Diterbitkan
pada 31 October 2010
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, semoga
salawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah.
Sungguh
merinding tatkala membaca tulisan-tulisan tentang dimana Allah yang ditulis
oleh Abu Salafy dan pemilik blog salafytobat. Karena tulisan-tulisan mereka
penuh dengan tuduhan-tuduhan serta manipulasi fakta yang ada. Ternyata
mulut-mulut mereka sangatlah kotor. Cercaan dan makian memenuhi tulisan-tulisan
kedua orang ini yang pada hakekatnya mereka berdua takut menunjukkan hakekat
mereka berdua. Begitulah kalau seseorang merasa berdosa dan bersalah takut
ketahuan batang hidungnya. Allahul Musta'aan.
Sesungguhnya
apa yang mereka berdua perjuangkan hanyalah lagu lama yang telah dilantunkan
oleh pendahulu-pendahulu mereka yang bingung sendiri dengan aqidah mereka.
Maka
pada kesempatan kali ini penulis mencoba mengungkapkan manipulasi fakta yang
telah mereka lakukan dan mengungkap kerancuan cara berpikir kedua orang ini.
Dan
tulisan kali ini terkonsentrasikan pada pengakuan Abu Salafi cs bahwasanya
aqidah mereka tentang dimana Allah adalah aqidah yang disuarakan oleh sebagian
sahabat seperti Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu dan juga sebagian ulama
salaf. Sebagaimana pengakuan mereka ini tercantumkan dalam :
http://abusalafy.wordpress.com/2010/04/11/ternyata-tuhan-itu-tidak-di-langit-8/
(dalam sebuah artikel yang berjudul : Ternyata Tuhan itu tidak di langit).
Sebelum
membantah pengakuan mereka tersebut maka kami akan menjelaskan tentang 3 point
yang sangat penting yang merupakan muqoddimah (pengangtar) untuk membuktikan
tipu muslihat mereka. Point-point tersebut adalah :
1. Para ulama Islam telah berkonsensus bahwa
Allah berada di atas.
2. Perkataan para ulama Islam (dari kalangan
sahabat, para tabi'iin, dan yang lainnya) tentang keberadaan Allah di atas
sangatlah banyak.
3. Penjelasan bahwa ternyata sebagian
pembesar dari para ulama Asyaa'iroh juga berpendapat bahwasanya Allah berada di
atas langit.
Ijmak
para ulama tentang keberadaan Allah di atas langit
Keberadaan
Allah di atas langit merupakan konsensus para ulama Islam. Bahkan telah
dinukilkan ijmak mereka oleh banyak para ulama Islam. Diantara mereka:
Pertama : Al-Imam Al-Auzaa'i rahimahullah
(wafat 157 H)
Al-Auzaa'i
berkata : "Ketika kami dahulu –dan para tabi'in masih banyak-kami berkata
: Sesungguhnya Allah di atas arsyNya, dan kita beriman dengan sifat-sifatNya
yang datang dalam sunnah" (Al-Asmaa' was sifaat li Al-Baihaqi 2/304 no 865,
Al-'Uluw li Al-'Aliy Al-'Adziim li Adz-Dzahabi 2/940 no 334, dan sanadnya
dinyatakan Jayyid (baik) oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari
13/406-407)
Kedua : Qutaibah bin Sa'iid (150-240
H)
Beliau
berkata :
هذا
قول الائمة في الإسلام والسنة والجماعة: نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه ، كما قال جل جلاله:الرحمن على العرش استوى
"Ini
perkataan para imam di Islam, Sunnah, dan Jama'ah ; kami mengetahui Robb kami
di langit yang ketujuh di atas 'arsy-Nya, sebagaimana Allah Jalla Jalaaluhu
berfirman : Ar-Rahmaan di atas 'arsy beristiwa" (Al-'Uluw li Al-'Aliy
Al-'Adziim li Adz-Dzahabi 2/1103 no 434)
Adz-Dzahabi
berkata, "Dan Qutaibah -yang merupakan seorang imam dan jujur- telah
menukilkan ijmak tentang permasalahan ini. Qutaibah telah bertemu dengan Malik,
Al-Laits, Hammaad bin Zaid, dan para ulama besar, dan Qutaibah dipanjangkan
umurnya dan para hafidz ramai di depan pintunya" (Al-'Uluw li Al-'Aliy
Al-'Adziim li Adz-Dzahabi 2/1103)
Ketiga : Ibnu Qutaibah (213 H- 276 H)
Beliau
berkata dalam kitabnya Takwiil Mukhtalaf al-Hadiits (tahqiq Muhammad Muhyiiddin
Al-Ashfar, cetakan keduan dari Al-Maktab Al-Islaami) :
"Seluruh
umat –baik arab maupun non arab- mereka berkata bahwasanya Allah di langit
selama mereka dibiarkan di atas fitroh mereka dan tidak dipindahkan dari fitroh
mereka tersebut dengan pengajaran"
(Takwiil Mukhtalafil Hadiits 395)
Keempat : Utsmaan bin Sa'iid
Ad-Daarimi (wafat 280 H)
Beliau
berkata dalam kitab beliau Ar-Rod 'alal Marriisi
"Dan
telah sepakat perkataan kaum muslimin dan orang-orang kafir bahwasanya Allah
berada di langit, dan mereka telah menjelaskan Allah dengan hal itu (yaitu
bahwasanya Allah berada di atas langit -pent) kecuali Bisyr Al-Marrisi yang
sesat dan para sahabatnya. Bahkan anak-anak yang belum dewasa merekapun mengetahui
hal ini, jika seorang anak kecil tersusahkan dengan sesuatu perkara maka ia
mengangkat kedua tangannya ke Robb-Nya berdoa kepadaNya di langit, dan tidak
mengarahkan tangannya ke arah selain langit. Maka setiap orang lebih menetahui
tentang Allah dan dimana Allah daripada Jahmiyah" (Rod Ad-Darimi Utsmaan
bin Sa'iid alaa Bisyr Al-Mariisi
Al-'Aniid Hal 25)
Kelima : Zakariyaa As-Saaji (wafat
tahun 307 H)
Beliau
berkata :
القول في السنة التي رأيت عليها أصحابنا أهل الحديث الذين لقيناهم أن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء".
"Perkataan
tentang sunnah yang aku lihat merupakan perkataan para sahabat kami –dari
kalangan Ahlul Hadits yang kami jumpai- bahwasanya Allah ta'aala di atas
'arsyNya di langit, Ia dekat dengan makhluknya sesuai dengan yang
dikehendakiNya"
(Al-'Uluw
li Al-'Aliy Al-'Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 no 482)
Adz-Dzahabi
berkata : As-Saji adalah syaikh dan hafizhnya kota Al-Bashroh dan Abul Hasan
Al-Asy'ari mengambil ilmu hadits dan aqidah Ahlus Sunnah darinya (Al-'Uluw li Al-'Aliy
Al-'Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 dan Ijtimaa' Al-Juyuusy Al-Islaamiyah li Ibnil
Qoyyim hal 185)
Keenam : Abu Bakr Muhammad bin Ishaq
bin Khuzaimah (223 H-311 H)
Beliau
berkata dalam kitabnya At-Tauhiid 1/254
"Bab
: Penyebutan penjelasan bahwasanya Allah Azza wa Jalla di langit:
Sebagaimana
Allah kabarkan kepada kita dalam Al-Qur'an dan melalui lisan NabiNya –'alaihis
salaam- dan sebagaimana hal ini dipahami pada fitroh kaum muslimin, dari
kalangan para ulama mereka dan orang-orang jahilnya mereka, orang-orang merdeka
dan budak-budak mereka, para lelaki dan para wanita, orang-orang dewasa dan
anak-anak kecil mereka. Seluruh orang yang berdoa kepada Allah jalla wa 'alaa
hanyalah mengangkat kepalanya ke langit dan menjulurkan kedua tangannya kepada
Allah, ke arah atas dan bukan kearah bawah"
Ketujuh : Al-Imam Ibnu Baththoh (304
H-387 H)
Beliau
berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah 'an Syarii'at Al-Firqoh An-Naajiyah :
"باب الإيمان بأن الله على عرشه بائن من خلقه وعلمه محيط بخلقه"
أجمع المسلمون من الصحابة والتابعين وجميع أهل العلم من المؤمنين أن الله تبارك وتعالى على عرشه فوق سمواته بائن من خلقه وعلمه محيط بجميع خلقه
ولا
يأبى ذلك ولا ينكره إلا من انتحل مذاهب الحلولية وهم قوم زاغت قلوبهم واستهوتهم الشياطين فمرقوا من الدين وقالوا : إن الله ذاته لا يخلو منه مكان". انتهى
“Bab
Beriman Bahwa Allah di atas ‘Arsy, ‘Arsy adalah makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya
meliputi Makhluk-Nya”
Kaum
muslimin dari para sahabat, tabiin dan seluruh ulama kaum mukminin telah bersepakat bahwa Allah -tabaraka wa ta’ala-
di atas ‘arsy-Nya di atas langit-langit-Nya yang mana ‘arsy merupakan
Makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi seluruh makhluknya. Tidaklah menolak dan
mengingkari hal ini kecuali penganut aliran hululiyah, mereka itu adalah kaum
yang hatinya telah melenceng dan setan telah menarik mereka sehingga mereka
keluar dari agama, mereka mengatakan, “Sesungguhnya Dzat Allah Berada
dimana-mana.” (al-Ibaanah 3/136)
Adz
Dzahabi berkata, “Ibnu Baththoh termasuk Pembesarnya Para Imam, Seorang yang
Zuhud, Faqih, pengikut sunnah.” (Al-'uluw li Adz-Dzahabi 2/1284)
Kedelapan: Imam Abu Umar
At-Tholamanki Al Andalusi (339-429H)
Beliau
berkata di dalam kitabnya: Al Wushul ila Ma’rifatil Ushul
"
أجمع المسلمون من أهل السنة على أن معنى قوله : “وهو معكم أينما كنتم” . ونحو ذلك من القرآن : أنه علمه ، وأن الله تعالى فوق السموات بذاتـه مستو على عرشه كيف شاء"
وقال: قال أهل السنة في قوله :الرحمن على العرش استوى:إن الاستواء من الله على عرشه على الحقيقة لا على المجاز.".
"Kaum
Muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah telah bersepakat (ijmak) bahwa makna
firman-Nya: “Dan Dia bersama kalian di manapun kalian berada” (QS. Al Hadid 4)
dan ayat-ayat Al Qur’an yg semisal itu adalah Ilmu-Nya. Allah ta’ala di atas langit dengan Dzat-Nya, ber-istiwa di atas
‘arsy-Nya sesuai kehendak-Nya”
Beliau
juga mengatakan, “Ahlussunah berkata tentang firman Allah, “Tuhan yang Maha
Pemurah, yang ber-istiwa di atas 'Arsy” (QS Thoohaa : 5), bahwasanya
ber-istiwa-nya Allah di atas Arsy adalah benar adanya bukan majaz"
(Sebagaimana dinukil oleh Ad-Dzahabi dalam Al-'Uluw 2/1315)
Imam
Adz Dzahabi berkata, “At-Tholamanki termasuk pembesar para Huffazh dan para imam dari para qurroo` di
Andalusia" (Al-'Uluw 2/1315)
Kesembilan: Syaikhul Islam Abu Utsman
Ash Shabuni (372 - 449H)
Beliau
berkata, “Para Ahli Hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah di atas langit
yang tujuh di atas ‘arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Al Kitab(Al Qur’an)….
Para
ulama dan pemuka umat dari generasi salaf tidak berselisih bahwasanya Allah di
atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya.” (Aqidatus Salaf wa
Ashaabil hadiits hal 44)
Adz
Dzahabi berkata, “Syaikhul Islam Ash Shabuni adalah seorang yang faqih, ahli
hadits, dan sufi pemberi wejangan. Beliau adalah Syaikhnya kota Naisaburi di
zamannya" (Al-'Uluw 2/1317)
Kesepuluh : Imam Abu Nashr
As-Sijzi (meninggal pada tahun 444 H)
Berkata
Adz-Dzahabi (Siyar A'laam An-Nubalaa' 17/656) :
Berkata
Abu Nashr As-Sijzi di kitab al-Ibaanah, “Adapun para imam kita seperti Sufyan
Ats Tsauri, Malik, Sufyan Ibnu Uyainah, Hammaad bin Salamah, Hammaad bin Zaid,
Abdullah bin Mubaarak, Fudhoil Ibnu ‘Iyyaadh, Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin
Ibrahim al Handzoli bersepakat (ijmak) bahwa Allah -Yang Maha Suci- dengan
Dzat-Nya berada di atas ‘Arsy dan ilmu-Nya meliputi setiap ruang, dan Dia di
atas ‘arsy kelak akan dilihat pada hari kiamat oleh pandangan, Dia akan turun
ke langit dunia, Dia murka dan ridho dan berbicara sesuai dengan
kehendak-Nya"
Adz-Dzahabi
juga menukil perkataan ini dalam Al-'Uluw 2/1321
Kesebelas : Imam Abu Nu’aim
-Pengarang Kitab al Hilyah-(336-430 H)
Beliau
berkata di kitabnya al I’tiqod,
“Jalan
kami adalah jalannya para salaf yaitu pengikut al Kitab dan As Sunnah serta
ijmak ummat. Di antara hal-hal yang menjadi keyakinan mereka adalah Allah
senantiasa Maha Sempurna dengan seluruh
sifat-Nya yang qodiimah…
dan
mereka menyatakan dan menetapkan hadits-hadits yang telah valid (yang
menyebutkan) tentang ‘arsy dan istiwa`nya Allah diatasnya tanpa melakukan
takyif (membagaimanakan) dan tamtsil (memisalkan Allah dengan makhluk), Allah
terpisah dengan makhluk-Nya dan para makhluk terpisah dari-Nya, Allah tidak
menempati mereka serta tidak bercampur dengan mereka dan Dia ber-istiwa di atas
‘arsy-Nya di langit bukan di bumi.” (Al-'Uluw karya Adz-Dzahabi 2/1305 atau
mukhtashor Al-'Uluw 261)
Adz
Dzahabi berkata, “Beliau (Imam Abu Nu’aim) telah menukil adanya ijmak tentang
perkataan ini -dan segala puji hanya bagi Allah-, beliau adalah hafizhnya
orang-orang 'ajam (non Arab) di zamannya tanpa ada perselisihan. Beliau telah
mengumpulkan antara ilmu riwayat dan ilmu diroyah. Ibnu Asaakir al Haafizh
menyebutkan bahwa dia termasuk sahabat dari Abu Hasan al Asy’ari.” (Al-'Uluw
2/1306)
Kedua belas: Imam Abu Zur’ah Ar Raazi
(meninggal tahun 264H) dan Imam Abu Hatim (meninggal tahun 277H)
Berkata
Ibnu Abi Hatim :
"Aku
bertanya pada bapakku (Abu Hatim-pent) dan Abu Zur’ah tentang madzhab-madzhab
ahlussunnah pada perkara ushuluddin dan ulama di seluruh penjuru negeri yang
beliau jumpai serta apa yang beliau berdua yakini tentang hal tersebut? Beliau
berdua mengatakan, “Kami dapati seluruh ulama di penjuru negeri baik di hijaz,
irak, syam maupun yaman berkeyakinan bahwa:
Iman
itu berupa perkataan dan amalan, bertambah dan berkurang...
Allah ‘azza wa jalla di atas
‘arsy-Nya terpisah dari
makhluk-Nya sebagaimana Dia telah mensifati
diri-Nya di dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam tanpa menanyakan bagaimananya, Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, “Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan
melihat”(Syarh Ushuul I'tiqood Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah karya Al-Laalikaai
1/198)
Ibnu
Abi Haatim juga berkata berkata,
“Aku
mendengar bapakku berkata, ciri ahli bid’ah adalah memfitnah ahli atsar, dan
ciri orang zindiq adalah mereka menggelari ahlussunnah dengan hasyawiyah dengan
maksud untuk membatalkan atsar, ciri jahmiyah adalah mereka menamai ahlussunnah
dengan musyabbihah, dan ciri rafidhoh adalah mereka menamai ahlussunnah dengan
naasibah.” (selesai)
Syarh
Ushul I’tiqod Ahlissunnah wal jama’ah lil imam al Laalikai 1/200-201
Ketiga
belas : Imam Ibnu Abdil Bar (meninggal tahun 463H)
Beliau
berkata dikitabnya at Tamhiid setelah menyebutkan hadits nuzul (turunnya Allah
ke langit dunia, pent),
"Pada
hadits tersebut terdapat dalil bahwa Allah berada di atas yaitu di atas
‘arsy-Nya, di atas langit yang tujuh, hal ini sebagaimana dikatakan oleh para
jama’ah. Hal ini merupakan hujjah bagi mereka terhadap mu’tazilah dan jahmiyah
yang mengatakan bahwa Allah ‘azza wa jalla berada dimana-mana bukan di atas
‘arsy" (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil
Barr 2/8)
Kemudian
beliau menyebutkan dalil-dalil terhadap hal ini, di antaranya, beliau berkata :
"Diantara
dalil bahwa Allah di atas langit yang tujuh adalah bahwasanya para ahli tauhid
seluruhnya baik orang arab maupun selain arab jika mereka ditimpa kesusahan
atau kesempitan mereka mendongakkan wajah mereka ke atas, mereka meminta
pertolongan Rabb mereka tabaaraka wa ta’ala…"" (Fathul Barr fi at
Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/12)
Beliau
juga berkata :
"Dan
kaum muslimin di setiap masa masih senantiasa mengangkat wajah mereka dan
tangan mereka ke langit jika mereka ditimpa kesempitan, berharap agar Allah
menghilangkan kesempitan tersebut" (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li
at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/47)
Para
pembaca yang budiman, demikianlah jelas bagi kita ijmak salaf yang disampaikan
oleh para ulama mutaqodimin, sepuluh lebih ulama mutqoddimin yang menyebutkan
ijmak para salaf
Perkataan
salaf dan para ulama mutaqoddimin yang menunjukan bahwa Allah berada di atas
langit
Adapun
perkataan para ulama yang menunjukan bahwasanya Allah berada di atas langit
maka sangatlah banyak. Perkataan mereka telah dikumpulkan oleh Al-Imam
Al-Muhaddits Ad-Dzahabi As-Syafii dalam kitabnya Al-'Uluw li Al-'Aliyyi
Al-'Adziim (bisa di download di http://www.waqfeya.com/book.php?bid=2414 dan
http://www.waqfeya.com/book.php?bid=2413 dua cetakan dengan dua pentahqiq yang
berbeda) demikian juga kitab Al-Ijtimaa' al-Juyuusy Al-islaamiyyah karya Ibnul
Qoyyim (bisa di download di http://www.waqfeya.com/book.php?bid=2835). Sungguh
dua kitab ini telah mengumpulkan banyak sekali perkataan sahabat, para salaf,
dan para ulama dari abad yang berbeda-beda dan dari madzhab yang berbeda-beda.
Oleh
karenanya tidak ada seorang ulama salafpun –apalagi para sahabat- yang
perkataannya menunjukan bahwasanya Allah tidak berada di atas.
Perkataan
para ulama Asyaa'iroh yang mengakui Allah di atas langit
Ternyata
kita dapati bahwasanya sebagian pembesar madzhab Asyaa'iroh juga mengakui
keberadaan Allah di atas langit. Sebagaimana hal ini telah ditegaskan oleh Imam
Al-Baihaqi dalam kitabnya Al-Asmaa' wa As-Sifaat (2/308)
Beliau
berkata, "Dan atsar dari salaf seperti hal ini (yaitu bahwasanya Allah
berisitwa di atas 'arsy -pent) banyak. Dan madzhab As-Syafii radhiallahu 'anhu
menunjukan di atas jalan ini, dan ini madzhab Ahmad bin Hanbal…Dan Abu Hasan
Ali bin Ismaa'iil Al-'Asy'ari berpendapat bahwasanya Allah melakukan suatu
fi'il (perbuatan) di 'arsy yang Allah namakan istiwaa'… Dan Abul Hasan Ali bin
Muhammad bin Mahdi At-Thobari dan juga para ahli nadzor bahwasanya Allah
ta'aalaa di langit di atas segala sesuatu, ber-istiwa di atas 'arsynya, yaitu
maknanya Allah di atas 'arsy. Dan makna istiwaa' adalah tinggi di atas
sebagaimana jika dikatakan "aku beristiwa' di atas hewan", "aku
beristiwa di atas atap", maknanya yaitu aku tinggi di atasnya,
"Matahari beristiwa di atas kepalaku"
Dari
penjelasan Al-Imam Al-Baihaqi di atas nampak ;
- Banyaknya atsar dari salaf tentang Allah di
atas.
- Ini merupakan madzhab As-Syafi'i dan madzhab
Imam Ahmad bin Hanbal
- Ini merupakan madzhab sebagian pembesar
Asyaa'iroh seperti Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abul Hasan At-Thobari.
Pertama
: Imam Abul Hasan Al-Asy'ariy rahimahullah
Merupakan
perkara yang mengherankan bahwasanya
diantara para ulama yang menyebutkan konsensus salaf tersebut adalah Imam besar
kaum Asyaa'iroh yaitu Imam Abul Hasan Al-'Asy'ari yang hidup di abad ke empat
Hijriah. Dialah nenek moyang mereka, guru pertama mereka, sehingga merekapun
berintisab (berafiliasi) kepada nama beliau menjadi firqoh Asyaa'iroh.
Berkata
Imam Abul Hasan Al-'Asy'ari rahimahullah dalam kitabnya Risaalah ila Ahli
Ats-Tsagr:
Ijmak
kesembilan :
Dan
mereka (para salaf) berkonsensus (ijmak) … bahwasanya Allah ta'aala di atas
langit, diatas arsyNya bukan di bumi. Hal ini telah ditunjukan oleh firman
Allah
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ
Apakah
kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir
balikkan bumi bersama kamu (QS Al-Mulk : 16).
Dan
Allah berfirman
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ
وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
kepada-Nyalah
naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS
Faathir : 10).
Dan
Allah berfirman
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى
“(Yaitu)
Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5)
Dan
bukanlah istiwaa'nya di atas arsy maknanya istiilaa' (menguasai) sebagaimana
yang dikatakan oleh qodariah (Mu'tazilah-pent), karena Allah Azza wa Jalla
selalu menguasai segala sesuatu. Dan Allah mengetahui yang tersembunyi dan yang
lebih samar dari yang tersembunyi, tidak ada sesuatupun di langit maupun di
bumi yang tersembunyi bagi Allah, hingga seakan-akan Allah senantiasa hadir
bersama segala sesuatu. Hal ini telah ditunjukan oleh Allah Azza wa Jalla
dengan firmanNya
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
Dia
bersama kamu dimana saja kamu berada (QS Al-Hadiid : 4)
Para
ahlul ilmi menafsirkan hal ini dengan ta'wil yaitu bahwasanya ilmu Allah
meliputi mereka di mana saja mereka berada" (Risaalah ilaa Ahli Ats-Tsagr
231-234)
Ini
merupakan hikayat kumpulan perkataan Ahlul Hadits dan Ahlus Sunnah
….
Dan
bahwasanya Allah –subhaanahu- diatas arsyNya, sebagaimana Allah berfirman
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى
“(Yaitu)
Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5)
Dan
Allah memiliki dua tangan tanpa ditanyakan bagaimananya… dan Allah memiliki
wajah… (Maqoolaatul Islaamiyiin 1/345)
Kedua
: Abu Bakr Al-Baaqillaani (wafat 403 H)
Beliau
berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah
"Jika
dikatakan : Apakah kalian mengatakan bahwa Alla berada dimana-mana?, dikatakan
: Kita berlindung kepada Allah (dari perkataan ini-pent). Akan tetapi Allah
beristiwa di atas 'arsy-Nya sebagaimana Allah kabarkan dalam kitabNya
"ArRahman di atas 'arsy
beristiwaa", dan Allah berfirman "Kepada-Nyalah naik
perkatan-perkataan yang baik", dan Allah berfirman "Apakah kalian
merasa aman dari Allah yang berada di atas?"
Beliau
berkata, "Kalau seandainya Allah di mana-mana maka Allah akan berada di
perut manusia, di mulutnya, …
(Sebagaimana
dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-'Uluw 2/1298 (Mukhtsor Al-'Uluw
258))
Ketiga
: Imam Al-Baihaqi (wafat 458 H)
Beliau
berkata dalam kitabnyaAl-I'tiqood wal Hidaayah ilaa Sabiil Ar-Rosyaad, tahqiq :
Abul 'Ainain, Daar Al-Fadhiilah, cetakan pertama bab Al-Qoul fi Al-Istiwaaa' (hal 116)
"Dan
maksud Allah adalah Allah di atas langit, sebagaimana firmanNya, "Dan
sungguh aku akan menyalib kalian di pangkal korma", yaitu di atas pangkal
korma. Dan Allah berfirman "Berjalanlah kalian di bumi", maksudnya
adalah di atas muka bumi. Dan setiap yang di atas maka dia adalah samaa'. Dan
'Arsy adalah yang tertinggi dari benda-benda yang di atas. Maka makna ayat
–wallahu a'lam- adalah "Apakah kalian merasa aman dari Dzat yang berada di
atas 'arsy?"
Oleh
karenanya ana meminta Abu Abu Salafy Al-Majhuul dan pemilik bloig salafytobat
untuk mendatangkan satu riwayat saja dari para sahabat atau para salaf dengan
sanad yang shohih bahwasanya mereka mengingkari Allah berada di atas langit.
Kalau mereka berdua tidak mampu mendatangkan satu riwayatpun maka ketahuilah
bahwasanya aqidah yang mereka bawa hanyalah aqidah karangan mereka berdua
sendiri dan merupakan wahyu dari syaitan.
Tipu
muslihat Abu Salafy
Dari
sini kita akan membongkar kedustaan Abu salafy yang berusaha menggambarkan
kepada masa bahwasanya aqidah batilnya tersebut juga diyakini oleh para
sahabat.
Abu
Salafi berkata :
(http://abusalafy.wordpress.com/2010/04/11/ternyata-tuhan-itu-tidak-di-langit-8/)
"
Pegenasan
Imam Ali as.
Tidak
seorang pun meragukan kedalaman dan kelurusan akidah dan pemahaman Imam Ali ibn
Abi Thalib (karramalahu wajhahu/semoga Alllah senantiasa memuliakan wajag
beliau), sehingga beliau digelari Nabi sebagai pintu kota ilmu kebanian dan
kerasulan, dan kerenanya para sahabat mempercayakannya untuk menjelaskan
berbagai masalah rumit tentang akidah ketuhanan. Imam Ali ra. berkata:
كان
ولا مكان، وهو الان على كان.
”Adalah
Allah, tiada tempat bagi-Nya, dan Dia sekarang tetap seperti semula.”
Beliau
ra. juga berkata:
إن
الله تعالى خلق العرش إظهارًا لقدرته لا مكانا لذاته.
”Sesungguhnya
Allah – Maha Tinggi- menciptakan Arsy untuk emnampakkan kekuasaan-Nya bukan
sebagai tempat untuk Dzat-Nya.”[ Al Farqu baina al Firaq:333]
Beliau
juga berkata:
من
زعم أن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود.
”Barang
siapaa menganggap bahwa Tuhan kita terbatas/mahdûd[2] maka ia telah jahil/tidak
mengenal Tuhan Sang Pencipta.”[ Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73,
ketika menyebut sejarah Ali ibn Abi Thalib ra.]
)) -demikian perkataan Abu Salafy-.
Ini
merupakan kedustaan Abu Salafy terhadap Ali Bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu.
Hal ini akan jelas dari beberapa sisi:
Pertama
: Sesungguhnya atsar ini dibawakan oleh orang-orang Syi'ah Rofidoh dalam
buku-buku mereka tanpa ada sanad sama sekali. Diantaranya dalam kitab mereka
Al-Kaafi (karya Al-Kulaini). Al-Kulaini berkata:
وَ
رُوِيَ أَنَّهُ سُئِلَ ( عليه السلام ) أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ سَمَاءً وَ أَرْضاً فَقَالَ (
عليه السلام ) أَيْنَ سُؤَالٌ عَنْ مَكَانٍ وَ كَانَ اللَّهُ وَ لَا مَكَانَ
Dan
diriwayatkan bahwasanya Ali bin Abi Tholib 'alaihis salam ditanya : Dimanakah
Robb kami sebelum menciptakan langit dan bumi?, maka Ali bin Abi Tholib
'alaihis salaam berkata, "Mana pertanyaan tentang tempat?! padahal Allah
dahulu tanpa ada tempat (Al-Kaafi 1/90 dalam بَابُ الْكَوْنِ
وَ الْمَكَانِ)
Ternyata
memang aqidah orang-orang Asyaa'iroh semisal Abu salafy dan pemilik blog
salafytobat cocok dengan aqidah orang-orang Syi'ah Rofidhoh dalam masalah
dimana Allah. Karena memang orang-orang Rofidhoh beraqidah mu'tazilah, dan
Asya'iroh dalam masalah dimana Allah sepakat dengan Mu'tazilah (padahal
Mu'tazilah adalah musuh bebuyutan Asya'iroh, sebagaimana nanti akan datang
penjelasannya).
Atsar
ini dibawakan oleh Al-Kulaini dengan tanpa sanad, bahkan dengan sighoh
"Diriwayatkan" yang menunjukan lemahnya riwayat ini.
Kedua
: Demikian juga yang dinukil oleh Abu Salafy dari kitab Al-Farqu bainal Firoq
karya Abdul Qohir Al-Baghdadi adalah riwayat tanpa sanad sama sekali.
Abdul
Qohir Al-Baghdadi berkata :
"Mereka
telah bersepakat bahwasanya Allah tidak diliputi tempat dan tidak berlaku waktu
baginya, berbeda dengan perkataan orang-orang yang menyangka bahwasanya Allah
menyetuh 'Arsy-Nya dari kalangan Hasyimiyyah dan Karroomiyyah. Amiirul Mukminin
Ali –radhiollahu 'anhu- berkata : Sesungguhnya Allah telah menciptakan Al-'Arsy
untuk menunjukan kekuasaanNya dan bukan untuk sebagai tempat yang meliputi
dzatNya. Beliau berkata juga : Allah dahulu (sendirian) tanpa ada tempat, dan
Allah sekarang sebagaimana Dia dulu" (Al-Farqu baynal Firoq hal 33)
Para
pembaca yang budiman, ternyata riwayat-riwayat dari Ali bin Abi Tholib yang
dibawakan oleh Abdul Qohir Al-baghdadi tanpa ada sanad sama sekali. Dan hal ini
tentunya diketahui oleh Abu Salafy cs, akan tetapi mereka tetap saja
menampilkan riwayat-riwayat dusta dan tanpa sanad ini demi untuk mendukung
aqidah mereka yang bathil
Ketiga
: Selain riwayat-riwayat tersebut tanpa sanad ternyata Abdul Qohir Al-Baghdadi
sama sekali tidak dikenal sebagai seorang Muhaddits, namun demikianlah Abu
Salafy cs tetap aja nekat mengambil riwayat dari orang yang tidak dikenal
sebagai Muhaddits
Keempat
: Abdul Qohir Al-Baghadadi tentunya lebih rendah kedudukannya daripada
kedudukan super gurunya yaitu Abul Hasan Al-'Asy'ari
Kelima
: Kalau seandainya riwayat-riwayat di atas shahih maka tidak menunjukan bahwasanya
Ali bin Abi Tholib mengingkari adanya Allah di atas langit. Paling banter dalam
riwayat-riwayat di atas beliau –radhialllahu 'anhu- hanyalah mengingkari
bahwasanya Allah diliputi oleh tempat, dan pernyataan tersebut adalah
pernyataan yang benar.
Ahlus
sunnah tidak mengatakan bahwa Allah berada di suatu tempat yang meliputi Allah,
akan tetapi mereka mengatakan bahwasanya Allah berada di atas, yaitu di arah
atas.
Jangan
disamakan antara tempat dan arah
Adapun
penjelasan maksud dari aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwasanya Allah berada
di atas, maka melalui point-point berikut ini:
1- Ketinggian itu ada dua, ada ketinggian
relatif dan ada ketinggian mutlaq. Adapun ketinggan relatif maka sebagaimana
bila kita katakana bahwasanya lantai empat lebih tinggi daripada lantai satu,
akan tetapi hal ini relatif, karena ternyata lantai empat lebih rendah daripada
lantai enam.
2- Adapun ketinggian mutlak adalah ketinggian
kearah atas. Semua manusia di atas muka bumi ini bersepakat bahwasanya semakin
sesuatu ke arah atas maka semakin tinggilah sesuatu tersebut. Maka jadilah
poros bumi sebagai titik nol pusat kerendahan, dan semakin ke arah atas (yaitu
ke arah langit) maka berarti semakin kearah yang tinggi. Oleh karenanya sering
juga kita mendengar perkataan para fisikawan "Tinggi gunung ini dari
permukaan tanah…. atau dari permukaan air laut..". Oleh karenanya kita
harus paham bahwasanya langit senantiasa letaknya di atas. Taruhlah jika kita
sedang berada di bagian bumi bagian selatan, maka langit pada bagian bumi
selatan adalah di atas kita, demikian juga langit pada bagian bumi utara juga
berada di atas kita, demikian juga langit pada bagian bumi barat dan langit
pada bagian bumi timur.
3- Apa yang ada dalam alam wujud ini hanyalah
ada dua, Kholiq (yiatu Allah) dan alam semesta (yaitu seluruh makhluk). Dan
bagian alam yang paling tinggi adalah langit yang ke tujuh, dan Allah berada di
atas langit yang ketujuh, yaitu Allah berada di luar alam. Janganlah di
bayangkan bahwa setelah langit yang ke tujuh ada ruang hampa tempat Allah
berada, karena ruang hampa juga merupakan alam. Intinya kalau dianggap ada yang
lebih tinggi dari langit ketujuh dan merupakan penghujung alam semesta dan yang
tertinggi maka Allah berada di balik (di luar) hal itu, dan lebih tinggi dari
hal itu. Sehingga tidak ada suatu tempat (yang tempat merupakan makhluk Allah)
yang meliputi Allah, karena Allah di luar alam semesta.
4- Dari penjelasan di atas, maka jika Ahlus
Sunnah mengatakan bahwa Allah di jihah (di arah) atas maka bukanlah maksudnya
Allah berada di suatu tempat yang merupakan makhluk. Akan tetepi Allah berada
di luar alam, dan berada di arah atas alam. Dan jihah tersebut bukanlah jihah
yang berwujud akan tetapi jihah yang tidak berwujud karena di luar alam. (lihat
penjelasan Ibnu Rusyd Al-Hafiid dalam kitabnya Al-Kasyf 'an Manhaj Al-Adillah hal 145-147)
5- Imam Ahmad pernah menjelaskan sebuah
pendekatan pemahaman tentang hal ini.
Beliau
berkata
"Jika
engkau ingin tahu bahwasanya Jahmiy adalah seorang pendusta tatkala menyangka
bahwsanya Allah di semua tempat bukan pada satu tempat tertentu, maka
katakanlah : Bukankah Allah dahulu (sendirian) tanpa sesuatu?. Maka ia akan
menjawab : Iya.
Katakan
lagi kepadanya, "Tatkala Allah menciptakan sesuatu apakah Allah menciptakan
sesuatu tersebut dalam dzat Allah ataukah di luar dzat Allah?". Maka
jawabannya hanya ada tiga kemungkinan, dia pasti memilih salah satu dari tiga
kemungkinan tersebut.
Jika
dia menyangka bahwasanya Allah menciptakan sesuatu tersebut di dalam dzat Allah
maka ia telah kafir tatkala ia menyangka bahwasanya jin dan para syaitan berada
di dzat Allah.
Jika
dia menyangka bahwasanya Allah menciptakannya di luar dzat Allah kemudian Allah
masuk ke dalam ciptaannya maka ini juga merupakan kekufuran tatkala ia
menyangka bahwasanya Allah masuk di setiap tempat dan wc dan setiap kotoran
yang buruk.
Jika
ia mengatakan bahwasanya Allah menciptakan mereka di luar dzatnya kemudian
tidak masuk dalam mereka maka ia (si jahmiy) telah meninggalkan seluruh
aqidahnya dan ini adalah perkataan Ahlus Sunnah" (Ar-Rod 'alaa
Al-Jahmiyyah wa az-Zanaadiqoh hal 155-156)
6- Perkataan Imam Ahmad أَلَيْسَ اللهُ كَانَ وَلاَ شَيْءَ (Bukankah Allah dahulu (sendirian) tanpa sesuatu?)
sama dengan perkataan كان الله ولا مكان (Allah dahulu (sendirian) tanpa ada tempat.)
Perkataan Imam Ahmad ini di dukung oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Al-Bukhari dalam shahihnya
كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ
"Dahulu
Allah (sendirian) dan tidak ada sesuatupun selainNya" (HR Al-Bukhari no
3191)
Dan
kalimat disini memberikan faedah
keumuman, yaitu tidak sesuatupun selain Allah tatkala itu, termasuk alam dan
tempat.
Meskipun
Imam Ahmad mengatakan demikian akan tetapi beliau tetap menetapkan bahwasanya
Allah berada di atas. Dari sini kita pahami bahwa penetepan adanya Allah di
atas tidaklah melazimkan bahwasanya Allah berada atau diliputi oleh tempat yang
merupakan makhluk.
Perkataan
Imam Ahmad ini mirip dengan perkataan Abdullah bin Sa'iid Al-Qottoon
sebagaimana dinukil oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dalam kitabnya maqoolaat
Al-Islamiyiin 1/351
Abul
Hasan Al-Asy'ari berkata, "Dan Abdullah bin Sa'iin menyangka bahwasanya
Al-Baari (Allah) di zaman azali tanpa ada tempat dan zaman sebelum penciptaan
makhluk, dan Allah senantiasa berada di atas kondisi tersebut, dan bahwasanya
Allah beristiwaa' di atas 'arsyNya sebagaimana firmanNya, dan bahwasanya Allah
berada di atas segala sesuatu"
Perhatikanlah
para pembaca yang budiman, Abdullah bin Sa'iid meyakini bahwasanya Allah tidak
bertempat, akan tetapi ia –rahimahullah- tidak memahami bahwasanya hal ini
melazimkan Allah tidak di atas. Sehingga tidak ada pertentangan antara
keberadaan Allah di arah atas dan kondisi Allah yang tidak diliputi suatu
tempat.
Pemahaman
Imam Ahmad dan Abdullah bin Sa'iid bertentangan dengan pemahaman Abu Salafy cs
yang menyangka bahwa kalau kita menafikan tempat dari Allah melazimkan Allah
tidak di atas. Atau dengan kata lain Abu Salafy cs menyangka kalau Allah berada
di arah atas maka melazimkan Allah diliputi oleh tempat.
Adapun
riwayat Abu Nu'aim dalam hilyatul Auliyaa 1/73
Adapun
sanad dari riwayat diatas sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Nu'aim dalam
Al-Hilyah 1/72 adalah sbb:
Ana
berharap Abu Salafy cs mendatangkan biografi para perawi di atas dan menghukumi
keabsahan sanad di atas !!!
Abu
Salafy berkata :
Penegasan
Imam Imam Ali ibn Husain –Zainal Abidin- ra.
Ali
Zainal Abidin adalah putra Imam Husain –cucu terkasih Rasulullah saw.- tentang
ketaqwaan, kedalaman ilmu pengatahuannya tentang Islam, dan kearifan Imam
Zainal Abidin tidak seorang pun meragukannya. Beliau adalah tempat berujuk para
pembesar tabi’in bahkan sehabat-sabahat Nabi saw.
Telah
banyak diriwayatkan untaian kata-kata hikmah tentang ketuhanan dari beliau ra.
di antaranya adalah sebagai berikut ini.
أنت
الله الذي لا يحويك مكان.
”Engkaulah
Allah Dzat yang tidak dirangkum oleh tempat.”
Dalam
hikmah lainnya beliau ra. berkata:
أنت
الله الذي لا تحد فتكون محدودا
”Engkaulah
Allah Dzat yang tidak dibatasi sehingga Engkau menjadi terbatas.”[ Ithâf as
Sâdah al Muttaqîn, Syarah Ihyâ’
‘Ulumuddîn,4/380])) -Demikan perkataan Abu Salafi-
Firanda
berkata:
Ana
katakan kepada Abu Salafy, dari mana riwayat ini? Mana sanadnya?, bagaimana
biografi para perawinya? Apakah riwayat ini shahih…??!!
Para
pembaca yang budiman, berikut ini kami akan tunjukan sumber pengambilan Abu
Salafy yaitu kitab Ithaaf As-Saadah Al-Muttaqiin 4/380
Dalam
buku ini dijelaskan bahwasanya atsar Zainal Abidin ini bersumber dari
As-Shohiifah As-Sajjaadiyah, kemudian sanadnya sangatlah panjang, maka kami
meminta Al-Ustadz Abu Salafy al-Majhuul dan teman-temannya untuk mentahqiq
keabsahan sanad ini dari sumber-sumber yang terpercaya. Jika tidak maka para
perawi atsar ini dihukumi majhuul, sebagaimana diri Abu salafy yang majhuul.
Maka jadilah periwayatan mereka menjadi
riwayat yang lemah.
Tahukah
Al-Ustadz Abu salafy Al-Majhuul bahwasanya As-Shohiifah As-Sajjadiyah adalah
buku pegangan kaum Rofidhoh?, bahkan dinamakan oleh Rofidhoh dengan nama Ukhtul
Qur'aan (saudarinya Al-Qur'an) karena menurut keyakinan mereka bahwasanya
perkataan para imam mereka seperti perkataan Allah.
Sekali
lagi ternyata Abu Salafy cs doyan untuk bersepakat dengan kaum Syi'ah Rofidhoh,
doyan dengan aqidah mereka…???!!!
Ana
sarankan ustadz Abu salafy untuk membaca buku yang berjudul Haqiqat
As-Shahiifah As-Sajjadiah karya DR Nasir bin Abdillah Al-Qifarii (silahkan
didownload di http://www.archive.org/download/hsshss/hss.pdf)
Abu
Salafy berkata :
Penegasan
Imam Ja’far ash Shadiq ra. (W. 148 H)
Imam
Ja’far ash Shadiq adalah putra Imam Muhammad -yang digelaru dengan al Baqir
yang artinya si pendekar yang telah membela perut ilmu pengetahuan karena
kedalaman dan kejelian analisanya- putra Imam Ali Zainal Abidin. Tentang
kedalam ilmu dan kearifan Imam Ja’far ash Shadiq adalah telah menjadi
kesepakatan para ulama yang menyebutkan sejarahn hidupnya. Telah banya dikutip
dan diriwayatkan darinya berbagai cabang dan disiplin ilmu pengetahuan,
khususnya tentang fikih dan akidah.
Di
bawah ini kami sebutkan satu di antara pegesan beliau tentang kemaha sucian
Allah dari bertempat seperti yang diyakini kaumm Mujassimah Wahhabiyah. Beliau
berkata:
من
زعم أن الله في شىء، أو من شىء، أو على شىء فقد أشرك. إذ لو كان على شىء لكان محمولا، ولو كان في شىء لكان محصورا، ولو كان من شىء لكان محدثا- أي مخلوقا.
”Barang
siapa menganggap bahwa Allah berada dalam/pada sesuatu, atau di attas sesuatu
maka dia benar-benar telah menyekutukan Allah. Sebab jika Dia berada di atas
sesuatu pastilah Dia itu dipikul. Dan jika Dia berada pada/ di dalam sesuatu
pastilah Dia terbatas. Dan jika Dia terbuat dari sesuatu pastilah Dia itu
muhdats/tercipta.”[ Risalah al Qusiariyah:6])) –demikian perkataan Abu Salafy-
Firanda
berkata :
Demikianlah
Abu Salafy Al-Majhuul, tatkala tidak mendapatkan seorang salafpun yang
mendukung aqidahnya maka diapun segera mencari riwayat-riwayat yang mendukung
aqidahnya meskipun riwayat tersebut lemah, bahkan meskipun tanpa sanad. Inilah
model pendalilalnnya sebagaiamana telah lalu.
Berikut
ini kami nukilkan langsung riwayat tanpa sanad tersebut dari kita Ar-Risaalah
Al-Qusyairiyyah
Dan
nampaknya Abu Salafy tidak membaca buku ini secara langsung sehingga salah
dalam menyebutkan nama buku ini. Abu Salafy berkata " Risalah al
Qusiariyah "
Dan
rupanya Abu Salafy sadar bahwasanya tipu muslihatnya ini akan tercium juga
–karena kami yakin Al-Ustadz Abu Salafy Al-Majhuul adalah ustadz yang mengerti
akan ilmu hadits, dan mengerti akan definisi hadits shahih, oleh karenanya
berani untuk mengkritik As-Syaikh Al-Albani rahimahullah-. Oleh karenanya agar
tidak dituduh dengan tuduhan macam-macam, maka Al-Ustadz Al-Majhuul segera
membungkusi tipu muslihatnya ini dengan berkata :
Peringatan:
Mungkin
kaum Wahhabiyah Mujassimah sangat keberatan dengan penukilan kami dari para
tokoh mulia dan agung keluarga Ahlulbait Nabi saw. dan kemudian menuduh kami
sebagai Syi’ah! Sebab sementara ini mereka hanya terbiasa menerima informasi
agama dari kaum Mujassimah generasi awal seperti ka’ab al Ahbâr, Muqatil dkk..
Jadi wajar saja jika mereka kemudian alergi terhadap mutiara-mutoara hikmah
keluarga Nabi saw. karena pikiran mereka telah teracuni oleh virus ganas akidah
tajsîm dan tasybîh yang diprogandakan para pendeta Yahudi dan Nasrani yang
berpura-pura memeluk Islam!
Dan
sikap mereka itu sekaligus bukti keitdak sukaan mereka terhadap keluarga Nabi
Muhammad saw. seperti yang dikeluhkan oleh Ibnu Jauzi al Hanbali bahwa
kebanyakan kaum Hanâbilah itu menyimpang dari ajaran Imam Ahmad; imam mereka
dan terjebak dalam faham tajsîm dan tasybîh sehingga seakan identik antara
bermazhab Hanbali dengan berfaham tajsîm, dan di tengah-tengah mereka terdapat
jumlah yang tidak sedikit dari kaum nawâshib yang sangat mendengki dan membenci
Ahlulbait Nabi saw. dan membela habis-habisan keluarga tekutuk bani Umayyah;
Mu’awiyah, Yazid …. .[ Muqaddimah Daf’u Syubah at Tasybîh; Ibnu Jauzi]))
–demikianlah perkataan abu
Firanda
berkata :
Lihatlah
bagaimana buruknya akhlaq Abu Salafy yang hanya bisa menuduh Ahlus Sunnah
dengan tuduhan-tuduhan yang kasar namun tanpa bukti. Perkataannya ini
mengandung beberapa pengakuannya :
1. Dia sudah sadar kalau bakalan dituduh
mengekor Syia'h namun kenyataannya adalah demikian. Oleh karenanya dengan
sangat berani dia mengkutuk Sahabat Mulia Mu'aawiyah radhiallahu 'anhu.
Bukankah ini adalah aqidah Syi'ah Rofidhoh???, bukankah meyakini Allah tidak di
atas adalah aqidah Rofidhoh??. Imam Ahlus Sunnah manakah yang mengutuk
Mu'aawiyah radhiallahu 'anhu???!!. Kita Ahlus Sunnah cinta dengan Alu Bait,
akan tetapi ternyata semua riwayat Alu Bait yang disebutkan oleh sang Ustadz
Abu salafy Al-Majhuul riwayat dusta tanpa sanad.
2. Dia menuduh bahwa Ahlus Sunnah (yang
disebut Wahhabiah olehnya) benci terhadap keluarga Nabi…, manakah buktinya ada
seorang Wahhabi yang benci terhadap keluarga Nabi??. Bukankah As-Syaikh
Muhammad Bin AbdilWahaab guru besarnya para Wahhabiyyah telah menamakan enam
anak-anaknya dengan nama-nama Alul bait???
3. Menuduh Muqotil dkk sebagai mujassimah.
Ana ingin tahu apa maksud dia dengan "dkk"??!!
Setelah
ketahuan kedoknya dan tipu muslihatnya terhadap para Alul Bait, maka Abu Salafy
tidak putus asa, maka ia melancarkan tipu muslihat berikutnya. Yaitu berusaha
menukil dari para imam madzhab. Namun seperti biasa, ia hanya mampu mendapatkan
riwayat-riwayat tanpa sanad. Sungguh aneh tapi nyata, sang ustadz berani
mengkritik syaikh Al-bani namun ternyata ilmu hadits yang dimiliki sang ustadz
hanya digunakan untuk mengkritik, dan tatkala berbicara tentang aqidah –yang
sangat urgen tentunya- ilmu haditsnya dibuang, dan berpegang pada
riwayat-riwayat tanpa sanad. Wallahul Musta'aan.
Abu
Salafy berkata :
Penegasan
Imam Abu Hanifah ra.
Di
antara nama yang sering juga dimanfa’atkan untuk mendukung penyimpangan akidah
kaum Mujassimah Wahhabiyah adalah nama Imam Abu Hanifah, karenanya penting juga
kita sebutkan nukilan yang nenegaskan akidah lurus Abuhanifah tentang konsep
ketuhanan. Di antaranya ia berkata:
ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق
”Perjumpaan
dengan Allah bagi penghuni surga tanpa bentuk dan penyerupaan adalah haq.”[
Syarah al Fiqul Akbar; Mulla Ali al Qâri:138]))- demikian perkatan Abu Salafy
Firanda
berkata :
Para
pembaca yang budiman marilah kita mengecek kitab-kitab yang merupakan sumber
pengambilan riwayat Abu Hanifah yang dilakukan Abu Salafy
Berkata
Mulla 'Ali Al-Qoori dalam syarah Al-Fiqh Al-Akbar hal 246 :
"Dan
berkata Al-Imaam Al-A'dzom (maksudnya adalah Abu Hanifah-pent) dalam kitabnya
Al-Washiyyah : Dan pertemuan Allah ta'aala dengan penduduk surga tanpa kayf,
tanpa tasybiih, dan tanpa jihah merupakan kebenaran". Selesai" (Minah
Ar-Roudh Al-Azhar fi syarh Al-Fiqh Al-Akbar, karya Ali bin Sulthoon Muhammad
Al-Qoori, tahqiq Wahbi Sulaimaan Gowjiy hal 246)
Ternyata
riwayat Imam Abu Hanifah di atas berasal dari sebuah kitab yang berujudl
"Al-Washiyyah" yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah.
Sebelum
melanjutkan pembahasan ini, saya ingin meningatkan pembaca tentang sebuah
riwayat yang dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah.
Riwayat
tersebut adalah perkataan beliau rahimahullah :
مَنْ قال لا أعْرِفُ ربِّي في السماء أم في الأرضِ فقد كفر، لأَنَّ اللهَ يقول: {الرَّحْمنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى}، و عرشه فوق سبع سماواته.
“Barang
siapa berkata, ‘Aku tidak mengetahui apakah Allah di langit atau di bumi maka
ia benar-benar telah kafir. Sebab Alllah telah berfirman:
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى.
“(Yaitu)
Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arsy.” (QS. Thâhâ;5)
dan
Arsy-Nya di atas tujuh lapis langit.”
Riwayat
Abu Hanifah ini termaktub dalam kitab Al-Fiqhu Al-Akbar, dan buku ini telah
dinisbahkan oleh Abu Hanifah. Akan tetapi buku ini diriwayatkan oleh Abu
Muthii' Al-Balkhi.
Al-Ustadz
Abu Salafy tidak menerima riwayat ini dengan dalih bahwasanya sanad periwayatan
buku Al-Fiqhu Al-Akbar ini tidaklah sah karena diriwayatkan oleh perawi yang
tertuduh dusta.
Abu
Salafy berkata :
((Pernyataan
yang mereka nisbahkan kepada Abu Hanifah di atas adalah kebohongan dan
kepalsuan belaka!! Namun kaum Mujassimah memang gemar memalsu dan junûd, bala
tentara mereka berbahagia dengan penemuan pernyataan-pernyataan palsu seperti
contoh di atas!!
Pernyataan
itu benar-benar telah dipalsukan atas nama Imam Abu Hanifah… perawi yang
membawa berita itu adalah seorang gembong pembohong dan pemalsu ulung bernama
Abu Muthî’ al Balkhi.
Adz
Dzahabi berkata tentangnya, “ia seorang kadzdzâb (pembohong besar) wadhdhâ’
(pemalsu). Baca Mîzân al I’tidâl,1/574.
Ketika
seorang perawi disebut sebagai kadzdzâb atau wadhdhâ’ itu berarti ia berada di
atas puncak keburukan kualitas… ia adalah pencacat atas seorang perawi yang
paling berat. Demikian diterangkan dalam kajian jarhi wa ta’dîl !
Imam
Ahmad berkata tentangnya:
لا
ينبغي أن يُروى عنه شيئٌ.
“Tidak
sepatutnya diriwayatkan apapun darinya.”
Yahya
ibn Ma’in berkata, “Orang itu tidak berharga sedikitpun.”
Ibnu
Hajar al Asqallani menghimpun sederetan komentar yang mencacat perawi andalan
kaum Mujassimah yang satu ini:
Abu
Hatim ar Razi:
كان
مُرجِئا كَذَّابا.
“Ia
adalah seorang murjiah pembohong, kadzdzâb.”
Adz
Dzahabi telah memastikan bahwa ia telah memalsu hadis Nabi, maka untuk itu
dapat dilihat pada biografi Utsman ibn Abdullah al-Umawi.” (Lisân al
Mîzân,2/335) ))-demikian perkataan Abu
Salafy sebagaiamana bisa dilihat di http://abusalafy.wordpress.com/2008/05/13/kaum-wahhabiyah-mujassimah-memalsu-atas-nama-salaf-1/)
Demikianlah
penjelasan Al-Ustadz Abu Salafy Al-Majhuul.
Sekarang
saya ingin balik bertanya kepada Pak Ustadz, manakah sanad periwayatan kitab
Al-Washiyyah karya Abu Hanifah???
Dan
sungguh aneh tapi nyata, ternyata meskipun Ustadz Abu Salafy telah menyatakan
dusta tentang buku Al-Fiqh Al-Akbar yang merupakan periwayatan Abu Muthii'
Al-Balkhi, namun… ternyata Pak Ustadz Abu Salafy masih juga nekat mengambil
riwayat dari buku tersebut.
Abu
Salafy berkata :
Dan
telah dinukil pula bahwa ia (yaitu abu hanifah) berkata:
قلت:
أرأيت لو قيل أين الله تعالى؟ فقال- أي أبو حنيفة-: يقال له كان الله تعالى ولا مكان قبل أن يخلق الخلق، وكان الله تعالى ولم يكن أين ولا خلق ولا شىء، وهو خالق كل شىء.
”Aku
(perawi) berkata, ’Bagaimana pendapat Anda jika aku bertanya, ’Di mana Allah?’
Maka Abu Hanifah berkata, ’Dikatakan untuk-Nya Dia telah ada sementara tempat
itu belum ada sebelum Dia menciptakan tempat. Dia Allah sudah ada sementara
belum ada dimana dan Dia belum meciptakan sesuatu apapun. Dialah Sang Pencipta
segala sesuatu.” [ Al Fiqhul Absath (dicetak bersama kumpulan Rasâil Abu
Hanifah, dengan tahqiq Syeikh Allamah al Kautsari): 25])) –demikian perkataan
Abu Salafy-
Para
pembaca sekalian tahukah anda apa itu kitab Al-Fiqhu Al-Absath?, dialah kitab
Al-Fiqhu Al-Akbar dengan periwayatan Abul Muthii' yang dikatakan dusta oleh Abu
Salafy sendiri.
Lihatlah
perkataan Al-Kautsari :
"Dan
telah dicetak di India dan Mesir syarh Al-Fiqh Al-Akbar dengan riwayat Abu
Muthii', dan dialah yang dikenal dengan Al-Fiqh Al-Absath untuk membedakan
dengan Al-Fiqh Al-Akbar yang diriwayatkan oleh Hammaad bin Abi Haniifah"
Al-Kautsari
juga berkata di muqoddimah tatkala mentahqiq Al-Fiqh Al-Absath :
"Dia
adalah Al-Fiqhu Al-Akbar yang diriwayatkan oleh Abu Muthii', dikenal dengan
Al-Fiqh Al-Absath untuk membedakannya dengan Al-Fiqhu Al-Akbar yang
diriwayatkan oleh Hammad bin Abi Haniifah dari ayahnya. Dan perawi Al-Fiqh
Al-Absath yaitu Abu Muthii' dia adalah Al-Hakam bin Abdillah Al-Balkhi
sahabatnya Abu hanifah…"
Sungguh
aneh tapi nyata, ternyata Al-Ustadz Abu Salafy yang telah menyatakan kedustaan
kitab Al-Fiqhu Al-Absath ternyata juga menjadikan kitab tersebut sebagai dalil
untuk mendukung hawa nafsunya. Maka kita katakan kepada Al-Ustadz Abu
Salafy–sebagaimana yang ia katakan sendiri- : Anda wahai Abu Salafy.
Yang
anehnya dalam buku Al-Fiqhu Al-Absath yang ditahqiq oleh ulamanya Abu Salafy
yang bernama Al-Kautsari terdapat nukilan yang "mematahkan punggung"
kaum jahmiyyah dan Asyaa'iroh muta'akkhirin, dan neo Asya'iroh seperti Abu
Salafy cs. Dalam buku tersebut Abu Haniifah berkata :
Abu
Hanifah berkata, “Barang siapa berkata, ‘Aku tidak mengetahui apakah Allah di
langit atau di bumi maka ia benar-benar telah kafir. Demikian juga orang yang
mengatakan "Sesunguhnya Allah di atas 'arsy (tapi) aku tidak tahu apakah
'arsy itu di langit atau di bumi"
…..
Inilah
kitab Al-Fiqh Al-Absath tahqiq Al-Kautsari yang dijadikan pegangan oleh
Al-Ustadz Abu Salafy. Ternyata Abu Hanifah mengkafirkan orang yang tidak
mengatakan Allah di atas langit dengan berdalil dengan hadits Jaariyah (budak
wanita) yang tatkala ditanya oleh Nabi "Dimanakah Allah" maka sanga
budak mengisyaratkan tangannya ke langit.
Penjelasan
saya ini juga saya anggap cukup untuk menyingkap kesalahan pemilik blog
salafytobat (lihat http://salafytobat.wordpress.com/2008/06/16/hujjah-imam-hanafi-kalahkan-aqidah-sesat-salafy-wahaby/)
Abu
Salafy berkata ((Dalam kesempatan lain dinukil darinya (yaitu dari Abu
Hanifah):
ونقر بأن الله سبحانه وتعالى على العرش استوى من غير أن يكون له حاجة إليه واستقرار عليه، وهو حافظ العرش وغير العرش من غير احتياج، فلو كان محتاجا لما قدر على إيجاد العالم وتدبيره كالمخلوقين، ولو كان محتاجا إلى الجلوس والقرار فقبل خلق العرش أين كان الله، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا.
”Kami
menetapkan (mengakui) bahwa sesungguhnya Allah SWT beristiwâ’ di atas Arsy
tanpa Dia butuh kepadanya dan tanpa bersemayam di atasnya. Dialah Tuhan yang
memelihara Arsy dan selainnya tanpa ada sedikit pun kebutuhan kepadanya. Jika
Dia butuh kepadanya pastilah Dia tidak kuasa mencipta dan mengatur alam semesta,
seperti layaknya makhluk ciptaan. Dan jika Dia butuh untuk duduk dan
bersemayam, lalu sebelum Dia menciptakan Arsy di mana Dia bertempat. Maha
Tinggi Allah dari anggapan itu setinggi-tingginya.”[ Syarah al Fiqul Akbar;
Mulla Ali al Qâri:75]
Pernyataan
Abu Hanifah di atas benar-benar mematahkan punggung kaum Mujassimah yang
menamakan dirinya sebagai Salafiyah dan enggan disebut Wahhâbiyah yang
mengaku-ngaku tanpa malu mengikuti Salaf Shaleh, sementara Abu Hanifah,
demikian pula dengan Imam Ja’far, Imam Zainal Abidin adalah pembesar generasi
ulama Salaf Shelah mereka abaikan keterangan dan fatwa-fatwa mereka?! Jika
mereka itu bukan Salaf Sheleh yang diandalkan kaum Wahhabiyah, lalu siapakah
Salaf menurut mereka? Dan siapakah Salaf mereka? Ka’ab al Ahbâr? Muqatil? Atau
siapa?))- demikianlah perkataan Abu Salafy-
Firanda
berkata :
Kami
katakan :
1- Isi dari nukilan tersebut sama sekali tidak
berententangan dengan aqidah Ahlus Sunnah, karena Ahlus Sunnah
(Wahhabiyah/As-Salafiyah) tatkala menyatakan Allah beristiwa di atas 'arsy
tidaklah melazimkan bahwasanya Allah membutuhkan 'arsy. Dan tidak ada kelaziman
bahwasanya yang berada di atas selalu membutuhkan yang di bawahnya. Jika kita
perhatikan langit dan bumi maka kita akan menyadari akan hal ini. Bukankah langit
berada di atas bumi?, bukankah langit lebih luas dari bumi?, bukankah langit
tidak butuh kepada bumi? Apakah ada tiang yang di tanam di bumi untuk menopang
langit?. Jika langit yang notabene adalah sebuah makhluq namun tidak butuh
kepada yang di bawahnya bagaimana lagi dengan Kholiq pencipta 'arsy.
2- Nukilan dari Abu Hanifah tersebut sesuai
dengan aqidah As-Salafiyyah dan justru bertentangan dengan aqidah Abu Salafy
cs. Bukankah dalam nukilan ini Abu Hanifah menetapkan adanya sifat istiwaa? Dan
tidak mentakwil sifat istiwaa sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Salafy cs??.
Abu Hanifah menjelaskan bahwasanya Allah beristiwaa (berada di atas) 'arsy akan
tetapi tanpa ada kebutuhan sedikitpun terhadap 'arsy tersebut.
3- Oleh karenanya kita katakan bahwa justru
nukilan ini merupakan boomerang bagi Abu Salafy cs yang selalu mentakwil
istiwaa' dengan makna istaulaa (menguasi) –dan inysaa Allah hal ini akan
dibahas pada kesempatan lain. Bahkan dalam halaman yang sama yang tidak dinukil
oleh Abu Salafy ternyata Mulla 'Ali Al-Qoori menyebutkan riwayat dari Abu
Hanifah yang membungkam Ustadz Abu Salafy cs. Marilah kita melihat langsung
lembaran tersebut yaitu dari buku Syarh Al-Fiqh Al-Akbar karya Mulla 'Ali
Al-Qoori (hal 126)
Dan
Abu hanifah rahimahullah ditanya tentang bahwasanya Allah subhaanahu turun dari
langit. maka beliau menjawab : Allah turun, tanpa (ditanya) bagaimananya, …
Bukankah
dalam nukilan ini ternyata Abu Hanifah menetapkan sifat nuzuulnya Allah ke
langit dunia?, Abu Hanifah menetapkan hal itu tanpa takwil dan tanpa bertanya
bagaimananya. Karena memang bagaimana cara turunnya Allah tidak ada yang
menetahuinya.
Berkata
Abu Salafy :
Penegasan
Imam Syafi’i (w. 204 H)
Telah
dinukil dari Imam Syafi’i bahwa ia berkata:
إنه
تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لا يجوز عليه التغيير في ذاته ولا التبديل في صفاته.
”Sesungguhnya
Allah –Ta’ala- tel;ah ada sedangkan belum ada temppat. Lalu Dia menciptakan
tempat. Dia tetap atas sifat-Nya sejak azali, seperti sebelum Dia menciptakan
tempat. Mustahil atas-Nya perubahan dalam Dzat-Nya dan pergantian pada
sifat-Nya.”[ Ithâf as Sâdah,2/24])) –demikian perkataan Abu Salafy-
Firanda
berkata :
Para
pembaca yang budiman marilah kita melihat sumber pengambilan Abu Salafy secara
langsung dari kitab Ithaaf As-Saadah Al-Muttaqiin 2/24
Ana
katakan bahwasanya –sebagaimana kebiasaan Abu Salafy- maka demikian juga dalam
penukilan ini Abu Salafy menukil perkataan Imam As-Syaafi'i tanpa sanad, maka
kami berharap pak Ustadz Abu Salafy cs untuk mendatangkan sanad periwayatan
dari Imam As-Syafii ini.
Abu
Salafy berkata :
Penegasan
Imam Ahmad ibn Hanbal (W.241H)
Imam
Ahmad juga menegaskan akidah serupa. Ibnu Hajar al Haitsami menegaskan bahwa
Imam Ahmad tergolong ulama yang mensucikan Allah dari jismiah dan tempat. Ia
berkata:
وما
اشتهر بين جهلة المنسوبين إلى هذا الإمام الأعظم المجتهد من أنه قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه.
”Adapun
apa yang tersebar di kalangan kaum jahil yang menisbatkan dirinya kepada sang
imam mulia dan mujtahid bahwa beliau meyakini tempat/arah atau semisalnya
adalah kebohongan dan kepalsuan belaka
atas nama beliau.”[ Al Fatâwa al Hadîtsiyah:144.] –demikian perkataan
Abu Salafy-
Firanda
berkata :
Pada
nukilan di atas sangatlah jelas bahwasanya Abu Salafy tidak sedang menukil
perkataan Imam Ahmad, akan tetapi sedang menukil perkataan Ibnu Hajar
Al-Haitsami tentang Imam Ahmad. Ini merupakan tadliis dan talbiis. Abu Salafy
membawakan perkataan Ibnu Hajr Al-Haitsami ini dibawah sub judul
"Penegasan Imam Ahmad", namun ternyata yang ia bawakan bukanlah
perkataan Imam Ahmad apalagi penegasan. Seharusnya sub judulnya :
"Penegasan Ibnu Hajr Al-Haitsami".
Abu
Salafy berkata:
Penegasan
Imam Ghazzali:
Imam
Ghazzali menegaskan dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn-nya,4/434:
أن
الله تعالى مقدس عن المكان ومنزه عن الاقطار والجهات وأنه ليس داخل العالم ولا خارجه ولا هو متصل به ولا هو منفصل عنه ، قد حير عقول أقوام حتى أنكروه إذ لم يطيقوا سماعه ومعرفته ”
“Sesungguhnya
Allah –Ta’ala- Maha suci dari tempat dan suci dari penjuru dan arah. Dia tidak
di dalam alam tidak juga di luarnya. Ia tidak bersentuhan dengannya dn tidak
juga berpisah darinya. Telah membuat bingun akal-akal kaum-kaum sehingga mereka
mengingkari-Nya, karena mereka tidak sanggunp mendengar dan mengertinya.”
Dan
banyak keterangan serupa beliau utarakan dalam berbagai karya berharga beliau.
Penegasan
Ibnu Jauzi
Ibnu
Jauzi juga menegaskan akidah Isla serupa dalam kitab Daf’u Syubahi at Tasybîh,
ia berkata:
وكذا ينبغي أن يقال ليس بداخل في العالم وليس بخارج منه ، لان الدخول والخروج من لوزام المتحيزات.
“Demikian
juga harus dikatakan bahwa Dia tidak berada di dalam alam dan tidak pula di
luarnya. Sebab masuk dan keluar adalah konsekuensi yang mesti dialami benda
berbentuk.”[ Daf’u Syubah at Tasybîh (dengan tahqiq Sayyid Hasan ibn Ali as
Seqqaf):130])) –demikian perkataan Abu Salafy-
Firanda
berkata :
Rupanya
tatkala Abu Salafy tidak mampu untuk menemukan satu riwayatpun dari kalangan
salaf dengan sanad yang shahih yang mendukung aqidah karangannya maka ia
terpaksa mengambil perkataan para ulama mutaakhkhiriin semisal Al-Gozaali yang
wafat pada tahun 506 H dan Ibnu Jauzi yang wafat pada tahun 597 H.
Adapun
Al-Gozaali maka Abu Salafy menukil perkataannya dari kitab Ihyaa 'Uluum
Ad-Diin. Sesungguhnya para ulama telah mengingatkan akan kerancuan pemikian
aqidah Al-Gozaali dalam kitabnya ini. Diantara kerancuan-kerancuan tersebut
perkataan Al-Gozaali :
"Dihikayatkan
bahwasanya Abu Turoob At-Takhsyabi kagum dengan seorang murid, Abu Turob
mendekati murid tersebut dan mengurusi kemaslahatan-kemaslahatan sang murid,
sedangkan sang murid sibuk dengan ibadahnya dan wajd-wajdnya. Pada suatu hari
Abu Turob berkata kepada sang murid, "Kalau seandainya engkau melihat Abu
Yaziid", sang murid berkata, "Aku sibuk". Tatkala Abu Turob
terus menerus dan serius mengulang-ngulangi perkataannya, "Kalau
seandainya engkau melihat Abu Yaziid", akhirnya sang muridpun berkata,
"Memangnya apa yang aku lakukan terhadap Abu Yaziid, aku telah melihat
Allah yang ini sudah cukup bagiku sehingga aku tidak perlu dengan Abu
yaziid". Abu Turoob berkata, "Maka dirikupun naik pitam dan aku tidak
bisa menahan diriku, maka aku berkata kepadanya : "Celaka engkau,
janganlah engkau terpedaya dengan Allah Azza wa Jalla, kalau seandainya engkau
melihat Abu Yaziid sekali maka lebih bermanfaat bagimu daripada engkau melihat
Allah tujuh puluh kali". Maka sang muridpun tercengang dan mengingkari
perkataan Abu Turoob. Iapun berkata, "Bagaimana bisa demikian?". Abu Turoob
berkata, "Celaka engkau, bukankah engkau melihat Allah di sisimu, maka
Allahpun nampak untukmu sesuai dengan kadarmu, dan engkau melihat Abu Yaziid di
sisi Allah dan Allah telah nampak sesuai dengan kadar abu Yaziid". Maka
sang murid faham dan berkata, "Bawalah aku ke Abu Yaziid"…
Aku
berkata kepada sang murid, "Inilah Abu Yaziid, lihatlah dia", maka
sang pemuda (sang murid)pun melihat Abu Yaziid maka diapun pingsan. Kami lalu
menggerak-gerakan tubuhnya, ternyata ia telah meninggal dunia. Maka kamipun
saling bantu-membantu untuk menguburkannya. Akupun berkata kepada Abu Yaziid,
"Penglihatannya kepadamu telah membunuhnya". Abu Yaziid berkata,
"Bukan demikian, akan tetapi sahabat kalian tersebut benar-benar dan telah
menetap dalam hatinya rahasia yang tidak terungkap jika dengan pensifatan saja
(sekedar cerita saja). Tatkala ia melihatku maka terungkaplah rahasia hatinya,
maka ia tidak mampu untuk memikulnya, karena dia masih pada tingkatan
orang-orang yang lemah yaitu para murid, maka hal ini membunuhnya".
Al_Gozzaalii
mengomentari kisah ini dengan berkata, "Ini merupakan perkara-perkara yang
mungkin terjadi. Barangsiapa yang tidak memperoleh sedikitpun dari
perkara-perkara ini maka hendaknya jangan sampai dirinya kosong dari pembenaran
dan beriman terhadap mungkinnya terjadi perkara-perkara tersebut…."
Oleh
karenanya para ulama memperingatkan akan kerancuan-kerancuan yang terdapat dala
kitab Ihyaa' uluum Ad-Diin.
Yang
anehnya… diantara para ulama yang keras dalam memperingatkan kerancuan kitab
ini adalah Ibnu Jauzi sendiri.
Ibnul
Jauzi berkata (dalm kitabnya Talbiis Ibliis, tahqiq DR Ahmad bin Utsmaan
Al-Maziid, Daar Al-Wathn, 3/964-965):
Dan
datang Abu haamid Al-Gozzaali lalu iapun menulis kitab "Ihyaa (Uluum
Ad-Diin-pent)"… dan dia memenuhi kitab tersebut dengan hadits-hadits yang
batil –dan dia tidak mengetahui kebatilan hadits-hadits tersebut-. Dan ia
berbicara tentang ilmu Al-Mukaasyafah dan ia keluar dari aturan fiqh. Ia
berkata bahwa yang dimaksud dengan bintang-bintang, matahari, dan rembulan yang
dilihat oleh Nabi Ibrohim merupkan cahaya-cahaya yang cahaya-cahaya tersebut
merupakan hijab-hijabnya Allah. Dan bukanlah maksudnya benda-benda langit yang
sudah ma'ruuf.". Mushonnif (Ibnul Jauzi) berkata, "Perkataan seperti
ini sejenis dengan peraktaan firqoh Bathiniyah". Al-Gozzaali juga berkata
di kitabnya "Al-Mufsih bil Ahwaal" : Sesungguhnya orang-orang sufi
mereka dalam keadaan terjaga melihat para malaikat, ruh-ruh para nabi, dan
mendengar suara-suara dari mereka, dan mengambil faedah-faedah dari mereka.
Kemudian kondisi mereka (yaitu orang-orang sufi) pun semakin meningkat dari
melihat bentuk menjadi tingkatan derajat-derajat yagn sulit untuk
diucapkan"
Dan
masih banyak perkataan para ulama yang mengingatkan akan bahayanya
kerancuan-kerancuan pemikiran Al-Gozzaali, diantaranya At-Turtusi, Al-Maaziri,
dan Al-Qodhi 'Iyaadh.
Maka
saya jadi bertanya tentang kitab Ihyaa Uluum Ad-Diin, apakah kita mengikuti
pendapat Ustadz Abu Salafy yang majhuul untuk menjadikan kitab tersebut sebagai
sumber aqidah?, ataukah kita mengikuti perkataan Ibnu Jauzi??
Adapun
perkataan Ibnul Jauzi maka sesungguhnya Ibnul Jauzi dalam masalah tauhid
Al-Asmaa was sifaat mengalami kegoncangan, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu
Rojab Al-Hanbali. Beliau berkata :
"Dan
diantara sebab kritkan orang-orang terhadap Ibnul Jauzi –yang ini merupakan
sebab marahnya sekelompok syaikh-syaikh dari para sahabat kami (yaitu
syaikh-syaikh dari madzhab hanbali-pent) dan para imam mereka dari
Al-Maqoodisah dan Al-'Altsiyyiin mereka marah terhadap condongnya Ibnul Jauzi
terhadap takwiil pada beberapa perkatan Ibnul Jauzi, dan keras pengingkaran
mereka terhadap beliau tentang takwil beliau.
Meskipun
Ibnul Jauzi punya wawasan luas tentang hadits-hadits dan atsar-atsar yang
berkaitan dengan pembahasan ini hanya saja beliau tidak mahir dalam
menghilangkan dan menjelaskan rusaknya syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh
para ahli kalam (filsafat). Beliau mengagungi Abul Wafaa' Ibnu 'Aqiil… dan Ibnu
'Aqiil mahir dalam ilmu kalam akan tetapi tidak memiliki ilmu yang sempurna
tentang hadits-hadits dan atsar-atsar. Oleh karenanya perkataan Ibnu 'Aqiil
dalam pembahasan ini mudhthorib (goncang) dan pendapat-pendapatnya beragam
(tidak satu pendapat-pent), dan Abul Faroj (ibnul Jauzi) juga mengikuti Ibnu
'Aqiil dalam keragaman tersebut."
(Adz-Dzail 'alaa Tobaqootil Hanaabilah, cetakan Daarul Ma'rifah, hal
3/414 atau cetakan Al-'Ubaikaan, tahqiq Abdurrahman Al-'Utsaimiin 2/487)
Para
pembaca yang budiman, Ibnu Rojab Al-Hanbali telah menjelaskan bahwasanya aqidah
Ibnul Jauzi dalam masalah tauhid
Al-Asmaa' was Sifaat tidaklah stabil, bahkan bergoncang. Dan Ibnul Jauzi –yang
bermadzhab Hanbali- telah diingkari dengan keras oleh para ulama madzhab
Hanbali yang lain. Sebab ketidakstabilan tersebut karena Ibnul Jauzi banyak
mengikuti pendapat Ibnu 'Aqiil yang tenggelam dalam ilmu kalam (filsafat).
Ibnul
Jauzi dalam kitabnya Talbiis Ibliis mendukung madzhab At-Tafwiidh, sedangkan
dalam kitabnya Majaalis Ibni Jauzi fi al-mutasyaabih minal Aayaat Al-Qur'aaniyah
menetapkan sifat-sifat khobariyah, dan pada kitabnya Daf' Syubah At-Tasybiih
mendukung madzhab At-Takwiil (lihat penjelasan lebih lebar dalam risalah
'ilmiyyah (thesis) yang berjudul "Ibnul Jauzi baina At-Takwiil wa
At-Tafwiidh" yang ditulis oleh Ahmad 'Athiyah Az-Zahrooni. Dan bisa
didownload di
http://www.4shared.com/file/246344257/16845e7/_____-__.html
Adapun
perkataan Ibnu Jauzy rahimahullah sebagaimana yang dinukil oleh Abu salafy
yaitu :
وكذا ينبغي أن يقال ليس بداخل في العالم وليس بخارج منه ، لان الدخول والخروج من لوزام المتحيزات.
“Demikian
juga harus dikatakan bahwa Dia tidak berada di dalam alam dan tidak pula di
luarnya. Sebab masuk dan keluar adalah konsekuensi yang mesti dialami benda
berbentuk
Maka
saya katakan :
Pertama
: Abu Salafy kurang tepat tatkala menerjemahkan "Al-Mutahayyizaat"
dengan benda berbentuk. Yang lebih tepat adalah jika diterjemahkan dengan
"perkara-perkara yang bertempat"
Kedua
: Kalau kita benar-benar merenungkan perkataan Ibnul Jauzy ini maka
sesungguhnya perkataan ini bertentangan dengan penjelasan Imam Ahmad
sebagaimana telah lalu tatkala Imam Ahmad berkata :"Jika engkau ingin tahu
bahwasanya Jahmiy adalah seorang pendusta tatkala menyangka bahwsanya Allah di
semua tempat bukan pada satu tempat tertentu, maka katakanlah : Bukankah Allah
dahulu (sendirian) tanpa sesuatu?. Maka ia akan menjawab : Iya. Katakan lagi
kepadanya, "Tatkala Allah menciptakan sesuatu apakah Allah menciptakan
sesuatu tersebut dalam dzat Allah ataukah di luar dzat Allah?". Maka jawabannya
hanya ada tiga kemungkinan, dia pasti memilih salah satu dari tiga kemungkinan
tersebut.
Jika
dia menyangka bahwasanya Allah menciptakan sesuatu tersebut di dalam dzat Allah
maka ia telah kafir tatkala ia menyangka bahwasanya jin dan para syaitan berada
di dzat Allah.
Jika
dia menyangka bahwasanya Allah menciptakannya di luar dzat Allah kemudian Allah
masuk ke dalam ciptaannya maka ini juga merupakan kekufuran tatkala ia
menyangka bahwasanya Allah masuk di setiap tempat dan wc dan setiap kotoran
yang buruk.
Jika
ia mengatakan bahwasanya Allah menciptakan mereka di luar Dzat-Nya kemudian
tidak masuk dalam mereka maka ia (si jahmiy) telah meninggalkan seluruh
aqidahnya dan ini adalah perkataan Ahlus Sunnah" (Ar-Rod 'alaa
Al-Jahmiyyah wa az-Zanaadiqoh hal 155-156)
Jelas
di sini perkataan Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa Allah di luar 'alam,
tidak bersatu dengan makhluknya. Hal ini jelas bertentangan dengan peraktaan
Ibnu Jauzi yang berafiliasi kepada madzhabnya Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketiga
: Peraktaan Ibnul Jauzy –rahimahullah- "bahwasanya Allah tidak di dalam
'alam semesta dan juga tidak di luar alam" melazimkan bahwasanya Allah
tidak ada di dalam kenyataan, akan tetapi Allah hanya berada dalam khayalan.
Karena ruang lingkup wujud hanya mencakup dua bentuk wujud, yaitu Allah dan
'alam semesta, jika Allah tidak di dalam 'alam dan juga tidak di luar 'alam
berarti Allah keluar dari ruang lingkup wujud, maka jadilah Allah itu pada
hakekatnya tidak ada.
Kesimpulan
:
Demikianlah
para pembaca yang budiman penjelasan tentang hakikat dari artikel yang ditulis
oleh Abu Salafy.
Kesimpulan
yang bisa di ambil tentang abu salafy adalah sebagai berikut :
Pertama
: Ana masih bingung apakah Ustadz Abu Salafy adalah seseorang yang berpemahaman
Asyaa'iroh murni ataukah lebih parah daripada itu, yaitu ada kemungkinan ia
berpemahaman jahmiyah atau mu'tazilah. Karena ketiga firqoh ini sepakat
bahwasanya Allah tidak di atas langit.
Kedua
: Atau bahkan ada kemungkinan Al-Ustadz berpemahaman Syi'ah Rofidhoh yang juga
berpemahaman bahwasanya Allah tidak di atas langit. Semakin memperkuat dugaan
ini ternyata Al-Ustadz Abu Salafy banyak menukil dari buku-buku Rafidhoh.
Selain itu Al-Ustadz Abu Salafy juga dengan tegas dan jelas mengutuk Mu'awiyyah
radhiallahu 'anhu. Oleh karenanya ana sangat berharap Al-Ustadz Abu Salafy bisa
menjelaskan siapa dirinya sehingga tidak lagi majhuul. Dan bahkan ana sangat
bisa berharap bisa berdialog secara langsung dengan Al-Ustadz.
Ketiga
: Dari penjelasan di atas ternyata Al-Ustadz Abu Salafy nekat mengambil riwayat
dari buku yang telah difonis oleh Al-Ustadz sendiri bahwa buku tersebut adalah
kedusataan demi untuk mendukung aqidah Abu Salafy. Maksud ana di sini adalah
buku Al-Fiqhu Al-Akbar karya Abu Hanifah dari riwayat Abu Muthii' Al-Balkhi
Keempat
: Abu Salafy juga ternyata melakukan tadlis (muslihat) dengan memberi sub judul
"Penegasan Imam Ahmad", namun yang dinukil oleh Al-Ustadz adalah
perkataan Ibnu Hajr Al-Haitsami
Kelima
: Aqidah yang dipilih oleh Abu Salafy adalah sebagaimana yang dinukil oleh Abu
Salafy dari Ibnul Jauzi
وكذا ينبغي أن يقال ليس بداخل في العالم وليس بخارج منه
"Hendaknya
dikatakan bahwasanya Allah tidak di dalam alam dan juga tidak diluar alam"
Inilah
aqidah yang senantiasa dipropagandakan oleh Asyaa'iroh Mutaakhirin seperti
Fakhrurroozi dalam kitabnya Asaas At-Taqdiis.
Dan
aqidah seperti ini melazimkan banyak kebatilan, diantaranya :
- Sesungguhnya sesuatu yang disifati dengan
sifat seperti ini (yaitu tidak di dalam alam dan juga tidak di luar alam, dan
tidak mungkin diberi isyarat kepadanya) merupakan sesuatu yang mustahil. Dan
sesuatu yang mustahil menafikan sifat wujud. Oleh karenanya kelaziman dari
aqidah seperti ini adalah Allah itu tidak ada
- Perkataan mereka "Allah tidak di dalam
alam dan juga tidak di luar alam" pada hakekatnya merupakan penggabungan
antara naqiidhoin (penggabungan antara dua hal yang saling bertentangan). Hal
ini sama saja dengan perkataan "Dia tidak di atas dan juga tidak di
bawah" atau "Dia tidak ada dan juga tidak tidak ada". Dan
penggabungan antara dua hal yang saling kontradiksi (bertentangan) sama halnya
dengan meniadakan dua hal yang saling bertentangan. Maka perkataan "Allah
tidak di alam dan juga tidak diluar alam" sama dengan perkataan
"Allah tidak tidak di alam dan juga tidak tidak di luar alam". Dan
telah jelas bahwasanya menggabungkan antara dua hal yang saling bertentangan
atau menafikan keduanya merupakan hal yang tidak masuk akal, alias mustahil
- Pensifatan seperti ini (yaitu : tidak di
dalam alam dan tidak di luar alam, tidak di atas dan tidak di bawah) merupakan
sifat-sifat sesuatu yang tidak ada. Jika perkaranya demikian maka sesungguhnya
orang yang beraqidah terhadap Allah seperti ini telah jatuh dalam tasybiih.
Yaitu mentasybiih (menyerupakan) Allah dengan sesuatu yang tidak ada atau
mentasybiih Allah dengan sesuatu yang mustahil.
- Pensifatan Allah dengan sifat-sifat seperti
ini masih lebih tidak masuk akal dibandingkan aqidah orang-orang hululiah
(seperti Ibnu Arobi yang meyakini bahwa Allah bersatu atau menempati
makhluknya). Meskipun aqidah hulul juga tidak masuk akal akan tetapi masih
lebih masuk akal (masih lebih bisa direnungkan oleh akal) dibandingkan dengan
aqidah Allah tidak di atas dan tidak di bawah, tidak di alam dan juga tidak di
luar alam, tidak bersatu dengan alam dan tidak juga terpisah dari alam.
Keenam
: Abu Salafy menolak keberadaan Allah di atas karena meyakini hal ini
melazimkan Allah akan diliputi oleh tempat yang merupakan makhluk. Maka kita
katakana, aqidahnya ini menunjukan bahwasanya Abu Salafylah yang terjerumus
dalam tasybiih, dan dialah yang musyabbih. Kenapa…??. Karena Abu Salafy sebelum
menolak sifat Allah di atas langit ia mentasybiih dahulu Allah dengan makhluk.
Oleh karenanya kalau makhluk yang berada di atas sesuatu pasti diliputi oleh
tempat. Karenanya Abu Salafy mentasybiih dahulu baru kemudian menolak sifat
tingginya Allah.
Ternyata
hasil aqidah yang diperoleh Abu Salafy juga merupakan bentuk tasybiih. Karena
aqidah Abu Salafy bahwasanya Allah tidak di dalam 'alam dan juga tidak di luar
alam merupakan bentuk mentasybiih Allah dengan sesuatu yang tidak ada atau
sesuatu yang mustahil (sebagaimana telah dijelaskan dalam point kelima di
atas). Jadilah Abu Salafy musyabbih sebelum menolak sifat dan musyabbih juga
setelah menolak sifat Allah.
Ketujuh
: Abu Salafy tidak menemukan satu perkataan salaf (dari generasi sahabat hingga
abad ke tiga) yang mendukung aqidahya, oleh karenanya Abu Salafypun nekat untuk
berdusta atau mengambil dari riwayat-riwayat yang tidak jelas dan tanpa sanad,
atau dia berusaha mengambil perkataan-perkataan para ulama mutaakhiriin.
Bersambung….
Kota
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 23 Dzul Qo'dah 1431 H / 31 Oktober 2010 M
Abu
Abdil Muhsin Firanda Andirja
Artikel:
www.firanda.com
Disalin
pada 23 May 2013 Klik: 55322
Untuk
lebih lengkapnya (teks arabnya), bisa klik sumbernya langsung, ada komentar dan
diskusi juga di sana.