Diterbitkan pada 19 February 2011
Kesyirikan menurut Abu Salafy
((Abu Salafy berkata:
A) Dzat, dengan meyakini ada tuhan selain
Allah SWT.
B) Khaliqiya, dengan meyakini bahwa ada
pencipta dan ada pelaku yang berbuat secara independen di alam wujud ini selain
Allah SWT.
C) Rububiyah, dengan mayakini bahwa ada
kekuatan selain Allah SWT yang mengatur alam semesta ini secara independen.
Adapun keterlibatan selain Allah, seperti para malaikat, misalnya yang
mengaturan alam adalah dibawah kendali Allah dan atas perintah dan restu-Nya.
D)Tasrî’, dengan meyakini bahwa ada pihak
lain yang memiliki kewenangan secara independen dalam membuat undang-undang dan
syari’at.
E) Hâkimiyah, dengan meyakini bahwa ada
kekuasaan yang dimiliki oleh selain Allah secara independen.
F) Ibadah dan penyembahan, dengan menyembah
dan bersujud kepada arca dan sesembahan lain selain Allah SWT, meminta darinya
sesuatu dengan kayakinan bahwa ia mampu mendatangkannya secara independen dan
dengan tanpa bantuan dan izin Allah SWT.
Batasan-batasan syirik, khususnya syirik
dalaam ibadah dan penyembahan adalah sudah jelas dalam Al Qur’an dan Sunnah.
Dari ayat-ayat Al Qur’an yang mengisahkan kaum Musyrikin dapat dimengerti bahwa
kendati kaum Musyrikin itu meyakini bahwa Allah lah yang mencipta langit dan
bumi, pemberi rizki dan pengatur alam, akan tetapi tidak ada petunjuk bahwa
mereka tidak meyakini bahwa sesembahan mereka itu; baik dari kalangan Malaikat
maupun Jin memiliki pengaruh di dalam pengaturan alam semesta ini! Dengan
pengaruh di luar izin dan kontrol Allah SWT. Mereka meyakini bahwa sesembahan
mereka mampu menyembuhkan orang sakit, menolong dari musuh, menyingkap bencana
dan kesusahan dll tanpa izin dan restu Allah!))
(http://abusalafy.wordpress.com/2008/05/31/kitab-kasyfu-asy-sybubuhat-doktrin-takfir-wahhabi-paling-ganas-23/))
Dari
sini jelaslah bahwasanya Abu Salafy hanya menyatakan seseorang terjerumus dalam
kesyirikan jika meyakini Dzat yang ia ibadahi memiliki hak independent dalam
pengaturan alam semesta. Dari sini terungkap rahasia kenapa Abu Salafy ngotot
pada dua perkara :
-
Ngotot kalau kaum musyrikin Arab tidak mengakui adanya Allah. Adapun
pernyataan mereka dalam Al-Qur'an bahwasanya Allah adalah pencipta dan pemberi
rizki hanyalah sikap berpura-pura, akan tetapi batin mereka tidak beriman
kepada Allah. (yang telah saya bantah dalam tulisan saya
http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/82-persangkaan-abu-salafy-al-majhuul-bahwasanya-kaum-musyrikin-arab-tidak-mengakui-rububiyyah-allah
dan
http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/113-sekali-lagi-tipu-muslihat-abu-salafy-cs-bag-2)
-
Ngotot kalau keyakinan kaum musyrikin bahwasanya malaikat adalah
putri-putri Allah maksudnya adalah para malaikat ikut mencipta dan member rizki
(sebagaimana telah saya bantah dalam tulisan saya
http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/126-bantahan-terhadap-abu-salafy-seri-5-hakikat-kesyirikan-kaum-muysrikin-arab)
Karena dengan dua perkara di atas maka Abu
Salafy ingin menggolkan pemikirannya bahwa yang namanya kesyirikan adalah jika
seseorang meyakini ada dzat lain yang ikut mencipta dan memberi rizki dan
mengatur alam semesta selain Allah.
Oleh karenanya wajar jika Abu Salafy
menyatakan bahwa :
Pertama : Berdoa kepada selain Allah jika
dilakukan oleh seorang muslim maka itu bukanlah kesyirkian. Jika seseorang
berdoa dan berkata ; "Wahai Rasulullah sembuhkanlah aku, wahai Rasulullah
selamatkanlah aku" maka ini bukanlah kesyirikan selama orang tersebut
tidak meyakini Rasulullah ikut mencipta alam dan pemberi rizki serta ikut
mengatur alam semesta. Oleh karenanya wajib bagi kita untuk membawakan lafal
orang ini pada artian "Wahai Rasulullah mintalah kepada Allah agar
menyembuhkan aku dan agar menyelamatkan aku"
Abu Salafy berkata ((Sebab sebagaimana harus
kita yakini bahwa seorang Muslim Mukmin yang meyakini bahwa apapun selain Allah
SWT tidak memiliki daya dan kekuatan apapun… tidak dapat memberikan manfa’at
atau mudharrat apapun…. kecuali dengan izin Allah, sudah cukup sebagai alasan
bagi kita untuk menilai positif apa yang ia lakukan… cukup alasan untuk
mengatakan bahwa sebenarnya apa yang ia lakukan adalah tidak lain hanyalah
meminta syafa’at dan meminta dido’akan. Andai-kata kita tidak mengetahui dengan
pasti apa yang menjadi tujuan dari apa yang ia kerjakan, maka adalah wajib
untuk menilai positif amalan dan ucapan seorang Muslim dengan dasar kewajiban
penilai positif setiap amalan atau ucapan Muslim selagi bisa dan ada jalan
untuk itu, sehingga tertutup seluruh jalan untuk penafsiran positif dan tidak
ada penafsiran lain selai keburukan)), Abu salafy juga berakta ((misalnya
ketika ia menyeru, ‘Ya Rasulullah sembuhkan aku’ sebenarnya ia sedang meminta
agar Rasulullha saw. sudi menjadi perantara kesembuhan dengan memohonkannya
dari Allah SWT. kendati ia meyakini bahwa kesembuhan itu dari Allah, akan
tetapi karena ia dengan perantaraan do’a dan syafa’at Rasulullah, maka ia
menisbatkannya kepada sebab terdekat. Penyusunan kalimat dengan bentuk seperti
itu banyak kita jumpai dalam Al Qur’an, Sunnah dan pembicaraan orang-orang
Arab. Mereka menamainya dengan Majâzz ‘Aqli, yaitu “menyandarkan sebuah
pekerjaan tertentu kepada selain pelakunya, baik karena ia sebagai penyebab
atau selainnya, dikarenakan adanya qirînah/alasan yang membenarkan”.
Seperti dalam contoh, “Si Raja membangun
Istana yang sangat megah” dalam ucapan di atas, semua tau bahwa bukan maksud si
pengucap bahwa sang raja itu sendiri yang membangun dinding-dinding, memasang
altar, dan kramik istana itu misalnya, semua mengerti bahwa yang ia maksud
ialah bahwa yang membangun adalah para tukang bangunan, yang merancang adalah
para arsitek, mereka adalah sebab terdekad terbangunnya istana megah itu, akan
tetapi karena semua itu atas peritah sang Raja, maka tidaklah salah apabila ia
mengatakan bahwa Sang raja membangun istana! Sebagaimana tidak salah pula
apabila ia mengatakan bahwa para pekerja/tukang bangunan telah membangun istana
Raja!
Dalam kasus kita di atas misalnya, qarînah
yang membenarkan pemaknaan tersebut adalah dzahir keadaan si Muslim. Karena
pengucapnya adalah seorang Muslim yang meyakini dan mengikrarkan bahwa selain
Allah tidak ada yang memiliki daya dan kekuatan apapun baik untuk dirinya
maupun untuk orang lain, baik memberi manfa’at ataupun mudharrat… semua yang
terjadi adalah dengan taqdir dan ketetapan Allah SWT… maka hal ini sudah cukup
sebagain qarînah yang membenarkannya.
Oleh sebab itu para ulama mengatakan bahwa
ucapan seperti: ‘Musim semi itu menumbuhkan tanaman’ jika diucapkan oleh
seorang Muslim maka ia tidak menunjukkan kemusyrikan, sebab ia termasuk
ketegori majâz ‘aqli, akan tetapi jika pengucapnya adalah seorang ateis atau
yang tidak percaya Tuhan, misalnya maka ia menunjukkan kemusyrikan, sebab ia
bukan termasuk majâz ‘aqli, ia mengucapkannnya dengan haqîqatan! Ia menisbatkan
pelaku penumbuhan tanaman itu kepada musim semi dengan sepenuh keyakinan bahwa
musim semi-lah yang yang menumbuhkannya bukan Allah SWT.
Dari sini dapat dimengerti bahwa sebenarnya
tidak ada perbedaan antara ucapan seorang Muslim ‘Musim semi itu menumbuhkan
tanaman’ dengan ucapannya “Wahai Rasulullah, sembuhkan aku dari sakitku”?!)),
Abu Salafy juga berkata ((Lalu apakah dikarenakan ucapan tersebut di atas
seorang Muslim dihukumi telah musyrik/menyekutukan Allah SWT.?! Tentu tidak!!
Benar, apabila seorang yang mengucapkannya
meyakini bahwa yang ia seru itu mampu melakukan apa yang ia minta dengan tanpa
bantaun dan taqdir Allah maka ia jelas telah menyekutukan Allah SWT. dan
pastilah kaum Muslimin akan berlepas diri dari kemusrikan itu. Tetapi
permasalahannya, apakah demikian yang diyakini kaum Muslimin ketika mereka
ber-istghatsah dan memanggil mana Rasulullah saw., atau nama hamba-hamba shaleh
pilihan Allah sepeti Ahlulbait Nabi dan para waliyullah! )) ((lihat
http://abusalafy.wordpress.com/2008/05/22/kitab-kasyfu-asy-sybubuhat-doktrin-takfir-wahhabi-paling-ganas-18/))
Kedua : Jika seseorang menyembelih kepada
selain Allah, kepada para wali misalnya, maka demikian pula menurut Abu Salafy
maka itu bukanlah kesyirikan jika dilakukan oleh seorang muslim. Karena tidak
seorang muslimpun yang meyakini wali tersebut ikut mengatur dan mencipta serta
memberi rizki. Oleh karenanya jika ada seorang muslim yang menyembelih kepada
selain Allah maka harus dibawakan kepada makna orang tersebut menyembelih untuk
wali agar sang wali menjadi perantara antara ia dengan Allah dalam memenuhi
hajatnya. Abu Salafy juga berkata ((…. ketika ada seorang bernazar menyembelih
seekor binatang ternak untuk seorang wali misalnya, maka kaum wahhabi segera
menudingnya sama dengan kaum Musyrik yang memberikan sesajen kepada para arca
…. padahal yang perlu mereka ketahui bahwa seorang muslim yang sedang bernazar
itu ia sedang meniatkan agar pahala sembelihannya diberikan kepada si wali
tersebut! Anggap praktik seperti itu salah, tetapi ia pasti bukan sebuah
kemusyrikan…))(http://abusalafy.wordpress.com/2008/04/22/kasyf-asy-sybuhat-doktrin-takfir-paling-ganas-14/)
Sanggahan
Untuk menyanggah pernyataan Abu salafy maka
saya ingatkan kepada para pembaca tiga perkara:
Pertama : Bahwasanya hakekat kesyirikan
adalah menyerahkan ibadah kepada selain Allah. Kita telah mengikrarkan dalam
sholat kita
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya Engkaulah yang Kami sembah (QS
Al-Faatihah : 5)
Oleh karenanya seluruh peribadatan kepada
selain Allah adalah bentuk kesyirikan.
Contoh-contoh ibadah seperti sujud, ruku',
bernadzar, menyembelih, dan merupakan ibadah yang sangat agung adalah berdoa,
demikian juga istigotsah yang merupakan bentuk berdoa tatkala dalam keadaan
genting.
Oleh karenanya sebagaimana sujud, ruku,
menyembelih jika diserahkan kepada selain Allah merupakan kesyirikan maka
demikian pula berdoa. Bahkan ayat-ayat yang menunjukan akan larangan berdoa
kepada selain Allah lebih banyak daripada ayat tentang larangan sujud dan
menyembelih kepada selain Allah.
Kedua : Hakekat kesyirikan kaum musyrikin
Arab adalah menjadikan sesembahan mereka sebagai perantara untuk mendekatkan
mereka kepada Allah dan juga sebagai pemberi syafaat bagi mereka di sisi Allah
(sebagaimana telah saya jelaskan di
http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/126-bantahan-terhadap-abu-salafy-seri-5-hakikat-kesyirikan-kaum-muysrikin-arab)
Ar-Roozii berkata : "Mereka (kaum kafir)
mereka menjadikan patung-patung dan arca-arca dalam bentuk para nabi-nabi
mereka dan orang-orang mulia mereka, dan mereka menyangka bahwasanya jika
mereka beribadah kepada patung-patung tersebut maka orang-orang mulia tersebut
akan menjadi pemberi syafaat bagi mereka di sisi Allah. Dan yang semisal ini di
zaman sekarang ini banyak orang yang mengagungkan kuburan-kuburan orang-orang
mulia dengan keyakinan bahawasanya jika mereka mengagungkan kuburan-kuburan
orang-orang mulia tersebut maka mereka akan menjadi pemberi syafaat bagi mereka
di sisi Allah" (Mafaatiihul Goib/At-Tafsiir Al-Kabiir 17/63)
Ibnu Katsiir berkata : "Mereka membuat
patung-patung di atas bentuk para malaikat yang mendekatkan (kepada Allah-pen)
menurut persangkaan mereka. Maka merekapun menyembah patung-patung berbentuk
tersebut dengan menempatkannya sebagai peribadatan mereka kepada para malaikat,
agar para malaikat memberi syafaat bagi mereka di sisi Allah dalam menolong
mereka dan memberi rizki kepada mereka dan perkara-perkara dunia yang menimpa
mereka…
Oleh karenanya mereka berkata dalam talbiyah
mereka tatkala mereka berhaji di zaman jahiliyyah : "Kami Memenuhi
panggilanmu Ya Allah, tidak ada syarikat bagiMu kecuali syarikat milikMu yang
Engkau memilikinya dan ia tidak memiliki"
Syubhat inilah yang dijadikan sandaran oleh
kaum musyrikin zaman dahulu dan zaman sekarang" (Tafsiir Al-Qur'aan
Al-'Adziim 12/111-112)
Para pembaca yang budiman dalam pernyataannya
di atas Ar-Roozi dan Ibnu Katsir dengan tegas menyatakan bahwa syubhat mencari
syafaat inilah yang telah menjerumuskan kaum muysrikin zaman dahulu dan zaman
sekarang.
Ketiga : Beristigotsah kepada selain Allah
yaitu kepada para wali yang sudah meninggal atau kepada Rasulullah dengan
meyakini bahwa para wali tersebut hanyalah sebagai sebab dan pada hakekatnya
Allah-lah yang menolong…itulah hakekat kesyirikan kaum musyrikin Arab di zaman
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena beristigotsah kepada selain Allah
adalah bentuk berdoa kepada selain Allah. Dan doa merupakan ibadah yang sangat
agung, maka barangsiapa yang menyerahkan kepada selain Allah berarti ia telah
beribadah kepada selain Allah, dan barangsiapa yang beribadah kepada selain
Allah maka dia adalah seorang musyrik.
Doa adalah ibadah yang sangat penting maka
jika diserahkan kepada selain Allah merupakan syirik besar
Ibadah secara bahasa berarti ketundukan dan
perendahan, Al-Jauhari rahimahullah berkata:
"Asal dari ubudiyah (peribadatan) adalah
ketundukan dan kerendahan…, dikatakan الطَّرِيْقُ الْمُعَبَّدُ (jalan yang
ditundukan/mudah untuk ditempuh) dan الْبَعِيْرُ الْمُعَبَّدُ (onta yang tunduk/taat kepada tuannya) (As-Shihaah
2/503, lihat juga perkataan Ibnu Faaris di Mu'jam Maqooyiis Al-Lugoh 4/205, 206
dan perkataan Az-Zabiidi di Taajul 'Aruus 8/330)
Adapun definisi ibadah menurut istilah adalah
tidak jauh dari makna ibadah secara bahasa yaitu ketaatan dan ketundukan serta kerendahan:
At-Thobari berkata pada tafsir surata
al-Faatihah:
"Kami hanyalah memilih penjelasan dari
tafsir ((Hanya kepada Engkaulah kami beribadah)) maknanya adalah kami tunduk,
kami rendah, dan kami patuh… karena ubudiyah menurut seluruh Arab asalnya
adalah kerendahan" (Tafsiir At-Thobari 1/159)
Al-Qurthubi berkata :
"((kami beribadah)) maknanya adalah :
kami taat kepadaNya, dan Ibadah adalah : ketaatan dan kerendahan, dan jalan
yang ditundukan jika ditundukan agar bisa ditempuh oleh para pejalan,
sebagaimana dikatakan oleh Al-Harowi" (Tafsiir Al-Qurthubi 1/223)
Sesungguhnya doa merupakan ibadah yang sangat
penting, karena pada doa nampaklah kerendahan dan ketundukan orang yang berdoa
kepada dzat yang menjadi tujuan doa. Pantas saja jika Nabi bersabda :
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ ثُمَّ قَرَأَ : {وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ}.
"Doa itulah ibadah", kemudian Nabi
membaca firman Allah ((Dan Rob kalian berkata : Berdoalah kepadaKu niscaya Aku
kabulkan bagi kalian))" (HR Ahmad no 18352, Abu Dawud no 1481, At-Tirmidzi
no 2969, Ibnu Maajah no 3828, dan isnadnya dinyatakan jayyid (baik) oleh Ibnu
Hajar dalam Fathul Baari 1/49)
Ibnu Hajar berkata menjelaskan agungnya
ibadah doa :
"Jumhur (mayoritas ulama) menjawab
bahwasanya doa termasuk ibadah yang paling agung, dan hadits ini seperti hadits
yang lain
الْحَجُّ عَرَفَةُ
"Haji adalah (wuquf di padang)
Arofah"
Maksudnya (wuquf di Arofah) merupakan
dominannya haji dan rukun haji yang paling besar. Hal ini dikuatkan dengan hadits yang
dikeluarkan oleh At-Thirimidzi dari hadits Anas secara marfuu' :
الدُّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ
"Doa adalah inti ibadah"
Telah banyak hadits dari Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam yang memotivasi dan mendorong untuk berdoa, seperti hadits
Abu Huroiroh yang marfuu':
لَيْسَ شَيْئٌ أَكْرَمَ عَلَى اللهِ مِنَ الدُّعَاءِ
"Tidak ada sesuatupun yang lebih mulia
di sisi Allah daripada doa"
Diriwayatkan oleh At-Thirmidzi dan Ibnu
Maajah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibbaan" (Fathul Baari 11/94)
Oleh karenanya pantas jika Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda
أقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ؛ فَأَكْثِرُوْا الدُّعَاءَ
"Kondisi seorang hamba paling dekat
dengan Robnya tatkala ia sujud, maka perbanyaklah doa" (HR Muslim no 215)
Imam An-Nawawi berkata;
أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ وَهُوَ مُوَافِقٌ لِقَوْلِ اللهِ تعالى وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ وَلِأَنَّ السُّجُوْدَ غَايَةُ التَّوَاضُعِ وَالْعُبُوْدِيَّةِ للهِ تعالى
"((Kondisi seorang hamba paling dekat
dengan Robnya tatkala ia sujud)) dan ini sesuai dengan friman Allah ((Sujudlah
dan mendekatlah)), dan karena sujud merupakan puncak tawadhu' dan peribadatan
kepada Allah" (Al-Minhaaj 4/206)
Oleh karenanya posisi sujud merupakan posisi
yang menunjukan rendahnya seorang hamba karenanya merupakan kondisi yang sangat
pas bagi seorang hamba untuk memperbanyak doa. Karena tatkala doa nampaklah
kebutuhan dan kerendahan seorang yang berdoa di hadapan Allah.
Al-Hulaimi (wafat tahun 403 H) berkata :
"Dan doa secara umum merupakan bentuk
ketundukkan dan perendahan, karena setiap orang yang meminta dan berdoa maka ia
telah menampakkan hajatnya (kebutuhannya) dan mengakui kerendahan dan kebutuhan
kepada dzat yang ia berdoa kepadanya dan memintanya. Maka hal itu pada hamba
seperti ibadah-ibadah yang dilakukan untuk bertaqorrub kepada Allah. Oleh
karenanya Allah berfirman ((Berdoalah kepadaku niscaya akan Aku kabulkan,
sesungguhnya orang-orang yang sombong dari beribadah kepadaku akan masuk dalam
neraka jahannam dalam keadaan terhina)). Maka Allah menjelaskan bawhasanya doa
adalah ibadah" (Al-Minhaaj fai syu'ab Al-Iimaan 1/517)
Al-Hulaimi juga berkata :
"Hendaknya rojaa' (pengharapan) hanyalah
untuk Allah karena Allah-lah Yang Maha Esa dalam kepemilikan dan pembalasan.
Tidak ada seorangpun selain Allah yang menguasai kemanfaatan dan kemudhorotan.
Maka barangsiapa yang berharap kepada dzat yang tidak memiliki apa yang ia
tidak miliki maka ia termasuk orang-orang jahil. Dan jika ia menggantungkan
rojaa (pengharapannya) kepada Allah maka hendaknya ia meminta kepada Allah apa
yang ia butuhkan baik perkara kecil maupun besar, karena semuanya di tangan
Allah tidak ada yang bisa memenuhi kebutuhan selain Allah. Dan meminta kepada
Allah adalah dengan berdoa" (Al-Minhaaj fi Syu'ab Al-Iimaan 1/520)
Ar-Roozi berkata :
"Dan mayoritas orang berakal berkata :
Sesungguhnya doa merupakan kedudukan peribadatan yang paling penting, dan hal
ini ditunjukkan dari sisi (yang banyak) dari dalil naql (ayat maupun
hadits-pen) maupun akal. Adapun dalil naql maka banyak" (Mafaatihul Goib
5/105)
Kemudian Ar-Roozi menyebutkan dalil yang
banyak kemudian ia berkata :
"Allah berfirman ((Dan jika
hamba-hambaKu bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang aku maka sesungguhnya
aku dekat)), dan Allah tidak berkata ((Katakanlah aku dekat)), maka ayat ini
menunjukkan akan pengagungan kondisi tatkala berdoa dari banyak sisi. Yang
pertama, seakan-akan Allah berkata : HambaKu engkau hanyalah membutuhkan
washithoh (perantara) di selain waktu berdoa adapun dalam kondisi berdoa maka
tidak ada perantara antara Aku dan engkau" (Mafaatihul Goib 5/106)
Lantas bagaimana jika kerendahan dan
ketundukkan kondisi seseorang yang sedang berdoa ini diserahkan dan
diperuntukkan kepada selain Allah?, kepada para nabi dan para wali??!!.
Bukankah ini merupakan bentuk beribadah kepada selain Allah alias syirik??!!
Sungguh dalil-dalil yang menunjukkan
bahwasanya berdoa kepada selain Allah merupakan kesyirikan sangatlah banyak.
Diantaranya firman Allah :
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang
yang berdoa kepada selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa) nya
sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? (QS
Al-Ahqoof : 5)
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
Dan Barangsiapa berdoa kepada Tuhan yang lain
di samping Allah, Padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, Maka
Sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang
kafir itu tiada beruntung (QS Al-Mukminun 117)
فَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ
Maka janganlah kamu berdoa kepada Tuhan yang
lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang di'azab
(Asy-Syu'aroo : 213).
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ
Atau siapakah yang mengabulkan (doa) orang
yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan
kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah
disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).
(QS An-Naml : 62)
وَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا إِلَهَ إِلا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Dan janganlah kamu berdoa di Tuhan apapun
yang lain disamping (berdoa kepada) Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia. tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.
bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan (QS
Al-Qoshosh : 88).
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
Dan Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah
kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu berdoa seseorangpun di dalamnya di samping
berdoa Allah. (QS Al-Jin : 18)
Rasulullah bersabda :
مَنْ مَاتَ وَهْوَ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ نِدًّا دَخَلَ النَّارَ
"Barangsiapa yang meninggal dalam
keadaan berdoa kepada selain Allah maka masuk neraka" (HR Al-Bukhari no
4497)
Itulah dalil yg banyak yang menunjukkan bahwa
berdoa kepada selain Allah merupakan kesyirikan.
Lantas bagaimana ustadz abu Salafy menyatakan
bahwasanya jika seseorang berdoa kepada selain Allah, kepada Nabi atau kepada
wali maka itu bukanlah kesyirikan selama tidak disertai keyakinan bahwasanya
wali atau nabi tersebut ikut mencipta dan mengatur alam semesta serta memberi
rizki??!!
Perkataan seseorang "Wahai Rasulullah,
sembuhkanlah aku!!!" ini bukanlah kesyirikan??, perkataan seseorang,
"Wahai Abdul Qodir Jailani, tolonglah aku…!!", ini juga bukan
kesyirikan??!!, iya bukan kesyirikan, selama tidak meyakini Nabi dan Abdul
Qodir Jailani ikut mencipta dan mengatur alam semesta..!!!!, demikianlah
keyakinan Abu Salafy.
Dan saya harap para pembaca memperhatikan
ayat-ayat dan hadits di atas yang bersifat umum tentang doa. Allah dan Nabi
shallallahu 'alahi wa sallam tidak pernah mengecualikan bahwasanya jika berdoa
kepada makhluk dengan keyakinan bahwasanya makhluk tersebut (baik malaikat atau
nabi atau wali) tidak ikut mencipta, mengatur, dan memberi rizki secara
independent maka bukan kesyirikan.
Lebih aneh lagi Abu Salafy tidak menganggap
istighotsah sebagai ibadah. Abu Salafy berkata ((Sebab inti masalahnya
sebenarnya terletak pada pemahaman menyimpang Ibnu Taimyah dan para mukallidnya
seperti Ibnu Abdil Wahhâb dan kaum Wahhâbi mukallidnya dalam mendefinisikan
makna ibadah…di mana mereka memasukkan meminta syafa’at, beristighatsah,
bertawassul dll. misalnya sebagai bentuk kemusyrikan… sementara para mufassir
klasik yang selama ini dirujuk kaum Wahhâbiyyûn dan Salafiyyûn sama sekali
tidak memasukkannya dalam daftar kemusyrikan!)) (lihat http://abusalafy.wordpress.com/2011/01/08/benarkan-kaum-musyik-arab-beriman-kepada-tauhid-rububiyyah-allah-bantahan-untuk-ustad-firanda-i/)
Sungguh kedustaan yang dinyatakan oleh Abu
Salafy, justru para ahli tafsir telah menjelaskan hal tersebut merupakan
kesyirikan. Kita malah balik bertanya ulama ahli tafsir mana yang menyatakan
bahwa beristigotsah dan berdoa kepada selain Allah –selama tidak syirik dalam
rububiyah- bukanlah kesyirikan??!!
Karenanya jika kita bertanya kepada
orang-orang yang beristigotsah kepada para wali dengan berdoa kepada wali
tatkala dalam keadaan genting, "Apakah jika kalian beristigotsah dan
berdoa kepada Allah tatkala dalam keadaan genting maka bukankah hal itu merupakan
ibadah?", tentunya mereka akan menjawab : iya. Tidak ada seorang muslimpun
yang mengingkari hal ini bahwa seseorang yang dalam keadaan terdesak lantas
berdoa kepada Allah maka berarti ia beribadah kepada Allah !!! Ini semakin
menegaskan bahwasanya berdoa dan beristigotsah merupakan ibadah. Lantas
bagaimana Abu Salafy tidak menganggap istighotsah sebagai ibadah??!!
Tentang majaz 'aqliy
Untuk semakin memperkuat igauannya maka
ustadz Abu Salafy berdalil dengan majaz aqli, ia berkata ((misalnya ketika ia
menyeru, ‘Ya Rasulullah sembuhkan aku’ sebenarnya ia sedang meminta agar
Rasulullha saw. sudi menjadi perantara kesembuhan dengan memohonkannya dari
Allah SWT. kendati ia meyakini bahwa kesembuhan itu dari Allah, akan tetapi
karena ia dengan perantaraan do’a dan syafa’at Rasulullah, maka ia
menisbatkannya kepada sebab terdekat. Penyusunan kalimat dengan bentuk seperti
itu banyak kita jumpai dalam Al Qur’an, Sunnah dan pembicaraan orang-orang
Arab. Mereka menamainya dengan Majâzz ‘Aqli, yaitu “menyandarkan sebuah
pekerjaan tertentu kepada selain pelakunya, baik karena ia sebagai penyebab
atau selainnya, dikarenakan adanya qirînah/alasan yang membenarkan”.))
Maka sanggahan terhadap perkataannya ini dari
beberapa sisi, diantaranya :
Pertama : Pendalilan dengan majaz 'aqli untuk
membenarkan kesyirikan atau mentakwil kesyirikan tidak pernah disebutkan oleh
seorang ulama pun dari kalangan mutaqoddimin sepanjang pengetahuan saya. Semua
ulama menghukumi syiriknya seseorang dengan dzohir lafal kesyirikan yang terucap.
Pentakwilan dengan majaz 'aqli ini adalah bid'ah yang dicetuskan oleh Ali bin
Abdil Kaafi As-Subki (wafat 746 H) dalam kitabnya Syifaa As-Siqoom fi ziyaaroh
khoir Al-Anaam (hal 174), kemudian ditaqlid buta oleh Ahmad bin Zaini Dahlaan
(wafat 1304 H) dalam kitabnya "Ad-Duror As-Saniyah fi Ar-Rod 'alaa
Al-Wahaabiyah" dan Muhammad Alawi Al-Maaliki dalam kitabnya
"Mafaahiim yajibu an tushohhah". Dan sekarang diwarisi oleh muqollid
mereka Abu Salafy.
Kedua : Hal ini melazimkan bahwa tidak
seorangpun yang kafir dengan lisannya, karena setiap seseorang mengucapkan
kesyirikan atau bahkan kekufuran maka harus dibawakan kepada makna yang benar
dengan qorinah (indikasi) keislaman pengucapnya.
Yang lebih parah lagi Abu Salafy tidak hanya
menerapkan majaz 'aqli pada perkataan syirik seperti doa "Yaa Rasuulallah
sembuhkanlah aku", bahkan ia juga menerapkan majaz 'aqliy pada perbuatan
syirik, seperti menyembelih kepada wali.
Jika perkaranya demikian maka percuma bab-bab
tentang kemurtadan yang ditulis oleh para ulama, tidak ada faedahnya, karena
jika ada seseorang yang mengucapkan kekufuran atau kesyirikan maka harus di
takwil pada makna yang tidak syirik karena pelakunya ber KTP islam, padahal
para ulama telah sepakat bahwasanya seseorang tidak boleh mengucapkan perkataan
kufur kecuali jika dipaksa.
Ketiga : Hal ini melazimkan bahwasanya kaum
musyrikin yang menyembah berhala orang sholeh atau menyembah malaikat juga
tidak bisa dihukumi sebagai kaum musyrikin. Karena mereka mengakui dalam banyak
ayat bahwasanya Allahlah satu-satunya pencipta, pemberi rizki, dan pengatur
alam semesta. Pengakuan mereka terhadap rububiyah Allah ini merupakan qorinah
bahwasanya permintaan mereka kepada berhala orang sholeh hanyalah majaz 'aqliy
Keempat : Dalih majaz 'aqliy ini melazimkan
bolehnya para penyembah kubur untuk menyerahkan sebagian ibadah kepada para
wali dengan alasan mereka hanya menjadikan para wali penghuni kuburan tersebut
sebagai sebab, dan yang mengabulkan hanyalah Allah
Kelima : Hal ini melazimkan tidak boleh ada
pengingkaran sama sekali terhadap kesyirikan yang terjadi ditengah kaum
muslimin yang memiliki KTP muslim, karena KTP nya merupakan qorinah bahwasanya
perkataan dan perbuatan syiriknya adalah bukan kesyirikan.
Keenam: Bahkan berdasarkan pemahaman Abu
Salafy memang tidak ada kesyirikan sama sekali di umat ini, karena tidak ada
diantara mereka yang meyakini bahwa ada dzat lain yang ikut mencipta, mengatur
alam semesta, dan memberi rizki secara independent
Ketujuh : Majaaz 'aqliy secara umum adalah
menyandarkan fi'il (perbuatan) bukan kepada pelakunya yang hakiki akan tetapi
kepada salah satu dari dua perkara:
-
Penyandaran fi'il kepada waktu atau tempat terjadinya fi'il. Penyandaran
perbuatan kepada waktu seperti misalnya perkataan "Musim semi telah menumbuhkan
tanaman" (maksudnya : Allah menumbuhkan tanaman di waktu musim semi).
Penyandaran perbuatan kepada tempat misalnya perkataan "Jalan kota Jakarta
ramai" (maksudnya : "Orang-orang ramai di jalan kota Jakarta",
karena keramaian dilakukan oleh orang-orang para pengguna jalan dan bukan
dilakukan oleh jalan)
-
Penyadaran fi'il (perbuatan) kepada sebab terjadinya fi'il. Contohnya
perkataan "Gubernur membangun gedung yang tinggi" (maksudnya :
Gubernur sebab dibangunnya gedung yang tinggi yaitu dengan memerintahkan para
pekerja" (lihat Al-Balaagoh Al-Waadhihah
karya Ali Al-Jaarim dan Mushthofa Amiin, hal 115-117)
Maksud dari ustadz abu salafy dengan
pendalilan majaz 'aqliy di sini adalah
menyandarkan fi'il kepada sebab terjadinya fi'il, bukan kepada waktu
atau tempat terjadinya fi'il. Karenanya ustadz Abu Salafy menjelaskan
bahwasanya perkataan seseorang "Wahai Rasululullah sembuhkanlah aku"
atau "Wahai wali fulan selamatkanlah aku, angkatlah musibahku"
maksudnya adalah, "Yaa Allah sembuhkanlah aku, yaa Allah angkatlah
musibahku". Sebagaimana taktala kita
berkata "Musim semi menumbuhkan tanaman" maksudnya "Allah
menumbuhkan tanaman tatkala musim semi"
Oleh karenanya agar bisa tepat penerapan
majaz aqliy di sini maka seorang yang beristighotsah kepada wali tatkala dalam
kondisi genting maka dia harus meyakini bahwa wali tersebut merupakan sebab
yang pasti untuk datangnya pertolongan Allah, maka ia harus memiliki tiga
keyakinan:
-
Wali yang sudah mati ini bisa mendengar seruannya tatkala ia dalam
keadaan genting dimanapun ia berada
-
Meyakini bahwa sang wali yang sudah mati ini mengetahui kondisi musibah
yang sedang ia alami, karena jika sang wali tidak pasti tahu maka berarti sang
wali bukanlah sebab.
-
Meyakini bahwasanya wali ini pasti memberi syafaat baginya di sisi
Allah. Karena kalau tidak pasti maka berarti wali ini bukanlah sebab
Dan ketiga keyakinan ini 1)bahwa wali
mendengar secara mutlaq, dan 2)sang wali memiliki ilmu yang mutlaq sehingga
mengetahui musibah yang sedang dialaminya, dan 3)syafaat mutlaq (bahwasanya
sang wali pasti memberi syafaat kepadanya) tidak diragukan lagi merupakan
kesyirikan.
Kedelapan : Hukum asal dalam memahami sebuah
perkataan adalah dibawa ke makna hakiki bukan ke makna majaz. Oleh karenanya
para ulama balaghoh juga tidak membolehkan majaz 'aqli secara mutlaq digunakan,
oleh karenanya mereka hanya menyebutkan sedikit contoh berupa syair-syair atau
perkataan-perkataan yang beredar di masyarakat.
Jika kita mendengar sebuah perkataan
"Musim semi menumbuhkan tanaman" maka –secara akal- kita akan paham
bahwa maksud dari pengucap kata ini adalah "Allah menumbuhkan tanaman
tatkala musim semi". Maka saya ingin bertanya secara jujur kepada abu
salafy apakah tatkala seseorang berkata "Yaa Husain angkatlah musibah
kami, wahai Husain sembuhkanlah aku, wahai Rasulullah sembuhkanlah aku"
maksudnya adalah "Wahai Allah sembuhkanlah aku"??!!!, apakah Abu
salafy memahami demikian??!!. Jangan-jangan yang mengucapkan "Abdul Qodir
Jailani selamatkanlah aku" ia sendiri tidak paham apa itu majaz
''aqliy??!!.
Kesembilan : Apakah orang yang dalam keadaan
genting kemudian mengucapkan "Wahai Abdul Qodir Jailani selamatkanlah
aku" tatkala itu ketundukannya dan rasa pengharapannya sedang ia tujukan
kemana??, kepada Allah semata??, ataukah juga kepada Abdul Qoodir jailaani??,
bukankah inilah hakekat kesyirikan???
Bukankah Allah-lah yang menghilangkan
kesulitan??
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ
Atau siapakah yang mengabulkan (doa) orang
yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan
kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah
disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).
(QS An-Naml : 62)
Kesepuluh : Taruhlah bahwasanya maksud
seseorang tatkala berucap "Wahai Abdul Qodir Jailaani, tolonglah aku"
maksudnya adalah berdoa kepada Abdul Qodir jailani agar memberi syafaat baginya
di sisi Allah, agar Allah menolongnya. Bukankah inilah hakekat kesyirikan kaum
musyrikin Arab?? (sebagaimana telah saya jelaskan di
http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/126-bantahan-terhadap-abu-salafy-seri-5-hakikat-kesyirikan-kaum-muysrikin-arab)
Kesebelas : Bukankah Rasulullah juga melarang
lafal-lafal yang mengandung kesyirikan meskipun pengucapnya tidak berkeyakinan
kesyirikan??
Renungkanlah hadits-hadits berikut ini
أَنَّ يَهُودِيًّا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّكُمْ تُنَدِّدُونَ وَإِنَّكُمْ تُشْرِكُونَ تَقُولُونَ مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ وَتَقُولُونَ وَالْكَعْبَةِ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادُوا أَنْ يَحْلِفُوا أَنْ يَقُولُوا وَرَبِّ الْكَعْبَةِ وَيَقُولُونَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شِئْتَ
"Ada seorang yahudi mendatangi Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Sesungguhnya kalian berbuat
kesyirikan, kalian berkata : "Atas kehendak Allah dan kehendakmu",
dan kalian berkata : "Demi Ka'bah". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam memerintahkan mereka jika mereka hendak bersumpah hendaknya mereka
berkata "Demi Robnya ka'bah", dan mereka berkata : "Atas
kehendak Allah kemudian kehendakmu" (HR An-Nasaai no 3782)
Dalam hadits ini orang yahudi saja mengerti
bahwasanya bersumpah atas nama selain Allah adalah kesyirikan dan mengucapkan
"Atas kehendakmu dan kehendak Allah" adalah kesyirikan. Dan hal ini
diiqror (diakui) oleh Nabi dan Nabi tidak membiarkan para sahabat untuk tetap
mengucapkan perkataan-perkataan tersebut karena majaz 'aqliy, tentunya para
sahabat tidak meyakini ada pencipta selain Allah.
Kesyirikan lafal-lafal tersebut diperkuat dan
dipertegas oleh Nabi.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا شَاءَ اللهُ، وَشِئْتَ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَجَعَلْتَنِي وَاللهَ عَدْلًا بَلْ مَا شَاءَ اللهُ وَحْدَهُ "
Dari Ibnu Abbaas radhiallahu 'anhumaa ada
seseorang berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam : "Atas
kehendak Allah dan kehendakmu". Maka Nabi shallahu 'alaihi wa sallam
berkata, "Apakah engkau menjadikan aku tandingan bagi Allah", akan
tetapi "Atas kehendak Allah saja" (HR Ahmad 3/339 no 1839, Ibnu
Maajah no 2117)
Nabi juga bersabda :
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
"Barangsiapa yang bersumpah dengan
selain Allah maka telah berbuat kesyirikan" (HR Ahmad 9/275 no 5375 dan
Abu Dawud no 3253)
Kedua belas : Tidak diragukan lagi bahwasanya
para sahabat dan juga para tabi'in banyak mengalami kondisi-kondisi yang
genting, akan tetapi tidak seorangpun dari mereka yang kemudian beristigotsah
kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Peringatan :
Telah jelas Abu Salafy menyatakan bahwasanya
barangsiapa yang berdoa kepada selain Allah, meminta kepada wali yang sudah
mati tidak akan terjerumus dalam kesyirikan selama tidak meyakini bahwa wali
tersebut tidak ikut mencipta, mengatur alam semesta, dan ikut memberi rizki.
Abu salafy berkata ((Syirik adalah sudah
jelas, ia menyekutukan Allah SWT. dalam:
A) Dzat, dengan meyakini ada tuhan slain
Allah SWT.
B) Khaliqiya, dengan meyakini bahwa ada
pencipta dan ada pelaku yang berbuat secara independen di alam wujud ini selain
Allah SWT.
C) Rububiyah, dengan mayakini bahwa ada
kekuatan selain Allah SWT yang mengatur alam semesta ini secara independen.
Adapun keterlibatan selain Allah, seperti para malaikat, misalnya yang
mengaturan alam adalah dibawah kendali Allah dan atas perintah dan restu-Nya….
F) Ibadah dan penyembahan, dengan menyembah
dan bersujud kepada arca dan sesembahan lain selain Allah SWT, meminta darinya
sesuatu dengan kayakinan bahwa ia mampu mendatangkannya secara independen dan
dengan tanpa bantuan dan izin Allah SWT.
Batasan-batasan syirik, khususnya syirik
dalaam ibadah dan penyembahan adalah sudah jelas dalam Al Qur’an dan Sunnah.
Dari ayat-ayat Al Qur’an yang mengisahkan kaum Musyrikin dapat dimengerti bahwa
kendati kaum Musyrikin itu meyakini bahwa Allah lah yang mencipta langit dan
bumi, pemberi rizki dan pengatur alam, akan tetapi tidak ada petunjuk bahwa
mereka tidak meyakini bahwa sesembahan mereka itu; baik dari kalangan Malaikat
maupun Jin memiliki pengaruh di dalam pengaturan alam semesta ini! Dengan
pengaruh di luar izin dan kontrol Allah SWT. Mereka meyakini bahwa sesembahan mereka
mampu menyembuhkan orang sakit, menolong dari musuh, menyingkap bencana dan
kesusahan dll tanpa izin dan restu Allah!))
(http://abusalafy.wordpress.com/2008/05/31/kitab-kasyfu-asy-sybubuhat-doktrin-takfir-wahhabi-paling-ganas-23/))))
Coba para pembaca memperhatikan kembali
perkataan Abu Salafy di atas, ia sangat menekankan kalimat
"Independen", artinya yang namanya kesyirikan adalah jika seorang
yang berdoa kepada selain Allah tersebut meyakini bahwa dzat yang ditujukan
kepadanya doa tersebut berhak mengatur alam semesta secara independen dan tanpa
idzin Allah. Sekarang yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika seorang yang
berdoa kepada Abdul Qodir Jailani meyakini bahwa Abdul Qodir Jailani juga ikut
mengatur alam semesta namun dengan izin Allah, apakah ini bukan kesyirikan??!!.
Dzohir dari perkataan Abu Salafy di atas ini bukanlah kesyirikan. Karena aqidah
seperti ini menimpa sebagian kaum sufiyah, yang meyakini bahwasanya para wali
ikut mengatur alam semesta dengan izin Allah.
Padahal inilah hakekat kesyirikan dalam
rububiyyah, bahkan lebih parah dari kesyirikan kaum muysrikin Arab. Kalau kaum
muysrikin Arab hanya menjadikan sesembahan mereka (baik orang sholeh maupun
para malaikat) hanya sebagai washitoh/perantara dan pemberi syafaat dalam
memenuhi kebutuhan mereka dan mengabulkan doa mereka, maka keyakinan bahwa para
wali telah mendapatkan izin dari Allah untuk mengatur alam semesta lebih parah.
Karena posisi para wali tatkala itu bukan lagi sebagai perantara, akan tetapi
berhak untuk mencipta dan mengatur alam semesta atas kehendak mereka karena
telah diberi hak otonomi oleh Allah. Inilah kesyirikan yang nyata.
Yang sangat disayang sebagian orang yang
menjadikan rujukan Abu Salafy ternyata juga mendukung pemikiran seperti ini.
Lihatlah perkataan Muhammad Alwi Al-Maliki
–salah seorang yang membenarkan kesyirikan dengan berdalih majaz 'aqliy-, ia
berkata di kitabnya mafaahiim yajibu an tushohhah :
فَالْمُتَصَرِّفُ فِي الْكَوْنِ هُوَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَلاَ يَمْلِكُ أَحَدٌ شَيْئاً إِلاَّ إِذَا مَلَّكَهُ اللهُ ذَلِكَ وَأَذِنَ لَهُ فِي التَّصَرُّفِ فِيْهِ
"Maka yang mengatur di alam semeseta
adalah Allah subhaanahu wa ta'aala, dan tidak seorangpun memiliki sesuatupun
kecuali jika Allah menjadikannya memilikinya dan mengizinkannya untuk mengaturnya"
Ia juga berkata tentang kondisi Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam setelah wafatnya Nabi :
فَإِنَّهُ حَيِّيُ الدَّارَيْنِ دَائِمُ الْعِنَايَةِ بِأُمَّتِهِ، مُتَصَرِّفٌ بِإِذْنِ اللهِ فِي شُؤُوْنِهَا خَبِيْرٌ بِأَحْوَالِهَا
"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam hidup di dunia dan akhirat, senantiasa memperhatikan umatnya,
mengatur urusan umatnya dengan izin Allah dan mengetahui keadaan umatnya"
Seorang tokoh sufi besar yang bernama
At-Tijaani memperkuat keyakinan ini.
Berkata penulis kitab Jawaahirul Ma'aani fi Faydi Sayyidi Abil 'Abaas
At-Tiijaani (Ali Al-Faasi) :
"Adapun perkataan penanya : Apa makna
perkataan Syaikh Abdul Qodir Al-Jailaani radhiallahu 'anhu : "Dan
perintahku dengan perintah Allah, jika aku berkata kun (jadi) makan (yakun) terjadilah" …dan juga perkataan
sebagian mereka : "Wahai angin tenanglah terhadap mereka dengan
izinku" dan perkataan-perkataan para pembesar yang lain radhiallahu 'anhum
yang semisal ini, maka berkata (At-Tijaani) radhiallahu 'anhu : "Maknanya
adalah Allah memberikan kepada mereka Khilaafah Al-'Udzma (kerajaan besar) dan
Allah menjadikan mereka khalifah atas kerajaan Allah dengan penyerahan
kekuasaan secara umum, agar mereka bisa melakukan di kerajaan Allah apa saja
yang mereka kehendaki. Dan Allah memberikan mereka kuasa kalimat
"kun", kapan saja mereka berkata kepada sesuatu "kun"
(jadilah) maka terjadilah tatkala itu" (Jawaahirul Ma'aani wa Buluug
Al-Amaani 2/62)
Hal ini juga dikatakan oleh tojoh sufi zaman
kita yang bernama Habib Ali Al-Jufri, ia berkata bahwasanya wali bisa
menciptakan bayi di rahim seorang wanita tanpa seorang ayah dengan izin Allah
(silahkan lihat http://www.youtube.com/watch?v=kDPMBJ7kvfI)
Jika ternyata keyakinan bahwasanya wali ikut
mengatur alam semesta dan mengatur manusia ternyata diyakini oleh
pembesar-pembesar sufi tentunya hal ini disebarkan juga di masyarakat, jika
perkaranya demikian maka sangatlah mungkin jika orang-orang yang tatkala
terkena musibah atau dalam kondisi genting kemudian berkata, "Wahai
Rasulullah selamatkanlah aku", atau "Wahai Abdul Qodir Jailaani
sembuhkanlah aku" mereka mengucapkan ungkapan-ungkapan istigotsah ini
dengan berkeyakinan bahwasanya Rasulullah dan Abdul Qodir Jailaani bisa
langsung menolong mereka dengan idzin Allah. Sehingga tidak perlu adanya majaz
'aqli..!!!
Bersambung…
Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-,
16-03-1432 H / 19 Februari 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Disalin pada
23 May 2013
Untuk lebih
lengkapnya (teks arabnya), bisa klik sumbernya langsung, ada komentar dan
diskusi juga di sana.