(Perihal Makruhnya Sholat di kuburan dan Ritual
Tahlilan)
"Makruh kok dilarang!!??", inilah dalih
yang dianggap dalil oleh sebagian orang yang mengaku bermadzhab syafi'i untuk
melegalisasi perkara-perkara yang dimakruhkan/dibenci oleh para ulama madzhab syafi'iyah.
Tatkala disampaikan kepada sebagian mereka bahwa
ulama madzhab syafi'iyah membenci sholat di kuburan dan membangun masjid di
atas kuburan dalam rangka mencari keberkahan, demikian juga para ulama
syafi'iyah membenci acara kumpul-kumpul di rumah mayat setelah lebih dari tiga
hari, maka dengan mudah mereka akan
menjawab, "Kan
hukumnya hanya dibenci alias makruh, tidak sampai haram. Maka janganlah kalian
melarang!, sungguh aneh kalian kaum
wahabi!"
Lantas dengan dalih ini maka merekapun menjadi semakin
semangat untuk sholat di kuburan atau mencari keberkahan di kuburan!!!
Kita katakan, justru mereka inilah yang ANEH bin
AJAIB, kok perkara-perkara yang makruh/dibenci malah semakin dilestarikan dan
dihidupkan?! Perkara-perkara yang dibenci Allah kok malah dicintai mereka?
Perkara-perkara yang dibenci Allah kok malah
seperti perkara yang sunnah atau bahkan wajib!
Bukankah Makruh Tanzih artinya jika ditinggalkan
mendapat pahala? Kok malah semangat dikerjakan?
Terlebih lagi ternyata tidak semua yang divonis
"MAKRUH" oleh para ulama syaifi'iyah maka artinya jika dikerjakan
tidak mengapa dan jika ditinggalkan dapat pahala.
Bahkan banyak dari perkara yang divonis oleh Imam
As-Syafi'i dengan makruh ternyata maksud beliau adalah HARAM!
Berikut perkara-perkara yang penting diperhatikan
dalam memahami makna "MAKRUH" dalam perkataan para ulama madzhab
Syafi'iyah.
PERTAMA: Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah dalam
kitabnya al-Umm telah mengisyaratkan tentang sebab para ulama terdahulu sering
mengucapkan lafal makruh untuk perkara-perkara yang haram.
Tatkala Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah membahas
tentang permasalahan menjimak tawanan perang wanita padahal masih di negeri
musuh, ia berkata:
قال أبو حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى إذَا كان الْإِمَامُ قد قال من أَصَابَ شيئا فَهُوَ له فَأَصَابَ رَجُلٌ جَارِيَةً لَا يَطَؤُهَا ما كان في دَارِ الْحَرْبِ وقال الْأَوْزَاعِيُّ له أَنْ يَطَأَهَا وَهَذَا حَلَالٌ من اللَّهِ عز وجل ...
قال أبو يُوسُفَ ما أَعْظَمَ قَوْلَ الْأَوْزَاعِيِّ في قَوْلِهِ هذا حَلَالٌ من اللَّهِ أَدْرَكْت مَشَايِخَنَا من أَهْلِ الْعِلْمِ يَكْرَهُونَ في الْفُتْيَا أَنْ يَقُولُوا هذا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ إلَّا ما كان في كِتَابِ اللَّهِ عز وجل بَيِّنًا بِلَا تَفْسِيرٍ
((Abu Hanifah rahimahullah berkata: Jika imam
telah berkata: "Barang siapa yang mendapatkan sesuatu (dari harta musuh
dalam peperangan-pen) maka hal itu miliknya", lalu ada seseorang yang
mendapatkan budak wanita, maka ia tidak menjimaknya selama ia masih berada
dalam negeri lokasi peperangan."
Al-Auzaa'i
berkata, "Boleh baginya untuk menjimaknya, dan ini adalah HALAL
dari Allah Azza wa Jalla..."
Abu Yusuf berkata, "Sungguh berat perkataan
Al-Auzaa'i dalam pernyataannya: (Ini adalah halal dari Allah). Aku telah
bertemu guru-guru kami dari kalangan ulama, mereka membenci tatkala berfatwa
untuk berkata: "ini halal" dan "ini haram" kecuali
perkara-perkara yang jelas dalam Al-Qur'an yang tanpa perlu penafsiran lagi.
حدثنا بن السَّائِبِ عن رَبِيعِ بن خَيْثَمٍ وكان من أَفْضَلِ التَّابِعِينَ أَنَّهُ قال إيَّاكُمْ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ إنَّ اللَّهَ أَحَلَّ هذا أو رَضِيَهُ فَيَقُولَ اللَّهُ له لم أُحِلَّ هذا ولم أَرْضَهُ وَيَقُولَ إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ هذا فَيَقُولَ اللَّهُ كَذَبْت لم أُحَرِّمْ هذا ولم أَنَّهُ عنه وَحَدَّثَنَا بَعْضُ أَصْحَابِنَا عن إبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ أَنَّهُ حَدَّثَ عن أَصْحَابِهِ أَنَّهُمْ كَانُوا إذَا أَفْتَوْا بِشَيْءٍ أو نَهَوْا عنه قالوا هذا مَكْرُوهٌ وَهَذَا لَا بَأْسَ بِهِ فَأَمَّا نَقُولُ هذا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ فما أَعْظَمَ هذا
Telah mengabarkan kepada kemi Ibnu As-Saaib dari
Robii' bin Khoitsam dan ia adalah termasuk tabi'in yang paling mulia bahwasanya
ia berkata: "Hati-hatilah kalian jangan sampai seseorang berkata:
"Allah telah menghalalkan ini atau meridhoinya", lalu Allah berkata
kepadanya: "Aku tidak menghalalkan ini dan aku tidak meridoinya." Ia
berkata : "Allah telah mengharamkan ini", lalu Allah berkata,
"Engkau dusta, aku tidak mengharamkan ini, dan aku tidak
melarangnya."
Dan telah mengabarkan kepada kami sebagian
sahabat kami dari Ibrahim An-Nakho'iy bahwasanya ia menyampaikan dari para
sahabatnya bahwsanya mereka jika memfatwakan bolehnya sesuatu atau melarang
sesuatu maka mereka berkata, "Ini adalah makruh", dan "Ini
hukumnya tidak mengapa." Adapun jika kita mengatakan "ini halal"
dan "ini haram" maka sungguh berat hal ini)) (Al-Umm 7/351)
Penjelasan Imam Asy-Syafi'i rahimahullah di atas
menunjukan bahwa para ulama terdahulu tidak mudah mengatakan sesuatu haram,
kecuali jika keharaman tersebut sudah sangat jelas di Al-Qur'an yang tidak
membutuhkan penjelasan dan penafsiran lagi. Adapun perkara-perkara yang tidak
ada nas "haram" dalam Al-Qur'an maka para ulama terdahulu lebih
menyukai untuk mengatakan bahwa hal itu makruh
KEDUA: Karenanya banyak perkataan
"makruh" yang disebutkan oleh Imam Asy-Syafi'i rahimahullah akan
tetapi maksud beliau adalah haram. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan
oleh Abu Hamid Al-Gozzaali rahimahullah. Beliau berkata:
"Adapun "MAKRUH" adalah lafal yang
mengandung banyak makna di tradisi kalangan para ahli fikih:
Pertama: Mahzur (larangan/haram), maka sering
kali Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata, "Aku memandang ini
makruh" dan maksud beliau adalah "pengharaman".
Kedua: Apa yang dilarang akan tetapi larangan
tanzih, yaitu yang didefiniskan dengan meninggalkannya lebih baik daripada
melakukannya meskipun tidak ada hukuman atas meninggalkannya. Sebagaimana
an-nadbu adalah didefinisikan dengan melakukannya lebih baik daripada
meninggalkannya." (Al-Mustashfa, 1/215-216)
Berikut contoh perkataan Imam As-Syafi'i makruh
akan tetapi maksudnya adalah haram (diambil dari kitab beliau Al-Umm):
Pertama: Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata:
فَكُلُّ من حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ كَرِهْت له
"Semua orang yang bersumpah dengan selain
nama Allah maka aku membencinya." (Al-Umm 7/61)
Tentunya tidak diragukan lagi bahwa bersumpah
dengan nama selain Allah adalah kesyirikan. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
"Barang siapa yang bersumpah selain Allah
maka sungguh ia telah kafir atau berbuat kesyirikan."
Kedua: Imam Asy-Syafii berkata:
وَأَكْرَهُ تخطى رِقَابِ الناس يوم الْجُمُعَةِ قبل دُخُولِ الامام وَبَعْدَهُ لِمَا فيه من الْأَذَى لهم وَسُوءِ الْأَدَبِ
"Dan aku membenci (memandang makruh)
melompati pundak-pundak manusia pada hari jum'at, baik sebelum masuknya imam
maupun sesudahnya, karena hal ini menyakiti mereka dan merupakan adab yang
buruk." (Al-Umm 1/198)
Dan tentunya menyakiti orang lain merupakan perkara
yang haram. Karenanya setelah menyampaikan pernyataan di atas, Imam Asy-Syafi'i
berdalil dengan hadits (آذَيْتَ آذَيْتَ) "Engkau telah menyakiti... engkau telah
menyakiti..."
Ketiga: Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata:
وَأَكْرَهُ النِّيَاحَةَ على الْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ
"Dan aku membenci niahah atas mayat setelah
kematiannya." (al-Umm 1/279)
Padahal jelas bahwa sikap niahah adalah perbuatan
yang haram.
Keempat: Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah
berkata:
وَأَكْرَهُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَعْمَلَ بِنَاءً أو نِجَارَةً أو غَيْرَهُ في كَنَائِسِهِمْ التي لِصَلَوَاتِهِمْ
"Aku memandang makruh bagi seorang muslim
yang membuat bangunan atau bangunan kayu atau yang lainnya di gereja-gerja
mereka yang digunakan untuk sholat mereka." (Al-Umm 4/213)
Tentunya membangunkan gereja untuk ibadah orang
kafir adalah hal yang haram karena ikut berpartisipasi dan tolong menolong
dalam kekufuran mereka.
Kelima: Imam Asy-Syafii berkata:
وَأَكْرَهُ لِلْمُحْرِمِ أَنْ يَخْطُبَ على غَيْرِهِ كما أَكْرَهُ له أَنْ يَخْطُبَ على نَفْسِهِ وَلَا تُفْسِدُ مَعْصِيَتُهُ بِالْخِطْبَةِ إنْكَاحَ الْحَلَالِ
"Dan aku memandang makruh bagi seorang yang
sedang muhrim berkhitbah untuk orang lain sebagaimana aku memandang makruh jika
ia berkhitbah untuk dirinya, dan kemaksiatannya tersebut dengan melakukan
khitbah tidaklah merusak ia menikahkan seorang yang halal (tidak ihrom)."
(Al-Umm 5/78)
Sangatlah jelas al-Imam Asy-Syafi'i menamakan
sikap seorang muhrim yang mengkhitbah sebagai kemaksiatan, padahal sebelumnya
ia menyebutnya sebagai perbuatan makruh. Ini menunujukan makruh yang dimaksud
adalah haram.
KETIGA: Demikian juga banyak pernyataan
"makruh" dari perkataan para ulama syafi'iyah yang masih diperselisihkan
apakah yang dimaksud adalah makruh haram ataukah makruh tanzih. Dan banyak juga
yang dimaksud dengan makruh adalah haram dengan kesepakatan para ulama
syafi'iyah.
Hal ini menunjukan bahwa tidak setiap lafal
"makruh" maka otomatis maknanya bukan haram dan hanya sekedar
dibenci!
Berikut beberapa contoh yang terdapat di kitab
al-Majmuu' Syarh al-Muhadzdzab karya al-Imam An-Nawawi rahimahullah
Pertama: Al-Imam An-Nawawi berkata:
((Penulis (Asy-Syiroozi) rahimahullah berkata:
"Dan makruh hukumnya menggunakan bejana emas dan perak..."
قال المصنف رحمه الله (ويكره استعمال أواني الذهب والفضه....)
وهل يكره كراهة تنزيه أو تحريم: قولان قال في القديم كراهة تنزيه لانه انما نهى عنه للسرف والخيلاء والتشبه بالاعاجم وهذا لا يوجب التحريم وقال في الجديد يكره كراهة تحريم وهو الصحيح لقوله صلى الله عليه وسلم الذى يشرب في آنية الفضة انما يجرجر في جوفه
Dan apakah makruh maksudnya makruh tanzih ataukah
makruh tahrim?, ada dua pendapat. As-Syafi'i berkata dalam pendapat qodimnya
(pendapat lama): Makruh tanzih karena hal ini hanyalah dilarang disebabkan
sikap berlebih-lebihan, kesombongan, da meniru-niru orang-orang 'ajam, dan hal
ini tidak mengharuskan pengharaman.
Dan Asy-Syafi'i berkata dalam pendapat yang baru:
"Makruh haram", dan inilah pendapat yang benar karena sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam "Barang siapa yang minum dari bejana perak
maka sesungguhnya ia sedang mengoyangkan api dalam tubuhnya")) (Al-Majmuu'
1/246)
Kedua: Al-Imam An-Nawawi berkata:
(ويكره أن يصلي الرجل بامرأة اجنبية لما روى أن النبي صلي الله عليه وسلم قال " لا يخلون رجل بامرأة فان ثالثهما الشيطان ") (الشرح) المراد بالكراهة كراهة تحريم هذا إذا خلا بها
((Perkataan Asy-Syiiroozy: "Dan makruh
hukumnya seorang lelaki sholat mengimami seorang wanita yang ajnabiah (bukan
mahromnya) karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah
seorang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita, karena yang ketiganya adalah
syaitan."
Penjelasan: "Yang dimaksud dengan makruh di
sini adalah makruh tahrim, hal ini jika sang lelaki berkhalwat (berdua-duaan)
dengan sang wanita." (Al-Majmuu' 4/277)
Ketiga: Al-Imam An-Nawawi berkata:
أما حكم الوصال فهو مكروه بلا خلاف عندنا وهل هي كراهة تحريم أم تنزيه فيه الوجهان ... (أصحهما) عند أصحابنا وهو ظاهر نص الشافعي كراهة تحريم
"Adapun hukum puasa wishool maka hukumnya
adalah makruh tanpa ada perbedaan pendapat di sisi kami. Apakah makruhnya
makruh haram ataukah makruh tanzih?
Keempat: Al-Imam An-Nawawi berkata tentang hukum
berburu buruan tanah suci kota
Madinah:
وأما نص الشافعي فقال القاضى أبو الطيب هذه الكراهة التى ذكرها الشافعي كراهة تحريم باتفاق اصحابنا
"Adapun pernyatan Imam Asy-Syafi'i maka
Al-Qoodhy Abu At-Thoyyib berkata, "Makruh yang disebutkan oleh Imam
Asy-Syafi'i adalah makruh haram berdasarkan kesepakatan sahabat kita."
(Al-Majmuu' 7/480)
Kelima: Al-Imam An-Nawawi berkata:
قالوا ومراد الشافعي بالكراهة كراهة تحريم (الطريق
"Mereka berkata: Yang dimaksud oleh Imam
Asy-Syafi'i dengan makruh adalah makruh haram." (Al-Majmuu' 7/483)
KEEMPAT: Jika ternyata Imam As-Syafi'i
rahimahullah dan juga para ulama terhadulu sering mengungkapkan haram dengan
makruh, lantas bagaimana cara membendakan antara yang hukumnya makruh tahrim
(haram) dan makruh yang tanziih?
Jawabannya adalah tidak ada jalan lain kecuali
dengan melihat qorinah-qorinah yang ada atau penjelasan para ulama syafi'iyah
tentang maksud dari makruh tersebut (sebagaimana telah lalu)
Sebagai contoh:
Permasalahan Beribadah di kuburan Karena Mencari
Keberkahan
Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata:
sebagaimana perkataan Al-Imam An-Nawawi
Asy-Syafi'i:
"Dan telah sepakat teks-teks dari Imam
As-Syafii dan juga Ash-haab (*para ulama besar madzhab syafiiyah) akan
MAKRUHNYA membangun masjid di atas kuburan, sama saja apakah sang mayat masyhur
dengan kesholehan atau tidak karena keumuman hadits-hadits (*yang melarang).
Ay-Syafii dan para Ash-haab berkata, "Dan dibenci sholat ke arah kuburan,
sama saja apakah sang mayat orang sholeh ataukah tidak".
Al-Haafizh Abu Muusa berkata, "Telah berkata
Al-Imaam Abul Hasan Az-Za'farooni rahimhullah: Dan tidak boleh sholat ke arah
kuburannya, baik untuk mencari barokah atau karena pengagungan, karena
hadits-hadits Nabi, wallahu a'lam." (Demikian perkataan An-Nawawi dalam
Al-Majmuu' syarh Al-Muhadzdzab 5/289)
Silahkan baca kembali
(http://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/187-imam-as-syafii-imam-an-nawawi-dan-imam-ibnu-hajr-al-haitamiy-pengikut-wahabi#comment-3369)
Asy-Syiroozi berkata:
"Dan dibenci dibangunnya masjid di atas
kuburan, karena hadits yang diriwayatkan oleh Abu Martsad Al-Gonawi bahwasanya
Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam melarang sholat ke arah kuburan dan berkata,
"Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai berhala (sesembahan),
karena sesungguhnya bani Israil telah binasa karena mereka menjadi
kuburan-kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid." As-Syafii berkata,
"Dan aku benci diagungkannya seorang makhluq hingga kuburannya dijadikan
masjid, khawatir fitnah atasnya dan atas orang-orang setelahnya."
(Al-Muhadzdzab 1/456, dengan tahqiq: Dr. Muhammad Az-Zuhaili)
Sangatlah jelas bahwa makruh di sini maknanya
adalah haram, karena dalil yang dijadikan sebagai argumen adalah tentang
larangan. Dan inilah yang dipahami oleh Ibnu Hajar Al-Haitami.
Maka Ibnu Hajr Al-Haitami Asy-Syafii rahimahullah
menjawab:
الْمَنْقُولُ الْمُعْتَمَدُ كما جَزَمَ بِهِ النَّوَوِيُّ في شَرْحِ الْمُهَذَّبِ حُرْمَةُ الْبِنَاءِ في الْمَقْبَرَةِ الْمُسَبَّلَةِ فَإِنْ بُنِيَ فيها هُدِمَ وَلَا فَرْقَ في ذلك بين قُبُورِ الصَّالِحِينَ وَالْعُلَمَاءِ وَغَيْرِهِمْ وما في الْخَادِمِ مِمَّا يُخَالِفُ ذلك ضَعِيفٌ لَا يُلْتَفَتُ إلَيْهِ وَكَمْ أَنْكَرَ الْعُلَمَاءُ على بَانِي قُبَّةِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ رضي اللَّهُ عنه وَغَيْرِهَا وَكَفَى بِتَصْرِيحِهِمْ في كُتُبِهِمْ إنْكَارًا وَالْمُرَادُ بِالْمُسَبَّلَةِ كما قَالَهُ الْإِسْنَوِيُّ وَغَيْرُهُ التي اعْتَادَ أَهْلُ الْبَلَدِ الدَّفْنَ فيها أَمَّا الْمَوْقُوفَةُ وَالْمَمْلُوكَةُ بِغَيْرِ إذْنِ مَالِكِهَا فَيَحْرُمُ الْبِنَاءُ فِيهِمَا مُطْلَقًا قَطْعًا إذَا تَقَرَّرَ ذلك فَالْمَقْبَرَةُ التي ذَكَرَهَا السَّائِلُ يَحْرُمُ الْبِنَاءُ فيها وَيُهْدَمُ ما بُنِيَ فيها وَإِنْ كان على صَالِحٍ أو عَالِمٍ فَاعْتَمِدْ ذلك وَلَا تَغْتَرَّ بِمَا يُخَالِفُهُ
"Pendapat yang umum dinukil yang menjadi
patokan -sebagaimana yang ditegaskan (*dipastikan) oleh An-Nawawi dalam
(*Al-Majmuu') syarh Al-Muhadzdzab- adalah diharamkannya membangun di kuburan
yang musabbalah (*yaitu pekuburan umum yang lokasinya adalah milik kaum
muslimin secara umum), maka jika dibangun di atas pekuburan tersebut maka
dihancurkan, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara kuburan sholihin dan
para ulama dengan kuburan selain mereka. Dan pendapat yang terdapat di
al-khoodim (*maksud Ibnu Hajar adalah sebuah kitab karya Az-Zarkasyi, Khodim
Ar-Rofi'i wa Ar-Roudhoh, wallahu a'lam) yang menyelisihi hal ini maka lemah dan
tidak dipandang. Betapa sering para ulama mengingkari para pembangun kubah (*di
kuburan) Imam Asy-Syafii radhiallahu 'anhu dan kubah-kubah yang lain. Dan
cukuplah penegasan para ulama (*tentang dibencinya membangun di atas kuburan)
dalam buku-buku mereka sebagai bentuk pengingkaran. Dan yang dimaksud dengan
musabbalah -sebagaimana yang dikatakan Al-Isnawiy dan yang ulama yang lain-
yaitu lokasi yang biasanya penduduk negeri pekuburan. Adapun pekuburan wakaf
dan pekuburan pribadi tanpa izin pemiliknya maka diharamkan membangun di atas
dua pekuburan tersebut secara mutlaq. Jika telah jelas hal ini maka pekuburan
yang disebutkan oleh penanya maka diharamkan membangun di situ dan haurs
dihancurkan apa yang telah dibangun, meskipun di atas (*kuburan) orang sholeh
atau ulama. Jadikanlah pendapat ini sebagai patokan dan jangan terpedaya dengan
pendapat yang menyelisihinya." (al-Fataawaa al-Fiqhiyah al-Kubroo 2/17).
***
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/427-makruh-kok-dilarang
Diterbitkan pada 30
April 2013
Untuk lebih lengkapnya (teks arabnya), bisa klik
sumbernya langsung, ada komentar dan diskusi juga di sana .