memulai suatu
perbuatan lalu diikuti, baik perbuatan tersebut telah ada sebelumnya atau
merupakan kreasinya sendiri.
Namun dengan melihat sebab kronologi hadits
tersebut maka dipahami bahwa yang dimaksud oleh Nabi dengan سَنَّ adalah yang mendahului melakukan sunnah yang
telah diajarkan dan dimotivasi oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu
bersedekah.
Karenanya al-Azhari berkata tentang hadits ini :
"Dalam hadits "Barang siapa yang
"sanna" sunnah yang baik baginya pahalanya dan pahala orang yang
mengamalkannya, dan barang siapa yang "sanna" sunnah yang buruk
…", maksud Nabi adalah barang siapa yang mengamalkannya untuk
diikuti" (Tahdziib al-Lughoh 12/298). Jadi bukan maknanya menciptakan
suatu amalan !!
Dari sini makna "sanna sunnah hasanah"
bisa dibawakan kepada dua makna,
Pertama : Mendahului/memulai menjalankan sunnah
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu diikuti oleh orang-orang lain. Bisa
jadi sunnah tersebut bukanlah sunnah yang ditinggalkan/dilupakan/telah mati,
akan tetapi dialah yang pertama kali mengingatkan orang-orang lain dalam
mengerjakannya. Sebagaimana dalam kasus hadits Jarir bin Abdillah di atas,
sunnah Nabi yang dikerjakan adalah sedekah. Tentunya sunnah ini bukanlah sunnah
yang telah mati atau ditinggalkan para sahabat, akan tetapi pada waktu kasus
datangnya orang-orang miskin maka sahabat anshori itulah yang pertama kali
mengamalkannya sehingga diikuti oleh para sahabat yang lain.
Hal ini didukung dengan hadits yang lain yang
diriwayatkan oleh Abu Huroiroh radhiallahu 'anhu, ia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَحَثَّ عَلَيْهِ فَقَالَ رَجُلٌ عِنْدِي كَذَا وَكَذَا، قَالَ فَمَا بَقِيَ فِي الْمَجْلِسِ رَجُلٌ إِلاَّ تَصَدَّقَ عَلَيْهِ بِمَا قَلَّ أَوْ كَثُرَ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنِ اسْتَنَّ خَيْرًا فَاسْتُنَّ بِهِ كَانَ لَهُ أَجْرُهُ كَامِلاً وَمِنْ أُجُوْرِ مَنِ اسْتَنَّ بِهِ وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنِ اسْتَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَاسْتُنَّ بِهِ فَعَلَيْهِ وِزْرُهُ كَامِلاً وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِي اسْتَنَّ بِهِ وَلاَ يُنْقَصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا
"Datang seorang lelaki kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Nabipun memotivasi untuk bersedekah
kepadanya. Maka ada seseorang yang berkata, "Saya bersedekah ini dan
itu". Maka tidak seorangpun yang ada di majelis kecuali bersedekah
terhadap lelaki tersebut baik dengan sedikit maupun banyak. Maka Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Barang siapa yang
"istanna"/merintisi kebaikan lalu diikuti maka baginya pahalanya
secara sempurna dan juga pahala orang-orang yang mengikutinya serta tidak
berkurang pahala mereka sama sekali. Dan barang siapa yang merintis sunnah yang
buruk lalu diikuti maka baginya dosanya secara sempurna dan dosa orang-orang
yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sama sekali" (HR Ibnu
Maajah no 204 dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Kedua : Bisa jadi makna "sanna sunnatan
hasanah" kita artikan dengan menghidupkan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam yang telah mati/ditinggalkan. Hal ini jika kita merujuk pada hadits
yang diriwayatkan oleh sahabat 'Amr bin 'Auf Al-Muzani
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِل بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيِئًا . وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً فَعَمِلَ بِهَا كَانَ عَلَيْهِ أَوْزَارُ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِ مَنْ عَمِلَ بِهَا شَيْئًا
"Barang siapa yang menghidupkan sebuah
sunnah dari sunnahku lalu dikerjakan/diikuti oleh manusia maka baginya seperti
pahala orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala mereka (yang mengikutinya)
sama sekali. Dan barang siapa yang melakukan bid'ah lalu diikuti maka baginya
dosa orang-orang yang mengerjakannya tanpa mengurangi dosa mereka sama
sekali" (HR Ibnu Maajah no 209 dan dishahihkan oleh Al-Albani karena
syawahidnya, karena pada sanad hadits ini ada perawi yang sangat lemah)
Akan tetapi hadits ini masih diperselisihkan
tentang keshahihannya.
Kedua makna di atas ini adalah makna yang tepat
dan sesuai dengan keumuman hadits "Seluruh bid'ah sesat", yang tidak
sesat hanyalah sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Berbeda halnya jika kita mengartikan makna "sanna sunnatan
hasanah" dengan makna berbuat bid'ah hasanah yang tidak pernah dicontohkan
oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka hal ini tidaklah tepat karena menyelisihi
dua hal
Pertama : Bertentangan dengan keumuman sabda Nabi
shallallahu 'alahi wa sallam كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ "Seluruh bid'ah
sesat"
Kedua : Menyelisihi makna yang termaktub dalam
kronologi hadits Jarir bin Abdillah, bahwa yang dimaksud dengan sunnah hasanah
adalah bersedekah. Dan bersedekah bukanlah bid'ah.
KETIGA : Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً "Barang siapa
yang merintis sunnah hasanah/baik" tidaklah mungkin dibawakan pada makna kreasi
amal ibadah yang baru. Karena tidak mungkin diketahui itu baik atau buruk
kecuali dari sisi syari'at. Akal tidak punya peran dalam menilai ibadah hasil
kreasi baik atau buruk.
Terlebih lagi saudara-saudara kita yang suka
berkreasi membuat bid'ah hasanah mengaku bahwa mereka bermadzhab Asyaa'iroh.
Padahal diantara madzhab Asyaa'iroh adalah mereka menolak at-Tahsiin wa
at-Taqbiih al-'Aqliyaini, mereka hanya menerima at-Tahsiin wa at-Taqbiih
as-Syar'iyaini.
Maksudnya yaitu bahwasanya menurut jumhur
Asyaa'iroh bahwasanya suatu perbuatan tidak mungkin diketahui baik atau
buruknya, terpuji atau tercela hanya dengan sekedar akal. Akan tetapi kebaikan
atau keburukan suatu perbuatan hanyalah diketahui melalui syari'at atau dalil
yang datang.
Berikut ini nukilan dari beberapa ulama besar
madzhab Asyaairoh tentang hal ini.
Al-Baaqillaani rahimahullah (wafat 403 H) berkata
:
"…Akan tetapi akal tidak memandang sesuatu
perkarapun baik pada dzatnya yang dikarenakan sifat dan sisi, dan tidak pula
memandang baik sesuatupun yang menyeru
untuk melakukan perkara tersebut. Akal juga tidak menilai buruk sesuatupun pada
dzatnya, dan juga tidak menilai buruk sesuatupun yang menyeru kepada melakukan
perkara tersebut. Ini semua merupakan kebatilan, tidak ada asalnya. Yang wajib
adalah mensifati perbuatan mukallaf (hamba) bahwasanya ia baik atau buruk
hanyalah dengan hukum Allah yang menilainya baik atau buruk" (At-Taqrib wa
al-Irsyaad as-Soghiir, karya al-Baaqilaani, tahqiq : DR Abdul Hamid, Muassasah
ar-Risaalah, cetakan kedua, 1/279)
Al-Baqillaani juga menjelaskan bahwasanya sholat,
haji, dan puasa tidak mungkin diketahui kebaikannya kecuali dari sisi syari'at,
adapun akal tidak mungkin –secara independent- untuk mengetahui kebaikan atau
keburukan perbuatan/amalan seorang hamba. Bahkan menurut beliau, keadilan,
kejujuran, membalas budi, semuanya diketahui kebaikannya dengan dalil syari'at,
bukan dengan akal. Sebaliknya zina, minum khomr, homoseksual, semuanya
diketahui keburukannya dengan dalil sam'i (Al-Qur'an atau Al-Hadits) dan tidak
diketahui dengan sekedar akal. (Lihat At-Taqriib wa al-Irsyaad 1/278-279. Lihat
juga perkataan al-Baqillani dalam kitab beliau yang lain seperti at-Tamhiid fi
ar-Rod 'ala al-Mulhidah al-Mu'atthilah wa ar-Rofidho wa al-Khowaarij wa
al-Qodariyah hal 97 dan 107, dan juga kitab al-Inshoof fi maa yajibu
I'tiqooduhu wa laa yajuuzu al-jahlu bihi, tahqiq Al-Kautsari, AL-Maktabah
al-Azhariyah, cetakan kedua, hal 46-47)
Abu Hamid Al-Gozali rahimahullah berkata :
"Tidak bisa diketahui baiknya
perbuatan-perbuatan (hamba) dan juga keburukannya dengan melalui akal. Akan
tetapi hanya bisa diketahui dengan syari'at yang dinukil. Maka sesuatu yang
baik di sisi kami adalah apa yang dianggap baik oleh syari'at dimana syari'at
memotivasi untuk melakukannya. Dan yang buruk adalah apa yang dinilai buruk
oleh syari'at dengan melarangnya dan mencelanya" (Al-Mankhuul min
Ta'liqoqt al-Ushuul, Tahqiq : DR Muhammad Hasan, Daarul Fikr, cetakan kedua,
hal 8)
Imamul Haromain Al-Juwaini rahimahullah berkata :
لا يدرك بمجرد العقل حسن ولا قبح على مذهب أهل الحق وكيف يتحقق درك الحسن والقبح قبل ورود الشرائع مع ما قدمناه من أنه لا معنى للحسن والقبح سوى ورود الشرائع بالذم والمدح
"Dan tidaklah diketahui kebaikan atau
keburukan hanya dengan berdasar akal, (hal ini) menurut madzhab ahlul haq
(asya'iroh-pen). Bagaimana bisa diketahui kebaikan dan keburukan sebelum
datangnya syari'at?. Tidak ada makna kebaikan dan keburukan selain datangnya
syari'at dengan pencelaan atau pemujian" (At-Talkhiis fi ushuul al-Fiqh,
tahqiq : Abdullah julim An-Nebali, Daarul Basyaair al-Islaamiyah, 1/157)
Jika kebaikan tidak mungkin diketahui dengan akal
menurut mereka, maka lantas bagaimana mereka bisa menilai bahwa bid'ah hasanah
adalah baik??.
Jangankan perkara ibadah, bahkan perkara
mu'amalah menurut asyaa'iroh tidak bisa diketahui baik dan buruknya dengan
akal, harus dengan dalil. Maka bagaimana lagi dengan perkara-perkara ibadah
yang merupakan hasil kreasi??
KEEMPAT : Kalau memang makna مَنْ سَنَّ في الإسلامِ سنَّةً حَسَنَةً adalah membuat kreasi
ibadah baru yang tidak diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
berarti Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah menganjurkan kita untuk sering
berkreasi membuat ibadah baru (bid'ah hasanah). Semakin banyak berkreasi maka
semakin bagus.
Jika perkaranya demikian lantas apa faedahnya
anjuran Nabi tatkala terjadi perselisihan dengan barkata "فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي" (Hendaknya
kalian berpegang teguh dengan sunnahku), "عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ" (Gigitlah sunnahku dengan geraham kalian)
!!!. Apa faedahnya perkataan Nabi ini jika ternyata setiap orang boleh
berkreasi membuat sunnahnya sendiri-sendiri??!!!
Bersambung...
---------------
Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-,
08-11-1433 H / 24 September 2012 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Disalin pada 22 Juni 2013
Untuk lebih lengkapnya (teks arabnya), bisa klik
sumbernya langsung, ada komentar dan diskusi juga di sana.
# suta 2012-09-26
02:37
bagaimana dengan
perkataan "sunnah yang buruk" ustad, kok sunnah ada yang buruk..
# Abu Abdil Muhsin
2012-09-30 00:06
Lafal سَنَّ "sanna" dalam hadits Jarir bin Abdillah radhiallahu 'anhu di
atas adalah maknanya secara bahasa, dan bukan maknanya sunnah Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam.
"Sanna"
secara bahasa arab adalah memulai suatu perbuatan untuk diikuti oleh orang
lain, dan ini mencakup amalan kreasi sendiri atau amalan yang sudah ada akan
tetapi dipelpori kembali.
Karenanya secara
bahasa sanna sunnatan sayyiah bisa mencakup 3 kemungkinan
Pertama : Membuat
bid'ah, karena semua bid'ah sesat dan semua kesesatan di neraka
Kedua : Melakukan
kemaksiatan yang merupakan kreasinya/cipta annya, dan belum pernah dilakukan
oleh orang lain. Hal ini sebagaimana hadits
لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمَا إِلاَّ كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا وَذَلِكَ لأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ
"Tidaklah
sebuah jiwapun yang terbunuh secara zolim kecuali anak Adam yang pertama juga
mendapatkan bagian dari dosa darah yang tertumpah tersebut. Hal ini dikarenakan
dialah yang pertama kali memulai/merinti s pembunuhan" (HR Al-Bukhari no
3335 dan Muslim no 1677)
Ketiga :
Menghidupkan kembali kemaksiatan yang terlupakan/diti nggalkan masyarakat, lalu
akhirnya diikuti masyarakat.
Adapun "Sanna
sunnatan hasanah", secara bahasa juga mencakup 3 kemungkinan sebagaimana
penjelasan yang lalu, akan tetapi kemungkinan ketiga (yaitu bid'ah hasanah)
secara bahasa tidak sejalan dengan dalil, dikarenakan 2 sebab :
- Pertama :
Bertentangan dengan kronolgi hadits yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
sunnah hasanah adalah sedekah, dan sedekah bukanlah hasil kreasi ibadah yang
baru
- Kedua :
Bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam "Seluruh
bid'ah sesat, dan seluruh kesesatan di neraka"