(Catatan Terhadap Tulisan Ustadz Muhammad Idrus
Ramli dan Kiyai Tobari Syadzili)
Telah lalu tulisan saya tentang pengingkaran para
ulama Syafi'iyah terhadap acara ritual tahlilan (silahkan dibaca kembali di
Tahlilan adalah Bid'ah Menurut Madzhab Syafi'i.
Dan hingga saat ini saya masih berharap masukan
dari para ustadz-ustadz ASWAJA yang mengaku bermadzhab Syafi'iyah untuk
mendatangkan nukilan dari ulama syafi'iyah yang mu'tabar dalam madzhab mereka
yang membolehkan acara ritual tahlilan!!!
Jika ada nukilannya, maka harus dilihat manakah
yang menjadi madzhab yang mu'tamad (patokan) dalam madzhab syafi'iyah?
Terlebih-lebih lagi jika tidak didapat nukilan sama sekali!
Imam Malik Membolehkan Tahlilan
Dalam tulisannya di status di facebook yang
berjudul TRADISI KENDURI KEMATIAN, Ustadz Idrus Ramli tidak menyebutkan ulama
madzhab fikih syafi'i yang mendukungnya dalam membolehkan kenduri Tahlilan.
Akan tetapi al-ustadz berpindah ke madzhab maliki dan menyebutkan bahwa madzhab
maliki bahkan Imam Malik bin Anas rahimahullah membolehkan kenduri kematian.
Ustadz Muhammad Idrus Ramli berkata: ((Pendapat
Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, bahwa hidangan kematian yang telah
menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Hal ini
seperti dipaparkan oleh Syaikh Abdullah al-Jurdani, dalam Fath al-‘Allam Syarh
Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218.
Berdasarkan paparan di atas, dapat kita simpulkan
bahwa hukum memberi makan orang-orang yang berta'ziyah masih diperselisihkan di
kalangan ulama salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan
Sunnat. Di kalangan ulama salaf tidak ada yang berpendapat haram)), demikian
perkataan Ustadz Muhamad Idrus Ramli.
Berikut saya nukilkan scan dari kitab Fath
al-'Allaam Syarh Mursyid al-Anaam (3/217-218). Penulis kitab Fath al-'Allaam
Sayyid Muhammad Abdullah Al-Jardaaniy berkata:
"Dan diantara bid'ah yang makruhah adalah
apa yang dilakukan oleh masyarakat yang disebut dengan "kaffaaroh",
yaitu membuat makanan untuk berkumpul sebelum menguburkan mayat atau
setelahnya, juga menyembelih di atas kuburan, dan jum'at-jum'at, emput puluhan
hari, BAHKAN SEMUA INI HUKUMNYA HARAM jika menggunakan harta mayat sementara
sang mayat memiliki hutang, atau di antara ahli warisnya ada yang terhalangi
dari harta tersebut atau sedang tidak hadir. Memang, boleh dilakukan apa yang
sudah merupakan tradisi menurut Imam Malik, seperti juma' dan yang
semisalnya."
Yang sangat disayangkan adalah Ustadz Muhamad
Idrus Ramli menukil tentang madzhab Maliki dari literatur madzhab Syafi'iyah.
Karena kitab Fathul 'Allam adalah kitab fikih Syafi'i, judul lengkapnya adalah:
فَتْحُ العَلاَّمِ بِشَرْحِ مُرْشِدِ الْأنَامِ فِي الْفِقْهِ عَلَى مَذْهَبِ السَّادَةِ الشَّافِعِيَّةِ
Tentunya akan lebih tepat jika seseorang mengutip
pendapat madzhab malikiyah maka ia mengambil dari literatur kitab-kitab madzhab
malikiyah.
Ternyata yang saya dapati dalam kitab-kitab
madzhab maliki, adalah malah sebaliknya, yaitu pelarangan penyediaan makanan di
rumah keluarga mayat dalam rangka mengumpulkan orang-orang. Berikut
perkataan-perkataan para ulama madzhab Malikiyah:
Pertama: Abu Abdillah Al-Maghriby (wafat 954 H),
beliau berkata:
"Adapun kegiatan menghidangkan makanan
yang dilakukan oleh keluarga mayit dan mengumpulkan orang-orang untuk makanan
tersebut, maka hal ini dibenci oleh sekelompok ulama, dan mereka menganggap
perbuatan tersebut termasuk bid'ah, karena tidak ada satupun nukilan dalil
dalam masalah ini, dan momen tersebut bukanlah tempat melaksanakan
walimah/kenduri...
Adapun apabila seseorang menyembelih binatang di
rumahnya kemudian dibagikan kepada orang-orang fakir sebagai shadaqah untuk
mayit, maka tidak mengapa selama hal tersebut tidak dimaksudkan untuk riya,
sum'ah, dan saling unjuk gengsi, serta tidak mengumpulkan masyarakat untuk
memakan sembelihan tersebut." (Mawahibul jalil li Syarhi Mukhtasharil Khalil,
karya Abu Abdullah al-Maghriby, cetakan
Dar 'Aalam al-Kutub, juz 3 hal 37)
Kedua: Muhammad 'Arofah Ad-Dusuuqi rahimahullah
(wafat 1230 H), beliau berkata:
Dan perkataannya ((Dianjurkan menyiapkan makanan
untuk keluarga mayat)): hal itu dikarenakan mereka ditimpa musibah yang
menyibukan mereka. (Hal ini dianjurkan) selama mereka tidak berkumpul untuk
niyahah, yaitu tangisan dengan mengangkat suara. Namun jika tidak (terpenuhi
syarat ini), maka tidak boleh mengirim makanan untuk keluarga mayit karena mereka
adalah pelaku maksiat. Adapun mengumpulkan orang-orang untuk makanan di
keluarga mayat maka itu merupakan bid'ah yang makruh" (Hasyiyah Ad-Dusuuqy
'ala al-Syarh al-Kabir (Beirut: Darul Fikr), karya Muhammad 'Arofah Ad-Dusuuqy, juz I, hal 419)
Ketiga: Muhammad 'Ulayyisy Al-Maaliki (wafat 1299
H), dalam kitabnya Minah Al-Jaliil ia berkata:
"Dianjurkan menyiapkan dan menghadiahkan
makanan kepada keluarga mayit, karena mereka ditimpa musibah yang menyibukan
mereka, sehingga tidak sempat membuat makanan untuk mereka sendiri. (Hal ini
dianjurkan) selama mereka tidak berkumpul untuk menangis dengan mengangkat
suara atau perkataan yang buruk, maka jika demikian, jadilah haram
menghadiahkan makanan kepada mereka, karena berarti membantu mereka melakukan
perbuatan haram.
Adapun berkumpul untuk memakan makanan di rumah
mayat maka ini merupakan bid'ah yang makruh (dibenci), jika diantara ahli
warisnya tidak ada yang masih kecil. Jika (ahli warisnya) ada yang masih kecil,
maka perbuatan ini haram.
Dan termasuk kesesatan yang buruk dan kemungkaran
yang keji, serta kebodohan yang tidak ringan adalah menggantungkan tanah dan
selalu menyediakan kopi di rumah mayit serta berkumpul di rumah tersebut untuk
bercerita-cerita, dan membuang-buang waktu pada perkara-perkara yang dilarang,
disertai pamer dan bangga-banggaan. Mereka tidak memikirkan orang yang mereka
kuburkan di tanah di bawah kaki mereka, yang telah mereka letakan di tempat
yang gelap…. Jika mereka ditanya tentang perbuatan itu, mereka menjawab: Karena
mengikuti tradisi, untuk menjaga gengsi, dan mendapatkan pujian masyarakat...
Maka apakah ada kebaikan pada hal ini?? Sekali-kali tidak, bahkan itu adalah
keburukan dan kerugian..." (Syarh Minahul Jalil 'alaa Mukhtashor 'Allaamah
al-Kholiil, cetakan Maktabah An-Najaah, Trooblus, Libiya, juz 1 hal 300)
DALIL BOLEHNYA TAHLILAN
Berikut ini beberapa dalil yang dijadikan hujjah
oleh ustadz Muhammad Idrus Ramli dan juga kiyai Tobari Syadzili akan bolehnya
tahlilan. Akan tetapi berikut catatan ringan yang berkaitan dengan pendalilan
tersebut.
Pendalilan Pertama
Ustadz Muhammad Idrus Ramli berkata:
"Riwayat dari Khalifah Umar bin al-Khatthab
yang berwasiat agar disediakan makanan bagi orang-orang yang datang melayat.
Al-Imam Ahmad bin Mani' meriwayatkan: Dari Ahnaf bin Qais, berkata:
"Setelah Khalifah Umar ditikam oleh Abu Lu’luah al-Majusi, maka ia
memerintahkan Shuhaib agar menjadi imam sholat selama tiga hari dan
memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari
jenazah Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu
mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang menyelimuti. Lalu Abbas bin
Abdul Mutthalib datang dan berkata: 'Wahai manusia, dulu Rasulullah meninggal,
lalu kita makan dan minum sesudah itu. Lalu Abu Bakar meninggal, kita makan dan
minum sesudahnya. Wahai manusia, makanlah dari makanan ini.' Lalu Abbas
menjamah makanan itu, dan orang-orang pun menjamahnya. (HR. Ibnu Mani')
Al-Ustadz setelah itu berkata "...kesimpulan
bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang
berta'ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat atas perintah Khalifah
Umar sebelum wafat"
Dalil ini juga yang telah dijadikan pegangan oleh
Kiyai Thobari Syadzili sebagaimana bisa dilihat di
(http://jundumuhammad.net/2011/06/07/hukum-selamatan-hari-ke-3-7-40-100-setahun-1000/)
KRITIKAN
Kritikan terhadap pendalilan Al-Ustadz Idrus
Ramli di atas dari dua sisi:
PERTAMA: Tentang Keabsahan Dalil
Al-Ustadz Idrus Ramli tidak menyebutkan dalam
kitab apa riwayat Umar bin Al-Khotthob ini diriwayatkan oleh Ibnu Mani', dan
juga tidak menyebutkan takhriij riwayat ini secara lengkap, terlebih lagi
derajat keabsahan riwayat ini.
'Alaa ad-Diin dalam kitabnya Kanzul 'Ummaal
(13/509 no 37304) –setelah menyebutkan atsar di atas- ia berkata:
(Ibnu Sa'ad, Ibnu Manii', Abu Bakr fi
Al-Ghoilaaniyaat, Ibnu 'Asaakir)
Berikut ini saya cantumkan riwayat atsar ini
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar dalam Al-Ghilaaniyaat (1/302-303
no 315. Dan lihat juga 1/296 no 296)
Ternyata dalam isnadnya ada seorang perawi yang
bernama Ali bin Zaid bin Jud'aan.
Adapun Ibnu 'Asaakir maka beliau meriwayatkan
atsar ini di kitabnya Taarikh Dimasyq (26/373), sebagaimana berikut:
Dan sangat jelas pula bahwa dalam isnadnya
terdapat perawi yang bernama Abdullah bin Zaid bin Jud'aan.
Adapun Ibnu Sa'ad maka beliau meriwayatkan atsar
ini dalam kitabnya At-Tobaqoot Al-Kubroo (4/26-27) sebagaimana berikut ini:
Adapun Ahmad bin Manii' maka beliau membawakan
riwayat ini dalam Musnadnya, sebagaimana dinukil oleh Al-Haafiz Ibnu Hajar
al-'Asqolaani dalam kitabnya Al-Mathoolib al-'Aaliyah Bizawaaid Al-Masaaniid
Ats-Tsamaaniyah 5/328 no 1785 atau pada cetakan lama 1/198)
Beliau berkata:
Pandangan ulama terhadap keabsahan atsar ini:
Atsar ini dibawakan oleh Ahmad bin Abi Bakr
Al-Buushiri dalam kitabnya Ithaaf Al-Khiyaroh Al-Maharoh bi Zawaaid
al-Masaaniid al-'Asyaroh 2/509 no 2000, sbb:
Sangat jelas bahwa Al-Bushiri berkata,
"Diriwayatkan oleh Ahmad bin Manii', dan pada sanadnya ada perawi Ali bin
Zaid bin Jud'aan"
Ali bin Zaid bin Jud'aan adalah perawi yang
dho'iif (lemah) bahkan tertuduh terpengaruh faham tasyayyu' (syi'ah), silahkan
merujuk ke kitab-kitab berikut (Taqriib At-Tahdziib karya Ibnu Hajar hal 401 no
4734, Tahdziibut Tahdziib karya Ibnu Hajar 7/283-284 no 545, Al-Mughniy fi
Ad-Du'afaa karya Adz-Dzahabi 2/447, dan Al-Majruuhiin karya Ibnu Hibbaan
2/103-104)
KEDUA: Tentang Sisi Pendalilan
Al-Ustadz Idrus Ramli ingin berdalil dengan atsar
(riwayat) di atas akan bolehnya acara ritual tahlilan.
Mari kita baca kembali terjemahan riwayat di atas
dengan seksama:
"...Tatkala Umar ditikam, maka Umarpun
memerintahkan Shuhaib untuk mengimami orang-orang dan memberi makanan kepada
mereka selama tiga hari, hingga mereka bersepakat pada seseorang (untuk menjadi
khalfiah baru pengganti Umar-pen). Tatkala mereka meletakan makanan maka
orang-orangpun menahan diri tidak makan, maka
Al-'Abbaas radhiallahu 'anhu berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya
Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- telah wafat, maka kamipun makan dan
minum setelah wafatnya, dan (juga) setelah (wafatnya) Abu Bakar, dan sungguh
makan itu adalah keharusan". Maka Al-'Abbaas pun makan lalu orang-orangpun
ikut makan."
Jika kita perhatikan isi dari kandungan atsar di
atas maka bisa kita ambil kesimpulan:
Pertama: Penyediaan makanan tersebut telah
diperintahkan oleh Umar sebelum beliau meninggal. Berbeda dengan ritual
tahlilan yang penyediaan makanan adalah untuk orang-orang yang melakukan
ta'ziyah.
Kedua: Sangat jelas bahwa tujuan penyediaan
makanan tersebut adalah agar para sahabat rapat dan menentukan pengganti
Khalifah Umar dengan Khalifah yang baru. Sehingga makanan tersebut tidaklah
disediakan dalam rangka acara ritual tahlilan untuk mendoakan Umar bin
Al-Khotthoob.
Ketiga: Adapun penyebutan jumlah tiga hari
tersebut sama sekali bukan karena sebagaimana ritual Tahlilan 3 hari, 7 hari,
40 hari, 100 hari, 1000 hari dst. Akan tetapi hingga para sahabat menentukan
khalifah yang baru, dank arena Umar meninggal tiga hari setelah beliau ditikam.
Keempat: Sama sekali tidak disebutkan tatkala itu
adanya acara mendoakan, dan kumpul-kumpul dalam rangka berdoa, karena tatkala
mereka berkumpul dan makan, Umar masih dalam keadaan hidup.
Kelima: Kapan mereka menahan diri ragu untuk
menyentuh makanan?, yaitu tatkala mereka pulang dari menguburkan Umar.
Sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang lain:
Tatkala mereka kembali pulang dari menguburkan
Umar mereka datang, dan makanan telah dihidangkan. Orang-orangpun menahan diri
karena kesedihan yang mereka rasakan. Maka Abbaspun datang…."
Jadi proses menyediakan makanan sudah disediakan
semenjak Umar masih hidup dan setelah Umar dikubur masih juga disediakan
makanan. Akan tetapi para sahabat enggan untuk memakan karena kesedihan yang
mereka rasakan.
Dan dalam riwayat tersebut sangat jelas bahwa
tujuan memakan makanan itu adalah karena urusan pemerintahan, dan mereka harus
makan untuk terus menyelenggarakan pemilihan khalifah.
Al-'Abbas berkata:
"Wahai manusia, sesungguhnya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat, maka kamipun makan dan minum setelah
beliau (wafat), dan (juga) setelah (wafatnya) Abu Bakar, dan sungguh makan itu
adalah keharusan". Maka Al-'Abbaas pun makan, lalu orang-orangpun ikut
makan."
Karenanya acara memakan makanan tersebut hanya
disebutkan oleh Abbas berkaitan dengan setelah wafatnya para pemimpin yaitu
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abu Bakar, dan bukan berkaitan dengan
acara makan-makan pada setiap ada yang meninggal. Padahal diketahui bersama
bahwasanya terlalu banyak para sahabat yang meninggal sebelum meninggalnya
Umar, baik yang meninggal dalam perang Badr, Uhud, Khondaq, Khoibar, Mu'tah,
dll, demikian pula yang meninggal di zaman Abu Bakar tatkala berperang melawan
pasukan nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzaab. Akan tetapi tidak ada sama sekali
perlaksanaan ritual tahlilan yang mereka lakukan!
Keenam: Yang jelas penyediaan makanan tersebut
bukan dari harta orang yang kematian, akan tetapi dzohirnya adalah atas
perintah Umar sang Khalifah. Jadi dari harta negara, karena untuk urusan
negara, yaitu pemilihan khalifah yang baru.
Akan tetapi bagaimanapun telah jelas bahwa atsar
riwayat di atas adalah ATSAR YANG LEMAH yang tidak bisa dijadikan hujjah dan
dalil. Kalaupun shahih maka pendalilalnnya tidaklah nyambung. Wallahu a'lam bis
Showaaab.
PENDALILAN KEDUA'
Al-Ustadz Muhammad Idrus Ramli berkata:
"Riwayat dari Sayyidah Aisyah, istri Nabi
ketika ada keluarganya meninggal dunia, beliau menghidangkan makanan. Imam
Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ. رواه مسلم
"Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi , bahwa
apabila seseorang dari keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan
berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan
orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah
dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan
bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata:
'Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah bersabda: Talbinah dapat
menenangkan hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.'"
(HR. Muslim [2216])
Dua hadits di atas mengantarkan pada kesimpulan
bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang
berta'ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat atas perintah Khalifah
Umar sebelum wafat, dan dilakukan oleh Sayyidah Aisyah. Hal ini menunjukkan
bahwa tradisi kenduri kematian bukanlah perbuatan yang dilarang dalam agama.
KRITIKAN
Dalil dari hadits Aisyah radhiallahu 'anhaa di
atas sangat tidak diragukan akan keabsahan dan keshahihannya. Karenanya
pembicaraan hanya akan tertuju pada sisi pendalilan dari hadits tersebut untuk
melegalkan acara ritual tahlilan.
Jika kita membaca kembali teks hadits di atas
maka bisa kita simpulkan:
Pertama: Sangat jelas tidak ada penyebutan acara
ritual tahlilan, hanya penyebutan mengenai makanan.
Kedua =: Dalam hadits di atas disebutkan bahwa
yang menyediakan makanan adalah Aisyah, dan yang meninggal adalah keluarga
Aisyah, serta yang diberi makan adalah keluarga Aisyah dan orang-orang
khususnya.
Sangat jelas dalam riwayat di atas:
أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ
"Jika ada yang meninggal dari keluarga
Aisyah, maka para wanita pun berkumpul untuk itu, kemudian mereka bubar kecuali
keluarga Aisyah dan orang-orang khususnya, maka Aisyahpun memerintahkan untuk
membuat makanan talbinah seperiuk kecil."
Bahwa pembicaraan dalam hadits ini, bukanlah
membuat makanan untuk seluruh orang-orang yang hadir, akan tetapi untuk
orang-orang khusus beliau dari kalangan wanita saja.
Selain itu pemberian makanan talbinah ini adalah
setelah para wanita bubaran, sehingga yang tersisa hanyalah keluarga Aisyah
yang bersedih dan orang-orang khusus yang dekat dengan Aisyah.
Ketiga =: Dalam hadits di atas juga, tujuan
pembuatan makanan talbinah tersebut bukanlah dalam rangka bersedekah kepada
para penta'ziah, (karena jelas para penta'ziah wanita telah bubaran), akan
tetapi dalam rangka menghilangkan kesedihan.
Karenanya seluruh para ulama yang menjelaskan
hadits di atas, menyebutkan tentang keutamaan talbinah yang disebutkan oleh
Nabi -shalallahu 'alaihi wa sallam- untuk menghilangkan kesedihan dan
kesusahan. Karenanya talbinah ini tidak hanya diberikan kepada keluarga yang
sedang duka, akan tetapi diberikan juga kepada orang yang sakit.
Keempat: Yang dihidangkan oleh Aisyah adalah hanya
talbinah saja bukan sembarang makanan, karena ada keutamaan talbinah yang bisa
menghilangkan kesedihan. Hal ini semakin mendukung bahwa tujuan Aisyah bukanlah
untuk murni memberi makanan, atau untuk mengenyangkan perut, atau untuk
bersedekah dengan makanan, akan tetapi tujuannya adalah untuk menghilangkan
kesedihan. Karena kalau dalam rangka mengenyangkan para penta'ziah dan
bersedakah, maka lebih utama untuk menghidangkan makanan yang berbobot seperti
kambing guling dan yang lainnya, bukan hanya sekedar semangkuk sop saja yang
tidak mengenyangkan.
PENDALILAN KETIGA
Ustadz Muhammad Idrus Ramli berkata: ((Tradisi
kaum salaf sejak generasi sahabat yang bersedekah makanan selama tujuh hari
kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin
Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd: "Dari Sufyan berkata:
"Thawus berkata: "Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam
kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah
makanan selama hari-hari tersebut."
Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin
Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya' (juz 4 hal.
11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
al-Mathalib al-'Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi
lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).
Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari
berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad
kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi))
Demikianlah perkataan Ustadz Muhamad Idrus Ramli
Pendalilan ini pulalah yang dipaparkan oleh Kiyai
Tobari Syadzili
(http://jundumuhammad.net/2011/06/07/hukum-selamatan-hari-ke-3-7-40-100-setahun-1000/)
KRITIKAN
Ustadz Muhamad Idrus Ramli telah menyebutkan
takhrij atsar ini dengan baik. Akan tetapi perlu pembahasan dari dua sisi, sisi
keabsahan atsar ini, dan sisi kandungan atsar ini.
PERTAMA: Keabsahan Atsar Ini
Atsar ini sebagaimana disebutkan oleh Al-Haafiz
Ibnu Hajar dalam Al-Mathoolib al-'Aaliyah (5/330 no 834), sebagaimana berikut:
Imam Ahmad berkata: Telah menyampaikan kepada
kami Hasyim bin Al-Qoosim, telah menyampaikan kepada kami al-Asyja'iy, dari
Sufyan berkata, Thowus telah berkata: "Sesungguhnya mayat-mayat diuji
dalam kuburan mereka tujuh hari, maka mereka (para salaf-pen) suka untuk
bersedekah makanan atas nama mayat-mayat tersebut pada hari-hari
tersebut."
Dan dari jalan Al-Imam Ahmad bin Hanbal juga
diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam kitabnya Hilyatul Auliyaa' (4/11)
sebagaimana berikut ini:
Seluruh perawi atsar di atas adalah tsiqoh, hanya
saja sanadnya terputus antara Sufyan dan Thoowuus.
Thoowuus bin Kaisaan Al-Yamaani wafat 106 H
(Taqriibut Tahdziib hal 281 no 3309) adapun Sufyaan bin Sa'id bin Masruuq
Ats-Tsauri lahir pada tahun 97 H (lihat Siyar A'laam An-Nubalaa 7/230).
Meskipun Sufyan Ats-Tsaury mendapati zaman Thoowus, hanya saja tidak ada dalil
yang menunjukan bahwa Sufyan pernah mendengar dari Thowus.
Justru yang ada adalah sebaliknya:
Pertama: Tatkala Thowus wafat (tahun 106 H) umur
Sufyan At-Tsauri (yang lahir tahun 97 H) masih sangat kecil yaitu beliau
berumur 9 tahun. Karenanya Sufyan tidak mendapati periwayatan dari Thoosuus bin
Kaisaan.
Kedua: Dalam buku-buku Taroojum Ar-Ruwaat (seperti
Tahdziib al-Kamaal, Tahdziib At-Tahdziib, Siyar A'laam An-Nubalaa, dll) tidak
menyebutkan bahwa Thoowus bin Kaisaan termasuk syuyukh (guru-guru) yang Sufyan
Ats-Tsauri meriwayatkan dari mereka.
Ketiga: Sufyan Ats-Tsauri selalu meriwayatkan
dari Thoowus dengan perantara perawi yang lain. Diantara perawi-perawi
perantara tersebut adalah (1) Habib bin Abi Tsaabit, (2) 'Amr bin Diinaar, (3)
Abdullah bin Thoowuus, (4) Handzolah bin Abi Sufyan, dan (5) Ibrahim bin
Maysaroh.
Keempat: Tidak ditemukan satu riwayatpun yang
dimana Sufyan meriwayatkan langsung dari Thowus.
Kelima: Adapun riwayat di atas maka Sufyan tidak
menggunakan shigoh (عَنْ طاووس) "Dari Thowus", akan tetapi beliau
mengatakan (قَالَ طاووس) "Telah berkata Thoowus". Yang shigoh
periwayatan seperti ini tidak menunjukan dengan jelas bahwa beliau meriwayatkan
dari Thoowus, akan tetapi beliau hanya mengabarkan perkataan Thoowus. Karenanya
sangatlah jelas jika sanad atsar ini terputus antara Sufyan dan Thowus.
KEDUA: Sisi Pendalilan
Kalaupun seandainya atsar ini shahih, maka ada
beberapa perkara yang menjadi permasalahan:
Pertama: Atsar ini dihukumi marfu' mursal, karena
Thoowus adalah seorang tabi'in dan dalam atsar ini ia sedang berbicara tentang
hal yang ghoib, yaitu bahwasanya mayat diuji (ditanya oleh malaikat munkar dan
nakiir) selama tujuh hari. Dan hadits mursal adalah hadits yang lemah.
Ustadz Muhmad Idrus Ramli berkata, ((Akan tetapi
sebagaimana yang diketahui bahwasanya Thowus bukanlah seorang sahabat, akan
tetapi ia hanyalah seorang tabi'in. Sehingga pernyataan beliau tentang bahwa
mayat diuji selama tujuh hari adalah termasuk perkara yang ghaib yang perlu
dibahas lebih lanjut. Memang para ulama hadits menyebutkan bahwa jika seorang
sahabat yang berbicara tentang ilmu ghaib maka diberi hukum marfu' dari Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, karena tidak mungkin seorang sahabat berbicara
tentang ilmu ghaib kecuali berasal dari Nabi shalallallahu 'alaihi wa sallam.
Akan tetapi jika seorang tabi'in yang berbicara?! Para ulama menyebutkan hukumnya
adalah hukum mursal)). Demikian perkataan al-Ustadz.
Tentunya para ulama mengecualikan sahabat yang
dikenal mengambil riwayat Israiliyaat seperti Abdullah bin 'Amr bin al-'Aash,
dan juga sahabat Ibnu Abbas sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama. Jika
para sahabat yang dikenal mengambil dari isroiliyat berbicara tentang hal yang
ghaib, maka riwayatnya itu tidak bias dihukumi mar'fuu' karena ada kemungkinan
mereka mengambil dari Isrooiliyaat.
Thowus termasuk yang sering meriwayatkan dari
Ibnu Abbas.
Kedua: Semakin memperkuat akan hal ini, adalah
bahwasanya seluruh hadits-hadits yang shahih dan marfu' menunjukan bahwa mayat
akan ditanya hanya sekali, yakni tatkala baru dikuburkan.
Ketiga: Kalaupun atsar ini shahih, maka sama
sekali tidak menunjukan adanya acara tahlilan sebagaimana yang dipersangkakan.
Karena atsar ini tidak menunjukan bahwa para salaf mengadakan acara
berkumpul-kumpul selama tujuh hari berturut-turut di rumah keluarga mayat.
Akan tetapi hanya menunjukan akan dianjurkannya
memberi makanan sebagai sedekah atas nama mayat selama tujuh hari. Dan termasuk
perkara yang disepakati bolehnya adalah bersedekah atas nama mayit, karena
pahalanya akan sampai kepada mayit.
Sementara pelaku acara tahlilan, banyak dari
mereka seringnya hanya melakukan tahlilan pada hari ke 3 dan ke 7 lalu 40, 100,
dan seribu, serta tidak melakukan tahlilan 7 hari berturut-turut.
Keempat: Hal ini didukung dengan perkataan Jariir
bin 'Abdillah
كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ
"Kami menganggap perkumpulan di keluarga
mayat dan pembuatan makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk
niyaahah." (Atsar riwayat Ahmad dalam Musnadnya no 6905 dan Ibnu Maajah
dalam sunannya no 1308, dan dishahihkan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmuu'
Syarh Al-Muhadzdzab 5/320 dan Al-Bushiri dalam Az-Zawaaid)
Keenam: Jika memang para salaf selalu melakukan
tahlilan selama tujuh hari berturut-turut, dan juga hari ke 40, 100, dan 1000
hari sebagaimana yang dipahami oleh ustadz Muhammad Idrus Ramli dan juga Kiyai
Syadzily Tobari, maka kenapa kita tidak menemukan sunnah ini disebutkan dalam
kitab-kitab fikih madzhab? apakah para ahli fikih empat madzhab sama sekali
tidak mengetahui sunnah ini?
Ketujuh: Justru kita dapati madzhab Syaifiiyah
lah yang keras menentang acara tahlilan (Silahkan baca kembali Tahlilan Adalah
Bid'ah Menurut Ulama Syafi'i)
***
Diterbitkan
pada 28 April 2013
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Untuk lebih lengkapnya (teks arabnya), bisa klik
sumbernya langsung, ada komentar dan diskusi juga di sana.