(Imam Syafii mendukung bid'ah
hasanah??)
Mereka berdalil dengan perkataan
beberapa ulama yang mengesankan dukungan terhadap adanya bid'ah hasanah.
Diantaranya adalah perkataan Imam
As-Syafi'i dan perkatan Al-Izz bin Abdissalam rahimahumallah.
Adapun perkataan Imam As-Syafi'i
maka sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah dengan sanad
beliau hingga Harmalah bin Yahya-,
ثَنَا حَرْمَلَة بْنُ يَحْيَى
قَالَ : سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِي يَقُوْلُ : البِدْعَةُ
بِدْعَتَانِ بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ
السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُومٌ،
وَاحْتَجَّ بِقَوْلِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ : نِعْمَتِ
الْبِدْعَةُ هِيَ
Dari Harmalah bin Yahya berkata,
"Saya mendengar Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i berkata, "Bid'ah itu
ada dua, bid'ah yang terpuji dan bid'ah yang tercela, maka bid'ah yang sesuai dengan
sunnah adalah terpuji dan bid'ah yang menyelisihi sunnah adalah bid'ah yang
tercela", dan Imam Asy-Syafi'i berdalil dengan perkataan Umar bin
Al-Khottob tentang sholat tarawih di bulan Ramadhan "Sebaik-baik bid'ah
adalah ini" (Hilyatul Auliya' 9/113)
Sebelum menjelaskan maksud dari
perkataan Imam As-Syafii ini apalah baiknya jika kita menelaah definisi bid'ah
menurut beberapa ulama, sebagaiamana berikut ini:
Definisi bid'ah menurut para
ulama
Imam Al-'Iz bin 'Abdissalam
berkata :
هِيَ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي
عَهْدِ الرَّسُوْلِ
((Bid'ah adalah mengerjakan
perkara yang tidak ada di masa Rasulullah)) (Qowa'idul Ahkam 2/172)
Imam An-Nawawi berkata :
هِيَ إِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ
فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ
((Bid'ah adalah mengada-ngadakan
sesuatu yang tidak ada di masa Rasulullah)) (Tahdzibul Asma' wal lugoot 3/22)
Imam Al-'Aini berkata :
هِيَ مَا لَمْ يَكُنْ لَهُ أَصْلٌ
فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، وَقِيْلَ: إِظْهَارُ شَيْءٍ لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِ
رَسُوْلِ اللهِ وَلاَ فِي زَمَنِ الصَّحَابَةِ
((Bid'ah adalah perkara yang
tidak ada asalnya dari Al-Kitab dan As-Sunnah, dan dikatakan juga (bid'ah
adalah) menampakkan sesuatu yang tidak ada pada masa Rasulullah dan tidak ada
juga di masa para sahabat)) (Umdatul Qori' 25/37)
Ibnu 'Asaakir berkata :
مَا ابْتُدِعَ وَأُحْدِثَ مِنَ
الأُمُوْرِ حَسَناً كَانَ أَوْ قَبِيْحًا
((Bid'ah adalah perkara-perkara
yang baru dan diada-adakan baik yang baik maupun yang tercela)) (Tabyiinu
kadzibil muftari hal 97)
Al-Fairuz Abadi berkata :
الحَدَثُ فِي الدَّيْنِ بَعْدَ
الإِكْمَالِ، وَقِيْلَ : مَا استَحْدَثَ بَعْدَهُ مِنَ الأَهْوَاءِ وَالأَعْمَالِ
((Bid'ah adalah perkara yang baru
dalam agama setelah sempurnanya, dan dikatakan juga : apa yang diada-adakan
sepeninggal Nabi berupa hawa nafsu dan amalan)) (Basoir dzawi At-Tamyiiz 2/231)
Dari defenisi-defenisi di atas
maka secara umum dapat kita simpulkan bahwa bid'ah adalah segala perkara yang
terjadi setelah Nabi, sama saja apakah perkara tersebut terpuji ataupun tercela
dan sama saja apakah perkara tersebut suatu ibadah maupun perkara adat.
Karena keumuman ini maka kita
dapati sekelompok ulama yang membagi hukum bid'ah menjadi dua yaitu bid'ah
hasanah dan bid'ah sayyi'ah, bahkan ada yang membagi bid'ah sesuai dengan hukum
taklifi yang lima (haram, makruh, wajib, sunnah, dan mubah), sebagaimana
pembagian bid'ah menurut Al-'Iz bin Abdissalam yang mengklasifikasikan bid'ah
menjadi lima (wajib, mustahab, haram, makruh, dan mubah), beliau berkata,
"Bid'ah terbagi menjadi
bid'ah yang wajib, bid'ah yang haram, bid'ah yang mandub (mustahab), bid'ah
yang makruh, dan bid'ah yang mubah. Cara untuk mengetahui hal ini yaitu kita
hadapkan bid'ah tersebut dengan kaidah-kaidah syari'at, jika bid'ah tersebut
masuk dalam kaidah-kaidah pewajiban maka bid'ah tersebut wajib, jika termasuk
dalam kaidah-kaidah pengharaman maka bid'ah tersebut haram, jika termasuk dalam
kaidah-kaidah mustahab maka hukumnya mustahab, dan jika masuk dalam
kaidah-kaidah mubah maka bid'ah tersebut mubah. Ada beberapa contoh bid'ah yang
wajib, yang pertama berkecimpung dengan ilmu nahwu yang dengan ilmu tersebut
dipahami perkataan Allah dan perkataan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam,
hal ini hukumnya wajib karena menjaga syari'at hukumnya wajib dan tidak mungkin
menjaga syari'at kecuali dengan mengenal ilmu nahwu, dan jika suatu perkara
yang wajib tidak sempurna kecuali dengan perkara yang lain maka perkara yang
lain tersebut hukumnya wajib. Contoh yang kedua adalah menjaga kata-kata yang
ghorib (asing maknanya karena sedikit penggunaannya dalam kalimat) dalam
Al-Qur'an dan hadits, contoh yang ketiga yaitu penulisan ushul fiqh, contoh
yang keempat pembicaraan tentang al-jarh wa at-ta'dil untuk membedakan antara
hadits yang shahih dengan hadits yang lemah. Kaidah-kaidah syari'at menunjukan
bahwa menjaga syari'at hukumnya fardlu kifayah pada perkara-perakra yang lebih
dari ukuran yang ditentukan dan tidaklah mungkin penjagaan syari'at kecuali
dengan apa yang telah kami sebutkan (di atas)."
Ada beberapa contoh bid'ah yang
haram, diantaranya madzhab Qodariyah, madzhab Al-Jabariah, madzhab Al-Murji'ah,
dan membantah mereka termasuk bid'ah yang wajib.
Ada beberapa contoh bid'ah yang
mustahab diantaranya pembuatan Ar-Robt dan sekolah-sekolah, pembangunan
jembatan-jembatan, dan setiap hal-hal yang baik yang tidak terdapat pada masa
generasi awal, diantaranya juga sholat tarawih, pembicaraan pelik-pelik
tasowwuf (sejenis mau'idzoh yang sudah ma'ruf), perdebatan di tengah keramaian
orang banyak dalam rangka untuk beristidlal tentang beberapa permasalahan jika
dimaksudkan dengan hal itu wajah Allah. Contoh-contoh bid'ah yang makruh
diantaranya menghiasi masjid-masjid, menghiasi mushaf (Al-Qur'an), adapun
melagukan Al-Qur'an hingga berubah lafal-lafalnya dari bahasa Arab maka yang
benar ia termasuk bid'ah yang haram.
Contoh-contoh bid'ah yang mubah
diantaranya berjabat tangan setelah sholat subuh dan sholat ashar, berluas-luas
dalam makanan dan minuman yang lezat, demikian juga pakaian dan tempat tinggal,
memakai at-thoyaalisah (sejenis pakaian yang indah/mahal) dan meluaskan
pergelangan baju. Terkadang beberapa perkara diperselisihkan (oleh para ulama)
sehingga sebagian ulama memasukannya dalam bid'ah yang makruh dan sebagian
ulama yang lain memasukannya termasuk sunnah sunnah yang dilakukan pada masa
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dan sepeninggal beliau shalallahu
'alaihi wa sallam, hal ini seperti beristi'adzah dalam sholat dan mengucapkan
basmalah." (Qowa'idul ahkam 2/173-174)
Ada 3 hal penting berkaitan
dengan pengklasifikasian ini:
Pertama : Jika kita perhatikan
perkataan Al-'Iz bin Abdissalam secara lengkap dengan memperhatikan
contoh-contoh penerapan dari pengklasifikasiannya terhadap bid'ah maka
sangatlah jelas maksud beliau adalah pengklasifikasian bid'ah menurut bahasa,
karena contoh-contoh yang beliau sebutkan dalam bid'ah yang wajib maka
contoh-contoh tersebut adalah perkara-perkara yang termasuk dalam al-maslahah
al-mursalah (yaitu perkara-perkara yang beliau contohkan yang berkaitan dengan
bid'ah wajib) bahkan beliau dengan jelas menyatakan bahwa syari'at tidak
mungkin dijalankan kecuali dengan bid'ah yang wajib tersebut.
As-Syathibi berkata
"Sesungguhnya Ibnu Abdissalam yang nampak darinya ia menamakan maslahah
mursalah dengan bid'ah karena perkara-perkara maslahah mursalah secara dzatnya
tidak terdapat dalam nas-nas yang khusus tentang dzat-dzat mashlahah mursalah
tersebut meskipun sesuai dengan kaidah-kaidah syari'at…dan ia termasuk para
ulama yang berpendapat dengan mashlahah mursalah, hanya saja ia menamakannya
bid'ah sebagaimana Umar menamakan sholat tarawih bid'ah" (Al-I'tishom
1/192)
Demikian juga bid'ah yang
mustahab, berkaitan dengan wasilah dalam menegakkan agama. Sholat tarawih
adalah termasuk perbuatan Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam. Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam pernah melaksanakan sholat tarawih secara berjama'ah bersama
para sahabatnya beberapa malam. Dan pada tahun yang lain Nabi meninggalkan
tarawih karena dikawatirkan akan diwajibkan karena tatkala itu masih zaman
diturunkannya wahyu (ta'syri'). Hal ini menunjukan pada asalnya Nabi sholat
malam bersama para sahabatnya dan di waktu yang lain beliau meninggalkannya
karena kekawatiran akan diwajibkan. Namun kekawatiran ini tidak terdapat lagi
di zaman Abu Bakar dan Umar. Hanya saja Abu akar tidak melaksanakan sholat
tarawih karena ada dua kemungkinan, yang pertama karena mungkin saja ia
memandang bahwa sholat orang-orang di akhir malam dengan keadaan mereka
masing-masing lebih baik dari pada sholat di awal malam dengan mengumpulkan
mereka pada satu imam (hal ini sebagaimana disebutkan oleh At-Thurtusi), atau
karena kesibukan beliau mengurus negara terutama dengan munculnya orang-orang
yang murtad sehingga beliau harus memerangi mereka yang hal ini menyebabkan beliau
tidak sempat mengurusi sholat tarawih. (lihat Al-I'tishom 2/194)
Demikian contoh-contoh lain dari
bid'ah mustahab (hasanah) yang disampaikan oleh beliau diantaranya :
pembangunan sekolah-sekolah merupakan sarana untuk menuntut ilmu, dan
pembicaraan tentang pelik-pelik tasawwuf yang terpuji adalah termasuk bab
mau'izhoh (nasehat) yang telah dikenal.
Kedua : Dalam contoh-contoh
bid'ah yang disyari'atkan (baik bid'ah yang wajib maupun bid'ah yang mustahab)
sama sekali beliau tidak menyebutkan bid'ah-bid'ah yang dikerjakan oleh para
pelaku bid'ah (Seperti sholat rogoib, maulid Nabi, peringatan isroo mi'rooj,
tahlilan, dan lain-lain) dengan dalih bahwa bid'ah tersebut adalah bid'ah
hasanah, bahkan beliau dikenal dengan seorang yang memerangi bid'ah.
Ketiga : Beliau dikenal dengan
orang yang keras membantah bid'ah-bid'ah yang disebut-sebut sebagai bid'ah
hasanah.
Berkata Abu Syamah (salah seorang
murid Al-'Iz bin Abdissalam),
"Beliau (Al-'Iz bin
Abdissalam) adalah orang yang paling berhak untuk berkhutbah dan menjadi imam,
beliau menghilangkan banyak bid'ah yang dilakukan oleh para khatib seperti
menancapkan pedang di atas mimbar dan yang lainnya. Beliau juga membantah
sholat rogoib dan sholat nishfu sya'ban dan melarang kedua sholat
tersebut" (Tobaqoot Asy-Syafi'iah al-Kubro karya As-Subki 8/210, pada
biografi Al-'Iz bin Abdissalam)
Beliau ditanya : Berjabat tangan
setelah sholat subuh dan ashar hukumnya mustahab atau tidak? Doa setelah salam
dari seluruh sholat mustahab bagi imam atau tidak? Jika engkau berkata hukumnya
mustahab maka (tatkala berdoa) sang imam balik mengahadap para makmum dan
membelakangi kiblat atau tetap menghadap kiblat?...
Jawab : Berjabat tangan setelah
sholat subuh dan ashar termasuk bid'ah kecuali bagi orang yang baru datang dan
bertemu dengan orang yang dia berjabat tangan dengannya sebelum sholat, karena
berjabat tangan disyari'atkan tatkala datang.
Setelah sholat Nabi berdzikir
dengan dzikir-dzikir yang disyari'atkan dan beristighfar tiga kali kemudian
beliau berpaling (pergi)… dan kebaikan seluruhnya pada mengikuti Nabi. Imam
As-Syafi'i suka agar imam berpaling setelah salam. Dan tidak disunnahkan
mengangkat tangan tatkala qunut sebagaimana tidak disyari'atkan mengangkat
tangan tatkala berdoa di saat membaca surat al-Fatihah dan juga tatkala doa
diantara dua sujud…
Dan tidaklah mengusap wajah
setelah doa kecuai orang jahil. Dan tidaklah sah bersholawat kepada Nabi
tatkala qunut, dan tidak semestinya ditambah sedikitpun atau dikurangi atas apa
yang dikerjakan Rasulullah tatkala qunut" (Kittab Al-Fataawaa karya Imam
Al-'Izz bin Abdis Salaam hal 46-47, kitabnya bisa didownload di
http://majles.alukah.net/showthread.php?t=39664)
Beliau juga menyatakan bahwa
mengirim bacaan qur'an kepada mayat tidaklah sampai (lihat kitab fataawaa
beliau hal 96). Beliau juga menyatakan bahwasanya mentalqin mayat setelah
dikubur merupakan bid'ah (lihat kitab fataawaa beliau hal 96)
Pengklasifikasian bid'ah menjadi
bid'ah dholalah dan bid'ah hasanah juga diikuti oleh Imam An-Nawawi, beliau
berkata, "Dan bid'ah terbagi menjadi bid'ah yang jelek dan bid'ah
hasanah", kemudian beliau menukil perkataan Al-'Iz bin Abdissalam dan
perkataan Imam Asy-Syafi'i di atas (lihat Tahdzibul Asma' wal lugoot 3/22-23).
Kembali pada perkataan Imam
Asy-Syafi'i :
Dari Harmalah bin Yahya berkata,
"Saya mendengar Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i berkata, "Bid'ah itu
ada dua, bid'ah yang terpuji dan bid'ah yang tercela, maka bid'ah yang sesuai
dengan sunnah adalah terpuji dan bid'ah yang menyelisihi sunnah adalah bid'ah
yang tercela", dan Imam Asy-Syafi'i berdalil dengan perkataan Umar bin
Al-Khottob tentang sholat tarawih di bulan Ramadhan "Sebaik-baik bid'ah
adalah ini" (Hilyatul Auliya' 9/113)
Ada beberapa hal penting yang
berkaitan dengan perkataan Imam As-Syafi'i ini :
Pertama : Sangatlah jelas
bahwasanya maksud Imam As-Syafii adalah pengklasifikasian bid'ah ditinjau dari
sisi bahasa. Oleh karenanya beliau berdalil dengan perkataan Umar bin
Al-Khottoob :"Sebaik-baik bid'ah adalah ini (yaitu sholat tarawih
berjamaah)". Padahal telah diketahui bersama –sebagaimana telah lalu
penjelasannya- bahwasanya sholat tarwih berjamaah pernah dikerjakan oleh Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam
Kedua : Kita menafsirkan
perkataan Imam As-Syafi'i ini dengan perkataannya yang lain sebagaimana
disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam Tahdziib Al-Asmaa' wa Al-Lughoot (3/23)
"Dan perkara-perkara yang
baru ada dua bentuk, yang pertama adalah yang menyelisihi Al-Kitab atau
As-Sunnah atau atsar atau ijma', maka ini adalah bid'ah yang sesat. Dan yang
kedua adalah yang merupakan kebaikan, tidak seorang ulamapun yang menyelisihi
hal ini (bahwasanya ia termasuk kebaikan-pen) maka ini adalah perkara baru yang
tidak tercela"(lihat juga manaqib As-Syafi'i 1/469)
Lihatlah Imam As-Syafi'i
menyebutkan bahwa bid'ah yang hasanah sama sekali tidak seorang ulama pun yang
menyelisihi. Jadi seakan-akan Imam Asy-Syafi'i menghendaki dengan bid'ah
hasanah adalah perkara-perkara yang termasuk dalam bab al-maslahah al-mursalah,
yaitu perkara-perkara adat yang mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan tidak
terdapat dalil (nas) khusus, karena hal ini tidaklah tercela sesuai dengan
kesepakatan para sahabat meskipun hal ini dinamakan dengan muhdatsah (perkara
yang baru) atau dinamakan bid'ah jika ditinjau dari sisi bahasa.
Berkata Ibnu Rojab, "Adapun
maksud dari Imam Asy-Syafi'i adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan
bahwasanya pokok dari bid'ah yang tercela adalah perkara yang sama sekali tidak
ada dasarnya dalam syari'ah yang bisa dijadikan landasan, dan inilah bid'ah
yang dimaksudkan dalam definisi syar'i (terminology). Adapun bid'ah yang
terpuji adalah perkara-perkara yang sesuai dengan sunnah yaitu yang ada
dasarnya dari sunnah yang bisa dijadikan landasan dan ini adalah definisi
bid'ah menurut bahasa bukan secara terminology karena ia sesuai dengan sunnah"
(Jami'ul 'Ulum wal Hikam 267)
Ketiga : Oleh karena itu tidak
kita dapati Imam Asy-Syafii berpendapat dengan suatu bid'ahpun dari
bid'ah-bid'ah yang tersebar sekarang ini dengan dalih hal itu adalah bid'ah
hasanah. Karena memang maksud beliau dengan bid'ah hasanah bukanlah sebagaimana
yang dipahami oleh para pelaku bid'ah zaman sekarang ini.
Diantara amalan-amalan yang
dianggap bid'ah hasanah yang tersebar di masyarakat namun diingkari Imam
As-Syafii adalah :
- Acara mengirim pahala buat
mayat yang disajikan dalam bentuk acara tahlilan.
Bahkan masyhuur dari madzhab Imam
Asy-Syafii bahwasanya beliau memandang tidak sampainya pengiriman pahala baca
qur'an bagi mayat. Imam An-Nawawi berkata:
"Dan adapun sholat dan puasa
maka madzhab As-Syafi'i dan mayoritas ulama adalah tidak sampainya pahalanya
kepada si mayat…adapun qiroah (membaca) Al-Qur'aan maka yang masyhuur dari
madzhab As-Syafi'I adalah tidak sampai pahalanya kepada si mayat…"
(Al-Minhaaj syarh shahih Muslim 1/90)
- Meninggikan kuburan dan
dijadikan sebagai mesjid atau tempat ibadah
Imam As-Syafi'I berkata :
وأكره أن يعظم مخلوق حتى يُجعل
قبره مسجداً مخافة الفتنة عليه وعلى من بعده من الناس
"Dan aku benci diagungkannya
seorang makhluq hingga kuburannya dijadikan mesjid, kawatir fitnah atasnya dan
atas orang-orang setelahnya" (Al-Muhadzdzab 1/140, Al-Majmuu' syarhul
Muhadzdzab 5/280)
Bahkan Imam As-Syafii dikenal
tidak suka jika kuburan dibangun lebih tinggi dari satu jengkal. Beliau berkata
:
وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُزَادَ في
الْقَبْرِ تُرَابٌ من غَيْرِهِ وَلَيْسَ بِأَنْ يَكُونَ فيه تُرَابٌ من غَيْرِهِ
بَأْسٌ إذَا زِيدَ فيه تُرَابٌ من غَيْرِهِ ارْتَفَعَ جِدًّا وَإِنَّمَا أُحِبُّ
أَنْ يُشَخِّصَ على وَجْهِ الْأَرْضِ شِبْرًا أو نَحْوَهُ وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُبْنَى
وَلَا يُجَصَّصَ فإن ذلك يُشْبِهُ الزِّينَةَ وَالْخُيَلَاءَ... وقد رَأَيْت من
الْوُلَاةِ من يَهْدِمَ بِمَكَّةَ ما يُبْنَى فيها فلم أَرَ الْفُقَهَاءَ
يَعِيبُونَ ذلك
"Aku suka jika kuburan tidak
ditambah dengan pasir dari selain (galian) kuburan itu sendiri. Dan tidak
mengapa jika ditambah pasir dari selain (galian) kuburan jika ditambah tanah
dari yang lain akan sangat tinggi. Akan tetapi aku suka jika kuburan dinaikan
diatas tanah seukuran sejengkal atau yang semisalnya. Dan aku suka jika kuburan
tidak dibangun dan tidak dikapur karena hal itu menyerupai perhiasan dan
kesombongan…
Aku telah melihat di Mekah ada
diantara penguasa yang menghancurkan apa yang dibangun diatas kuburan, dan aku
tidak melihat para fuqohaa mencela penghancuran tersebut"(Al-Umm 1/277)
- Pengkhususan Ibadah pada waktu-waktu
tertentu atau cara-cara tertentu
Berkata Abu Syaamah :
"Imam As-Syafi'i berkata :
Aku benci seseroang berpuasa sebulan penuh sebagaimana berpuasa penuh di bulan
Ramadhan, demikian juga (Aku benci) ia (mengkhususkan-pent) puasa suatu hari
dari hari-hari yang lainnya. Hanyalah aku membencinya agar jangan sampai
seseorang yang jahil mengikutinya dan menyangka bahwasanya perbuatan tersebut
wajib atau merupakan amalan yang baik" (Al-Baa'its 'alaa inkaar Al-Bida' wa
Al-Hawaadits hal 48)
Perhatikanlah, Imam As-Syafii
membenci amalan tersebut karena ada nilai pengkhususan suatu hari tertentu
untuk dikhususkan puasa. Hal ini senada dengan sabda Nabi
« لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ
الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ
الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِى صَوْمٍ
يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ »
"Janganlah kalian
mengkhususkan malam jum'at dari malam-malam yang lain dengan sholat malam, dan
janganlah kalian mengkhususkan hari jum'at dari hari-hari yang lain dengan
puasa, kecuali pada puasa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian"
(yaitu maksudnya kecuali jika bertepatan dengan puasa nadzar, atau ia berpuasa
sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya, atau puasa qodho –lihat penjelasan
Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaaj 8/19)
Perhatikanlah, para pembaca yang
budiman, puasa adalah ibadah yang disyari'atkan, hanya saja tatkala dikhususkan
pada hari-hari tertentu tanpa dalil maka hal ini dibenci oleh Imam As-Syafi'i.
Maka bagaimana jika Imam
As-Syafii melihat ibadah-ibadah yang asalnya tidak disyari'atkan??!
Apalagi ibadah-ibadah yang tidak
disyari'atkan tersebut dikhususkan pada waktu-waktu tertentu??
Beliau juga berkata dalam
kitabnya Al-Umm
"Dan aku suka jika imam
menyelesaikan khutbahnya dengan memuji Allah, bersholawat kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, menyampaikan mau'izhoh, dan membaca qiroa'ah,
dan tidak menambah lebih dari itu".
Imam As-Syafii berkata :
"Telah mengabarkan kepada kami Abdul Majiid dari Ibnu Juraij berkata : Aku
berkata kepada 'Athoo : Apa sih doa yang diucapkan orang-orang tatkala khutbah
hari itu?, apakah telah sampai kepadamu hal ini dari Nabi?, atau dari orang
yang setelah Nabi (para sahabat-pent)?. 'Athoo berkata : Tidak, itu hanyalah
muhdats (perkara baru), dahulu khutbah itu hanyalah untuk memberi peringatan.
Imam As-Syafii berkata,
"Jika sang imam berdoa untuk seseorang tertentu atau kepada seseorang
(siapa saja) maka aku membenci hal itu, namun tidak wajib baginya untuk
mengulang khutbahnya" (Al-Umm 2/416-417)
Para pembaca yang budiman,
cobalah perhatikan ucapan Imam As-Syafi'i diatas, bagaimanakah hukum Imam
As-Syafii terhadap orang yang menkhususkan doa kepada orang tertentu tatkala
khutbah jum'at?, beliau membencinya, bahkan beliau menyebutkan riwayat dari
salaf (yaitu 'Athoo') yang mensifati doa tertentu dalam khutbah yang tidak
pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya dengan "Muhdats" (bid'ah).
Bahkan yang dzohir dari perkataan Imam As-Syafii diatas dengan "aku
benci" yaitu hukumnya haram, buktinya Imam Syafii menegaskan setelah itu
bahwasanya perbuatan muhdats tersebut tidak sampai membatalkan khutbahnya
sehingga tidak perlu diulang. Wallahu A'lam.
Keempat : Para imam madzhab
syafiiyah telah menukil perkataan yang masyhuur dari Imam As-Syafii, yaitu
perkataan beliau;
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ
"Barangsiapa yang menganggap
baik (suatu perkara) maka dia telah membuat syari'at"
(Perkataan Imam As-Syafi'i ini
dinukil oleh para Imam madzhab As-Syafi'i, diantaranya Al-Gozaali dalam
kitabnya Al-Mustashfa, demikian juga As-Subki dalam Al-Asybaah wa An-Nadzooir,
Al-Aaamidi dalam Al-Ihkaam, dan juga dinukil oleh Ibnu Hazm dalam Al-Ihkaam fi
Ushuul Al-Qur'aan, dan Ibnu Qudaamah dalam Roudhotun Naadzir)
Oleh karenanya barangsiapa yang
menganggap baik suatu ibadah yang tidak dicontohkan oleh Nabi maka pada
hakekatnya ia telah menjadikan ibadah tersebut syari'at yang baru.
Kesimpulan :
Pertama : Ternyata banyak ulama
yang menyebutkan mashlahah mursalah dengan istilah bid'ah hasanah. Karena
memang dari sisi bahasa bahwasanya perkara-perkara yang merupakan mashlahah
mursalah sama dengan perkara-perkara bid'ah dari sisi keduanya sama-sama tidak
terdapat di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Oleh karenanya semua sepakat
bahwa ilmu jarah wa ta'dil hukumnya adalah wajib, demikian juga mempelajari
ilmu nahwu, namun sebagian mereka menamakannya bid'ah hasanah atau bid'ah yang
wajib (sebagaimana Al-Izz bin Abdissalam) dan sebagian yang lain menamakannya
maslahah mursalah (sebagaimana Imam As-Syathibi dalam kitabnya Al-I'tishoom).
Demikian juga semuanya sepakat bahwa membangun madrasah-madrasah agama hukumnya
adalah mandub (dianjurkan) namun sebagian mereka menamakannya bid'ah hasanah
(bid'ah mandubah) dan sebagian yang lain menamakannya maslahah mursalah.
Meskipun terjadi khilaf diantara
mereka tentang hukum permasalahan tertentu maka hal itu adalah khilaf dalam
penerapan saja yang khusus berkaitan dengan permasalahan itu saja yang khilaf
itu kembali dalam memahami dalil-dalil yang berkaitan dengan permasalahan
tersebut, khilaf mereka bukan pada asal (pokok kaidah) tentang pencelaan
terhadap bid'ah dan pengingkarannya.
Namun bagaimanapun lebih baik
kita meninggalkan istilah klasifikasi bid'ah menjadi bid'ah dholalah dan bid'ah
hasanah karena dua sebab berikut
a. Beradab dengan sabda Nabi, karena bagaimana
pantas bagi kita jika kita telah mendengarkan sabda Nabi ((semua bid'ah itu
sesat)) lantas kita mengatakan ((tidak semua bid'ah itu sesat, tapi hanya
sebagian bid'ah saja))
b. Pengklasifikasian seperti ini
terkadang dijadikan tameng oleh sebagian orang untuk melegalisasikan sebagian
bid'ah (padahal para imam yang berpendapat dengan pengkasifikasian bid'ah
mereka berlepas diri dari hal ini), yang hal ini mengakibatkan terancunya
antara sunnah dan bid'ah
Kedua : Para ulama yang dituduh
mendukung bid'ah hasanah (seperti Imam As-Syafii dan Imam Al-Izz bin Abdis
Salaam As-Syafi'i) ternyata justru membantah bid'ah-bid'ah yang tersebar di
masyarakat yang dinamakan dengan bid'ah hasanah
Ketiga : Imam As-Syafii dan Imam
Al-Izz bin Abdis Salaam yang juga bermadzhab syafiiyah yang dituduh mendukung
bid'ah hasanah ternyata tidak mendukung bid'ah-bid'ah hasanah yang sering
dilakukan oleh orang-orang yang mengaku bermadzhab syafi'i. Oleh karenanya saya
meminta kepada orang-orang yang melakukan bid'ah -dan berdalil dengan perkataan
Imam As-Syafii atau perkataan Al-Izz bin Abdisalaam- agar mereka memberikan
satu contoh atau dua contoh saja bid'ah hasanah yang dipraktekan oleh kedua
imam ini !!???
Sebagai tambahan penjelasan,
berikut ini penulis menyampaikan perbedaan antara bid'ah hasanah dengan
maslahah mursalah :
Maslahah mursalah harus memenuhi
beberapa kriteria yaitu
1 Maslahah mursalah sesuai dengan
maqosid syari'ah yaitu tidak bertentangan dengan salah satu usul dari usul-usul
syari'ah maupun dalil dari dalil-dalil syar'i, berbeda dengan bid'ah
2 Maslahah mursalah hanyalah
berkaitan dengan perkara-perkara yang bisa dipikirkan kemaslahatannya dengan
akal (karena sesuatu yang bisa diketahui memiliki maslahah yang rajihah atau
tidak adalah seauatu yang bisa dipikirkan dan dipandang dengan akal), artinya
jika maslahah mursalah dipaparkan kepada akal-akal manusia maka akan diterima
Oleh karena itu maslahah mursalah
tidaklah berkaitan dengan perkara-perkara peribadatan karena perkara-perkara
peribadatan merupakan perkara yang tidak dicerna oleh akal dengan secara pasti
(jelas) dan secara terperinci (hanyalah mungkin diketahui hikmah-hikmahnya),
seperti wudhu, tayammum, sholat, haji, puasa, dan ibadaah-ibadah yang lainnya.
Contohnya thoharoh (tata cara
bersuci) dengan berbagai macamnya yang dimana setiap macamnya berkaitan khusus
dengan peribadatan yang mungkin tidak sesuai dengan pemikiran. contohnya
keluarnya air kencing dan kotoran yang merupakan najis maka penyuciannya tidak
hanya cukup dengan membersihkan tempat keluar kedua benda tersebut namun harus
juga dengan berwudhu (meskipun anggota tubuh untuk berwudhu dalam keadaan bersih
dan suci), kenapa demikian ??, sebaliknya jika anggota tubuh untuk berwudhu
kotor namun tanpa disertai hadats maka tidak wajib untuk berwudhu, kenapa
demikian?? kita tidak bisa mencernanya secara terperinci. Demikian juga halnya
dengan tayammum, tanah yang sifatnya mengotori bisa menggantikan posisi air
(yang sifatnya membersihkan) tatkala tidak ada air, kenapa demikan??, tidak
bisa kita cerna dengan jelas, pasti dan terperinci. Demikan juga ibadah-ibadah
yang lainnya seperti sholat dan haji terlalu banyak perkara-perkara yang tidak
bisa kita cernai. Contohnya tentang tata cara sholat, jumlah rakaat,
waktu-waktu sholat, hal-hal yang dilarang tatkala berihrom, dan lain
sebagainya. Sungguh benar perkataan Ali لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لكان
أَسفَلُ الخُفِّ أولى بالمسحِ من أعلاه ((Kalau memang agama dengan akal tentu
yang lebih layak untuk di usap adalah bagian bawah khuf dari pada mengusap
bagian atasnya)).
3 Maslahah mursalah kembali pada
salah satu dari dua perkara dibawah ini
a. Bab wasilah (perantara) bukan tujuan, dan
termasuk dalam kaidah مَا لاَ يَتِمُّ الوَلجبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجب
((sesuatu yang wajib jika tidak bisa sempurna pelaksanaannya kecuali dengan
perkara yang lain maka perkara tersebut juga hukumnya wajib)), hal ini jika
maslahah mursalah dalam rangka penyempurnaan pelaksaan salah satu dari
dhoruriaat dalam agama. Contohnya seperti pengumpulan Al-Qur'aan, pemberian
harokat pada Al-Qur'aan, mempelajari ilmu nahwu, mempelajari ilmu jarh wa
ta'diil, yang semua ini merupakan perkara-perkara yang tidak ada di zman Nabi
hanya saja merupakan maslahah mursalah
b. Bab takhfif (peringanan), hal
ini jika maslahah mursalah dalam rangka menolak kesulitan yang selalu melazimi.
Jika demikian maka kita
mengetahui bahwa bid'ah berbeda bahkan bertentangan dengan maslahah mursalah,
karena obyek dari maslahah mursalah adalah perkara yang bisa dicerna dan
ditangkap dengan akal secara terperinci seperti perkara-perkara adat, berbeda
dengan perkara-perkara ibadat, oleh karena peribadatan sama sekali bukanlah
obyek dari maslahah mursalah. Adapun bid'ah adalah sebalikinya yang menjadi
obyeknya adalah peribadatan. Oleh karena itu tidak butuh untuk mengadakan
peribadatan-peribadatan yang baru karena tidak bisa dicerna secara terperinci
berbeda dengan perkara-perkara adat yang berkaitan tata cara kehidupan maka
tidak mengapa diadakannya perkara-perkara yang baru. Para ulama telah
menjelaskan bahwa asal hukum dalam peribadatan adalah haram hingga ada dalil
yang menunjukan akan keabsahannya, berbeda dengan perkara-perkara adat asal
hukumnya adalah boleh hingga ada dalil yang mengharamkannya. Demikian juga
perkara-perkara bid'ah biasanya maksudnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam
beribadah karena pelakunya tidak puas dengan syariat yang dibawa oleh Nabi,
maka ia bukanlah termasuk maslahah mursalah karena di antara tujuan dari
maslahah mursalah adalah untuk peringanan.
Dan perbedaan yang paling jelas
bahwasanya masalahah mursalah adalah wasilah untuk bisa melaksanakan seeuatu
perkara dan bukan tujuan utama, berbeda dengan bid'ah.
Madinah, 21 Dzul Hijjah 1431 / 27
November 2010
Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Disalin
pada 23 May 2013
Untuk
lebih lengkapnya (teks arabnya), bisa klik sumbernya langsung, ada komentar dan
diskusi yang bermanfaat juga di sana.
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.